Percepat Waktu Layanan Kesehatan Jadi Target Dinkes dan Dua RSUD Surabaya

Percepat Waktu Layanan Kesehatan Jadi Target Dinkes dan Dua RSUD Surabaya

Surabaya, memorandum.co.id - Sedikitnya ada lima Indeks Kinerja Operasional (IKO) yang harus dikawal dengan baik oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya bersama RSUD Dr Mohamad Soewandhie dan RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH). Kelima IKO tersebut harus tercapai selama 2022. Bila tak terealisasi sesuai kontrak kinerja, kepala dinkes hingga jajaran dan direktur RSUD Surabaya harus angkat kaki. Kadinkes Surabaya Nanik Sukristina menyampaikan, lima target IKO yang harus tercapai itu salah satunya adalah respon pelayanan pasien di puskesmas kurang dari 25 menit. “Dengan formulasi rata-rata waktu yang dibutuhkan pasien untuk kontak pertama dengan tenaga kesehatan (nakes) sesuai dengan jadwal yang tercantum pada pendaftaran situs website E-Health,” kata Nanik, Selasa (21/6/2022). Hal yang sama juga harus dilakukan oleh kedua RSUD tersebut. Bedanya dinkes bertanggung jawab atas pelayanan di puskesmas, sedangkan RSUD Soewandhie & RSUD BDH memonitor pelayanan nakes di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan target waktu kurang dari empat menit. Selanjutnya, Direktur RSUD Soewandhie Billly Daniel Messakh menuturkan, IKO kedua adalah waktu tunggu operasi elektif atau operasi yang terencana di poliklinik. Yakni, setelah pasien mendapat diagnostik dan dokter memutuskan untuk dilakukan operasi hingga pelaksanaan operasi, dengan waktu kurang dari dua hari kerja. IKO ketiga yang harus diperhatikan adalah waktu tunggu hasil pelayanan laboratorium, dengan waktu yang dibutuhkan kurang dari 140 menit. “Ketika pasien diambil sampel sampai dengan menerima hasil yang telah dibaca oleh dokter. Adapun pelayanan laboratorium ini adalah pelayanan pemeriksaan laboratorium rutin dan kimia darah,” ujar dia. IKO keempat mengenai waktu tunggu pelayanan obat. Tolok ukurnya pasien saat menunggu proses dari obat racikan, maupun obat non racikan. Adapun waktu tunggu bagi pasien yang akan menerima obat racik yakni, kurang dari 60 menit. Sedangkan pasien yang akan menerima obat non racik, kurang dari 30 menit. “Terhitung saat resep obat diterima oleh instalasi farmasi sampai dengan obat itu diterima oleh pasien. Selain itu, kami juga memiliki layanan antar obat ke rumah, khususnya untuk kasus racikan obat yang membutuhkan waktu lebih lama. Selain itu, kami menawarkan untuk penghantaran obat secara gratis atau tanpa biaya,” papar Billy. IKO kelima mengukur pada Bed Occupancy Ratio (BOR) RSUD Soewandhie dengan target 84 persen. “Nilai BOR ini dihitung dari jumlah hari perawatan rumah sakit dibagi jumlah tempat tidur dan dikali jumlah hari dalam satu periode,” kata dia. Senada dengan hal itu, Direktur RSUD BDH Bisukma Kurniawati juga memiliki target IKO yang sama dengan RSUD Soewandhie. Namun terdapat sedikit perbedaan pada tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit (BOR). “IKO kelima kami BOR, yakni prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran mengenai tinggi dan rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit, dengan target 60 persen,” tandas Bisukma. Selebihnya, Dinkes Surabaya juga memilik target IKO yang lain. Di antaranya mengenai temuan baru terduga Tuberculosis (TBC), dengan target temuan kasus sebanyak 60.804 orang dalam satu tahun. “TBC menjadi perhatian dan bagian IKO, karena kasus TBC selama ini banyak pasien atau pengidap yang menyembunyikan penyakitnya, serta jarang sekali mereka yang sadar untuk memeriksakan diri,” jelas Kadinkes Nanik. Jamban juga menjadi target IKO, karena selama ini tidak sedikit masyarakat yang belum memiliki akses terhadap jamban. Sebab, jika masyarakat BAB (di sungai atau di selokan) sembarangan akan menimbulkan banyak penyakit yang merugikan masyarakat di sekitarnya. “Soal jumlah balita stunting yang mendapatkan asupan gizi sesuai standar angka kecukupan gizi (AKG) juga menjadi kontrak kinerja kami. Dengan target 1.444 balita bebas stunting pada 2022. Formulasinya adalah jumlah balita stunting tanpa kelainan kongenital atau penyakit bawaan yang memiliki tingkat kecukupan gizi makro minimal 80 persen dari AKG,” tuntas Nanik. (bin)

Sumber: