Sosiolog: Pesta Miras Jadi Budaya yang Menyimpang 

Sosiolog: Pesta Miras Jadi Budaya yang Menyimpang 

Ali Imron Surabaya, memorandum.co.id - Empat warga Surabaya tewas setelah pesta minuman keras (miras) oplosan bersama koleganya. Para korban mulai mengalami keracunan miras oplosan tak lama setelah pesta miras. Sosiolog Universitas Negeri Surabaya Ali Imron SSos MA mengatakan, sebuah fenomena itu dianggap sebagai budaya, jika budaya itu hasil karya cipta rasa dan karsa manusia yang diperoleh melalui proses belajar atau biasa disebut dengan sosialisasi. "Jadi ketika aktivitas itu sebagian bagian dari karya manusia itu dilakukan. Jadi misalnya aktivitas dalam hal ini minum- minuman keras itu dilakukan dan itu dilakukan secara terus menerus. Bahkan diajarkan atau dibelajarkan atau disosialisasikan kepada generasi berikutnya, maka itu disebut sebagai budaya," kata Ali. Artinya, lanjut Ali, sebuah perilaku itu akan menjadi budaya manakala itu dilakukan terus menerus dan dibelajarkan atau disosialisasikan. "Misalnya kepada temannya, kepada tetangga. Bahkan kepada anaknya atau generasi berikutnya itu dianggap sebagai budaya," imbuhnya. Kebetulan budaya yang dimaksud dalam kasus ini adalah budaya yang menyimpang. "Kenapa dikatakan menyimpang karena nilai dan norma masyarakat kita itu belum bisa menerima kondisi yang semacam ini. Atau bisa dikatakan tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat," jelasnya. Karena itu secara umum menyimpang dari nilai dan norma masyarakat, berarti termasuk menyimpang dari norma norma kesehatan yang kemudian mengakibatkan persoalan kesehatan, salah satunya adalah over dosis (OD) sampai kematian. Menurutnya, kasus serupa sebelumnya tidak hanya di Bronggalan, bahkan di beberapa wilayah Surabaya kasus meninggal karena OD juga pernah terjadi. "Apa yang kemudian bisa dilakukan kepolisian dalam hal ini? Polisi itu kan punya tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban agar nilai dan norma di masyarakat itu tetap kokoh, tidak menyimpang. Maka secara konsep sebenarnya ada upaya umum yang bisa dilakukan dalam rangka untuk mengatasi penyimpangan itu, atau yang disebut dengan tindakan pengendalian sosial," paparnya. Jadi apa yang dilakukan pihak kepolisian adalah upaya dalam rangka pengendalian sosial. Artinya mengendalikan sistem sosial di masyarakat itu agar senantiasa selaras dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat. proses pengendalian itu, menurutnya ada dua bentuk secara umum. Pertama secara preventif atau pencegahan ini bisa dilakukan melalui kegiatan edukasi,sosialisasi dan seterusnya. "Jadi tujuannya mencegah agar tindakan itu tidak terjadi lagi. Meskipun misalnya pada generasi orang tuanya terjadi tetapi harapannya nanti anak anaknya tidak mengalami hal yang sama. Maka perlu preventif atau dicegah melalui edukasi dan sosialisasi," jelas dia. Edukasi yang dimaksud, lanjut Ali, tentang bahaya mengkonsumsi minuman miras. Salah satunya dampak paling terbesar kematian dan penyakit yang lain. Yang ke dua ada cara yang bisa dilakukan dengan represif berarti harus di tekan atau dipaksa agar tidak terjadi di kemudian hari. "Jadi pengendalian sosial secara represif itu melalui hukuman, baik penjara atau denda atau sejenisnya. Saya kira dalam hal ini tidak hanya kepolisian yang memiliki tugas pokok menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Lebih dari itu bukan hanya tanggung jawab dari kepolisian semata, tetapi juga masyarakat secara umum, salah satunya adalah keluarga. "Bukan hanya kepolisian, tetapi juga elemen masyarakat, dan yang tidak kalah penting elemen masyarakat adalah keluarga. Kalau keluarga melalui revitalisasi fungsi keluarga. keluarga bisa menjadi pondasi dalam hal ini,"pungkasnya. (alf)

Sumber: