Cinta Segitiga yang Menyisakan Hanya Satu Sisi (3)
Wajah Mengundang Perlindungan seperti Paramitha Rusady Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya “Pakde pernah lihat film Merpati Tak Pernah Ingkar Janji? Atau Ranjau-Ranjau Cinta?” pertanyaan itu muncul dari bibir Udin. Memorandum ingin menjawab bahwa Paramitha Rusady adalah artis idola, namun terburu disambar kalimat Udin sendiri. Dia menyatakan bahwa Muniah teramat sangat mirip sekali dengan Paramitha. Ibaratnya 11:12. “Hampir semuanya sangat mirip, Pakde. Ya wajahnya. Ya gerak-geriknya. Ya sikapnya. Kalem dan seperti mengundang perlindungan,” kata Udin. Ayahnya, tambah Udin, juga mengidolakan artis multitalenta yang berkibar pada dekade 1980-2000 itu. Hayong tersenyum. Kami memasuki wilayah perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Kami sepakat tidak lewat jalan tol karena ingin sarapan sego tabokan cita rasa asli masyarakat Sukodono. Lokasinya di pinggir Jalan Raya Saimbang. Bisa saja lewat tol, tapi nanti agak sedikit berputar. Senyampang masih pagi, pukul 05.20, jalan-jalan belum macet, jadi lewat bawah nggak masalah. Kami pun sampai di warung sego tabokan. Nur Jannah, pemilik warung, tersenyum ramah melihat Memorandum yang memang sering mampir. “Biasa, pedes ya?” tanyanya sambil tangannya lincah mengambil tempe dan lentho, lantas diuleg pakai kecap dan cabai. Wow… yummy… Setelah kenyang, kami meneruskan perjalanan menuju rumah duka. Udin bercerita, sepekan lalu dia masih sempat berbicara melalui telepon WA. Membicarakan rencana reuni yang digelar akhir tahun ini. Pada rapat awal, jumlah teman sekelas mereka yang berjumlah 48 terbagi dalam tiga kelompok pilihan. Sembilan orang usul reuni diwujudkan dengan tur ke Bali. Dua belas orang setuju tur, tapi tidak usah jauh-jauh. Cukup ndek-ndek’an diadakan di Padusan, Pacet, Mojokerto. Sekalian mengenang masa-masa mereka yang pernah digembleng dalam acara Pramuka di wana wisata dengan andalan air panas itu. Sisanya ingin diadakan di salah satu tempat di rumah salah satu teman. Namun, tidak ada satu pun yang bersedia ditempati. Akhirnya disetujui diadakan di Pacet. “Waktu itu Untung bilang mau menunjukkan tempat kali pertama mengutarakan cinta kepada Muniah,” kenang Udin. Tidak lama berselang kami sampai di rumah duka. Rumah ini hanya ditempati Untung bersama Muniah. Sudah banyak orang berkumpul. Tampak kedua orang tua Untung dan kedua orang tua Muniah menyambut kami. “Nak Udin tolong temani Muniah sebentar,” pinta ibunda Muniah kepada Udin. Udin pun masuk ke dalam rumah. Sekitar setengah jam Udin di dalam. Jenazah sudah dimandikan dan dikafani, siap disalati dan diberangkatkan menuju permakaman. Itu direncanakan dilakukan pukul 10.00. Sekarang masih pukul 08.46. Kami ditemani ayah dan ibunda Muniah. Saat itulah mereka memberi tahu bahwa Muniah saat ini sedang hamil. Hamil muda. “Nak Udin sedirian? Istrinya nggak diajak?” tanya ayah Muniah sambil menyalami Udin. Udin hanya tersenyum dan mengangguk pelan. “Belum laku, Pak. Tapi kalau Allah meridhoi, mungkin sebentar lagi,” kata Udin. “Calonnya anak mana?” tanya ayah Muniah. “Mboten tebih. Tapi kalau diridhoi Gusti Allah lho Pak.” “Saya doakan.” Setelah semua beres. Jenazah sudah disalati, kini siap diberangkatkan menuju permakaman. Sebelum itu, tuan rumah sedikit memberi sambutan, disusul wakil pentakziah. Udin mewakili para tamu. Setelah membuka sambutan dengan bacaan surat Al-Fatihah dan selawat, Udin berkata singkat, “Selamat jalan Teman. Semoga Allah menerimamu di sisi-Nya. Jangan khawatir, aku akan melanjutkan perjuanganmu.” (bersambung)
Sumber: