Nestapa Keluarga Inggar, Gadai KK dan KTP untuk Bertahan Hidup

Nestapa Keluarga Inggar, Gadai KK dan KTP untuk Bertahan Hidup

Surabaya, memorandum.co.id - Hidup Inggar Susana, warga Gundih, Kecamatan Bubutan, begitu nestapa. Perempuan berusia 42 tahun ini harus mati-matian menghidupi kedua putranya, MC (16) dan DV (13), seorang diri. Suami Inggar dibui karena kasus narkoba. Putra sulung Inggar, Ericko (23), tengah direhab akibat kecanduan barang terlarang. Fakta tersebut sangat pahit dirasakan oleh Inggar, namun harus dihadapi dengan tegar. Kini, dia banting tulang untuk memenuhi segala kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua anaknya masih bersekolah. MC merupakan siswa kelas X di sebuah SMK Negeri di Surabaya. Sedangkan DV duduk di bangku SMP swasta. Sebagai buruh pabrik bergaji Rp 189 ribu per minggu, Inggar mengaku pendapatannya tak cukup untuk mengawal kebutuhan sekolah kedua putranya. Hanya cukup untuk makan. Di luar itu, dia terpaksa harus mencari utangan. Bahkan, Inggar sampai menggadai kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) miliknya.

Melihat kehidupan nestapa Inggar, timbul pertanyaan, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, apa tahu dengan keadaannya. Diduga masih banyak Inggar-Inggar lain yang bernasib serupa. Melihat kehidupan Inggar, hal ini menjadi potret pedih warga kota di balik ingar-bingar kehidupan Metropolis. “Tabung elpiji saya gadaikan ke tetangga itu sekitar Rp 100 ribu. KK sama KTP juga terpaksa saya gadaikan Rp 200 ribu ke koperasi dekat rumah. Uangnya untuk tebus rapor anak saya yang SMP, karena berbulan-bulan SPP-nya nunggak. Saya tidak mampu membayar,” ucap Inggar, Ahad (26/6). Perempuan asli Kediri ini sudah menetap dan menjadi warga Surabaya selama lebih dari 17 tahun. Dia tinggal di gang sempit sekitar kawasan Babadan. Rumahnya berukuran 2x4 meter. Tak ada kamar. Yang ada hanya sepetak ruang tamu yang dikelilingi perabotan lusuh. Di sana, Inggar tidur bersama kedua putranya. Di atas kasur hasil sumbangan tetangga. Namun manakala hujan deras mengguyur, Inggar cepat-cepat bangun dan terpaksa ngeringkesi kasurnya. Sebab, atap rumahnya bocor hebat, bahkan mulai keropos hampir roboh. “Kalau hujan ndak bisa tidur, soalnya atap rumah bocor. Airnya nggerojok dan masuk ke dalam rumah. Tapi kalau sudah ngantuk banget, terpaksa kita bertiga tidurnya sambil duduk,” kata Inggar sembari tersenyum. Saat disinggung mengenai beban hidupnya, sedetik kemudian Inggar mulai menitikkan air mata. Sudah satu tahun setengah Inggar menjadi tulang punggung keluarga. Itu setelah suaminya masuk penjara pada akhir 2020 dan divonis 6 tahun penjara. Sejatinya, ibu tiga anak ini cukup letih dengan keadaan yang dirasa. Selain bekerja sebagai buruh pabrik, Inggar terpaksa harus mulung sepulang kerja. Hasilnya untuk menambah uang saku kedua putranya. Tidak hanya itu, Inggar juga bekerja untuk tetangga yang membutuhkan jasanya. Kadang diminta mencuci pakaian, tak jarang pula diminta untuk mengantarkan gorengan. “Lumayan, ketambahan Rp 5 ribu dari hasil antar gorengan, dan Rp 15 ribu hasil menjual botol plastik dan barang bekas yang saya kumpulkan,” ucapnya lirih. Kendati kompleks dan berat, tekad Inggar tetap menyala. Meskipun kondisi Inggar tak sebugar kelihatannya. Inggar diketahui sempat masuk rumah sakit empat kali akibat penyakit lambung kronis yang dideritanya. “Saya berharap, kedua putra saya yang masih sekolah ini dapat mengejar cita-citanya. Tetap berkegiatan yang positif, patuh sama orang tua, dan jangan neko-neko. Itu saja. InsyaAllah kelak jadi anak yang sukses dan berbakti kepada orang tua,” ujar Inggar sembari berlinang air mata. Mendapati ada warga yang bernasib seperti Inggar, membuat anggota Komisi A DPRD Surabaya Imam Syafi’i terenyuh. Politisi NasDem ini bersimpati. Dia bahkan berkesempatan untuk membantu menebus rapor putra bungsu Inggar, DV. Imam hanya ingin agar kedua putra Inggar tak sampai putus sekolah. “Adanya narkoba tak hanya berdampak buruk bagi pemakai, namun juga membuat keluarga hancur. Saya berharap, Pemerintah Kota Surabaya dapat hadir memberikan intervensi kepada nasib seperti Ibu Inggar ini, yang mana sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah, terlebih dia warga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” kata Imam. Imam mengunjungi kediaman Inggar bertepatan dengan Hari Anti Narkoba Internasional (HANI) 2022 yang diperingati setiap 26 Juni. Di lain sisi, jajaran Pemkot Surabaya, mulai dari wali kota, kepala dinas, camat, dan lurah, merayakan HANI dengan kegiatan senam bersih narkoba (bersinar). Padahal, menurut Imam, alangkah lebih baik bila pemkot juga hadir memberikan intervensi kepada korban-korban akibat dampak narkoba seperti Inggar. “Mereka tidak memakai narkoba, tapi terkena dampak dari narkoba. Melihat nasib Inggar ini, maka pemerintah wajib untuk hadir, karena mereka warga negara dan berhak mendapat penghidupan yang layak,” tuturnya. “Saya terus terang mengapresiasi, ketika HANI dirayakan dengan berbagai cara, termasuk Pak Wali Kota yang menggelar senam bersinar dengan ribuan kader dan relawan. Tetapi yang paling penting, bagaimana dampak-dampak kemiskinan atau pemiskinan akibat narkoba itu juga teratasi. Sebab, mereka yang terdampak ini sangat rentan, apabila mereka miskin lalu tidak memiliki pekerjaan, ujung-ujungnya akan ditawari jadi kurirnya narkoba, ini yang harus diantisipasi juga,” sambung Imam. Sementara itu, Ketua RT 3/RW 5 Muktiani turut prihatin dengan kondisi salah satu warganya tersebut. Perempuan yang lekat disapa Ani ini memaparkan bahwa Inggar termasuk keluarga MBR. Namun sudah setahun lebih bantuan sosial (bansos) BNT dan PKH milik Inggar tak terealisasi. “Sebelumnya, Inggar selalu mendapatkan BNT dan PKH dari pusat, beberapa kali juga dari pemkot seperti subsidi minyak goreng. Tapi sudah setahun lebih ini tidak dapat, padahal selalu didaftarkan sebagai keluarga penerima manfaat (KPM),” jelas Ani. Menurut Ani, bansos tersebut sangat berarti bagi Inggar. Karena itu, pihaknya terus berupaya agar Inggar kembali berhak sebagai KPM. “Kita terus intervensi, terus kita ajukan sebagai penerima,” tandasnya. (bin)

Sumber: