Prostitusi di Kaki Jembatan Suramadu, Dewan: Pemkot Kurang Kontrol

Prostitusi di Kaki Jembatan Suramadu, Dewan: Pemkot Kurang Kontrol

Surabaya, memorandum.co.id - Terungkapnya prostitusi terselubung di kawasan kaki Jembatan Suramadu ditengarai kurangnya kontrol pengawasan dari Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya. Terlebih, geliat ekonomi di kawasan itu tak diatur ketat. Para pelaku usaha bisa bebas beroperasi tanpa dibatasi. Mulai siang hingga tengah malam, bahkan pagi hari. Hal ini yang kemudian memicu praktik prostitusi via penjaga gerobak kopi. Karena itu, menurut telaah anggota Komisi A DPRD Surabaya, Imam Syafi’i, perlu adanya pengawasan di lokasi. Salah satunya dengan membatasi jam operasional pelaku ekonomi di kaki Jembatan Suramadu. “Semestinya kalau niat pedagang baik, dia pasti buka tidak sampai tengah malam atau dinihari. Karena bisa saja pada tengah malam itu, saat mayoritas orang tidur, mereka sengaja memanfaat untuk hal-hal yang tidak baik. Karena di jam itu kan pengawasan lengah, lalu terjadilah pedagang kopi plus-plus,” kata Imam, Selasa (9/8/2022). Imam tak memungkiri, prostitusi di Kota Pahlawan sulit diberantas. Kendati demikian, Imam mengajak untuk tidak lelah melakukan upaya preventif, mulai dari sosialisasi, pengawasan, hingga pembinaan. “Secara realistis memang agak sulit mencegah praktik prostitusi di Surabaya. Tetapi, kita jangan lelah atau capek untuk menekankan supaya jangan melakukan itu. Upaya ini jangan hanya melalui statemen dan imbauan saja, namun akar persoalannya dicari,” kata politisi NasDem ini. Menurut dia, ada banyak faktor yang membuat praktik prostitusi muncul. Pertama, kurangnya pengawasan. Kedua, ada motif yang memaksa perempuan-perempuan yang semula bekerja sebagai pengaduk kopi di kaki Jembatan Suramadu, lalu merambah jadi pekerja seks komersial (PSK). “Harus dicari akar persoalannya. Mereka sampai berbuat seperti itu pasti ada sebabnya,” kata Imam. Imam menambahkan, mereka terpaksa membanderol dirinya bisa dipicu oleh faktor ekonomi. Bila demikian, maka dia mendorong Pemkot Surabaya untuk membantu mengentaskan persoalan ekonomi para kupu-kupu malam. Salah satunya bisa dengan memberi mereka peluang melalui pelatihan UMKM atau yang lainnya. “Namun kalau bukan karena persoalan ekonomi tetapi gaya hidup, maka jangan diberi kesempatan. Jangan sampai yang sebelumnya tidak ada prostitusi, lalu muncul bibit hingga melebar dan semakin besar. Karena itu, pengawasannya perlu ditingkatkan. Juga penerangannya, saya rasa perlu untuk dimaksimalkan karena di lokasi masih terlihat remang-remang,” jelas dia. Sementara itu, disinggung terkait adanya praktik prostitusi terselubung di kaki Jembatan Suramadu, Camat Kenjeran Nono Indriyatno mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pendataan terhadap pelaku usaha yang ada di kawasan itu. Namun begitu, pihaknya tak menemukan adanya praktik tersebut. "Kita sudah tindaklanjuti. Kapan hari kita data (para pelaku usaha). Jadi waktu itu, kita tidak menemukan kejadian (praktik prostitusi), maka langkah selanjutnya kita koordinasi langsung dengan Satpol PP Kota Surabaya untuk dilakukan penanganan berikutnya," jelas Nono. Nono menambahkan, pihaknya memang ada rencana untuk merelokasi para pelaku usaha yang berdagang di sekitar kaki Jembatan Suramadu. Kecamatan Kenjeran tengah menyiapkan izin pemanfaatan lahan tidak jauh dari lokasi. "Kita sudah berproses. Saya sudah ada rencana untuk merelokasi pedagang. Saat ini masih proses menyiapkan izin pemanfaatan lahan dulu untuk merelokasi pedagang yang ada di sekitar Suramadu," jelas Nono. Diberitakan sebelumnya, praktik prostitusi terselubung di kaki Jembatan Suramadu dibenarkan oleh warga sekitar. Pada praktiknya, ada belasan perempuan seksi yang bekerja sebagai pengaduk kopi. Mereka stand by dengan penampilan menggoda. Awalnya mereka bekerja di gerobak yang singgah di sisi timur dan barat kaki Jembatan Suramadu. Jam kerja pukul 16.00 sampai 04.00. Namun setelah tuntas bekerja, mereka dapat dibawa ke hotel kelas melati atau indekos tidak jauh dari lokasi untuk dinikmati. Praktik prostitusi terselubung itu diduga sudah berjalan hampir dua tahun. Sekali kencan, pelanggan merogoh kocek Rp 250 ribu hingga Rp 350 ribu. (bin)

Sumber: