Fordiva Minta Kepastian Perlindungan Hukum untuk Disabilitas Korban Pelecehan
Surabaya, memorandum.co.id – Maraknya kasus kekerasan terhadap anak membuat prihatin banyak kalangan, termasuk Forum Relawan Difable (Fordiva) Surabaya. Terbaru adalah kasus yang menimpa salah seorang anak disabilitas tuna rungu di bawah umur yang dilecehkan tetangganya. Supaya kasus semacam itu tak terus terulang di Kota Pahlawan, Fordiva meminta Pemkot Surabaya membuat langkah-langkah strategis dan taktis. Salah satunya dengan memberikan hak pada anak penyandang disabilitas, seperti mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, kekerasan, dan kejahatan seksual. “Kami ingin memastikan kasus ini diselesaikan secara komprehensif, cepat, dan korban mendapatkan perlindungan yang selayaknya, baik secara psikologis maupun hukum. Karena itu, kami hadir bersimpati menemui ibu korban,” kata Ketua Fordiva Megawati, Senin (27/6). Menurut Megawati, yang penyandang tuna daksa ini, Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap anak yang tercantum pada Pasal 28 B Undang-Undang Dasar 1945, tidak terkecuali pada anak penyandang disabilitas. Dia lantas mendorong agar ada perlindungan preventif sebagai upaya pencegahan tindak perbuatan pemerkosaan terhadap anak penyandang disabilitas. Apabila perbuatan itu telah terjadi, maka perlindungan represif menjadi upaya penegakan hukum. “Anak penyandang disabilitas juga harus diberikan hak sesuai undang-undang yang berlaku. Seperti mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, kekerasan, dan kejahatan seksual,” jelasnya. Selain itu, mengacu pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa korban tindak pidana kekerasan seksual berhak memperoleh bantuan medis, rehabilitasi psikososial, dan psikologis. Termasuk kompensasi yang baru diberikan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. “Penanganan yang selaras juga harus diberikan kepada disabilitas tuna rungu dan wicara yang menjadi korban pemerkosaan. Jangan sampai terjadi pada saat melapor justru ditanya apakah korban berteriak atau tidak, padahal sudah jelas korban tidak dapat berbicara dan mendengar,” papar Megawati. Fakta demikian, lanjut dia, sejatinya merefleksikan masih buruknya penampungan keterangan dan cara perolehan informasi yang benar atau akurat oleh penegak hukum. Manakala terus dibiarkan, maka akan memperburuk kondisi korban dan menjadikan korban mengalami nasib untuk yang kedua kalinya. “Instrumen hukum Indonesia juga belum optimal dalam menyelaraskan payung hukum bagi korban kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas. Meskipun Indonesia telah meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas, akan tetapi secara yuridis belum dapat berjalan secara harmonis,” ucap dia. Megawati menambahkan, pihaknya berharap kasus hukum pemerkosaan keji terhadap korban disabilitas tersebut dapat segera berjalan dan diselesaikan. Fordiva mengecam keras tindakan pelaku, dan tidak memberikan toleransi apapun terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak. Dia pun mendorong agar pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan dimulai sejak dari keluarga, lingkungan terdekat, hingga seluruh masyarakat. “Aksi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak harus kita lakukan bersama-sama, semua pihak harus bergerak,” tuntasnya. (bin)
Sumber: