Mantan Ketua DKS Kecam Pembentukan DKKS, Cak Suro: Konsen Berkesenian
Surabaya, memorandum.co.id - Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) yang juga budayawan, Prof Hotman Siahaan, mengecam keras kebijakan Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya atas pembentukan Dewan Kesenian Kota Surabaya (DKKS). Bahkan, Hotman menyebut DKKS yang dibentuk oleh pemkot sebagai dewan kesenian tandingan dari Dewan Kesenian Surabaya (DKS) yang telah eksis sejak 1971. “Ini bukti bagaimana kekuasaan negara dengan arogansi membentuk DKS tandingan. Karena bagaimanapun DKS adalah ikon Kota Surabaya,” kata Hotman, Selasa (28/6). Hotman mengingatkan, DKS memiliki sejarah panjang dalam mengawal kesenian dan kebudayaan di Kota Pahlawan. DKS sudah dibentuk berdekade yang lalu, semasa Surabaya dipimpin Wali Kota Soekotjo. Hingga kemudian beberapa kali berganti wali kota, pemkot tetap mendukung penuh dan menjadikan DKS sebagai rujukan kesenian. Sepanjang itu kemudian DKS melahirkan banyak seniman berbakat di tingkat nasional dan melegenda. Seperti penyanyi Gombloh, Franky Sahilatua, serta sutradara Basuki Rahmat. “Pada saat itu, hubungan dengan seniman sangat kuat, sebut saja Amang Rahman, Gatot Kusumo, Pak Khrisna Mustajab. Mereka dulu membuat Surabaya menjadi kiblat baik di bidang seni rupa, musik rakyat, dan sastra,” beber mantan Ketua DKS era tahun 1980-an ini. “DKS itu semacam aura dari Kota Surabaya ini. Melahirkan banyak tokoh nasional. Karena DKS ini sebagai taman kesenian, itu memberikan peluang apapun dalam hal kesenian. Bahkan dulu ada nama Basuki Rahmat yang pentas secara nasional, itu sangat luar biasa,” sambungnya. Tak ayal, Hotman heran manakala pemkot membentuk DKKS pada 10 Juni 2022 lalu. Dia menilai, pembentukan tersebut menjadi bukti bahwa pemkot tidak memiliki komitmen dan political will untuk membesarkan kesenian di Surabaya. “DKS itu tumbuh karena kreativitas seniman di Kota Surabaya. Tapi kalau sampai diperlakukan seperti ini, menurut saya sebagai seseorang yang pernah aktif di DKS, tentu saya protes,” tandasnya. Pembentukan DKS versi baru oleh Pemkot Surabaya, menurut Hotman, adalah sebuah bentuk korporatisme. Yakni, ketika kepentingan kesenian dan satu kekuasaan politik dalam suatu insitusi, kepentingan politik lebih kuat daripada kepentingan institusi tersebut. Selain itu, lanjut dia, DKS harus menjadi public sphere (ruang publik), di mana kepentingan-kepentingan kesenian bermuara. Dalam ruang publik itu, harus ada kesetaraan di antara seluruh pihak yang terlibat. “Apa syarat dari satu ruang publik, kalau menyebut kata Jurgen Habermas, harus punya kesetaraan. Harus punya kepentingan bersama di sana, tidak ada satu yang lebih tinggi dari yang lain,” urai Hotman. Ketika pemkot melakukan tekanan kepada DKS, maka apa yang dilakukan Pemkot Surabaya adalah bentuk kolonialisme kesenian. "Negara tidak boleh melakukan tekanan. Kini apa yang dilakukan Pemkot Surabaya adalah kolonialisme kesenian. Yakni di mana penjajahan, muatan kepentingan pemerintah merasuk dalam kehidupan kesenian di kota ini,” tuntasnya. Sementara itu, Ketua DKKS Heri Suryanto atau yang akrab disapa Cak Suro mengatakan, pihaknya saat ini konsen untuk mengembangkan kesenian dan kebudayaan di Surabaya. Pihaknya tak ingin terlibat terlalu jauh terkait polemik adanya dua dewan kesenian di Surabaya. “Saya hanya seniman saja, yang terdaftar di disparta. Saat itu, saya diundang untuk diajak musyawarah, lalu diadakan pemilihan pengurus DKKS. Kemudian saya terpilih sebagai ketua, ya sudah saya jalankan amanat tersebut,” ujar Cak Suro. Cak Suro tak ingin berlarut-larut dalam polemik DKS dengan Pemkot Surabaya. Saat ini, dia hanya ingin fokus untuk menggelorakan kembali seniman-seniman yang ada di Surabaya. Menurutnya, Metropolis memiliki anak muda yang berbakat di bidang kesenian maupun kebudayaan. “DKKS saat ini baru melangkah ke susunan pengurus dan formatur. Kami masih mempersiapkan itu. Selanjutnya kami akan bikin program bersama koordinator di masing-masing bidang kesenian dan kebudayaan,” tandas Suro. (bin)
Sumber: