Perjalanan Cinta Seorang Playboy Keturunan Playboy (4)
Hibur Orang Tua: Mencintai Hati Perempuan, Bukan Yang Lain Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Kabar gembira itu akhirnya datang dari Wahyu. Rani mengandung. Semua jenis perayaan pun digelar. Maklum, Beni adalah anak tunggal dan baby di perut Rani adalah cucu pertama. Pertama upacara satu bulanan. Upacara ini sudah jarang ditemukan. Dalam acara ini dibuat semacam bubur sumsum berbahan tepung beras. Sebagai pelengkap diberi kuah dua warna, yakni dari santan kelapa yang diberi sedikit garam dan satu lagi kuah warna merah yang terbuat dari gula aren atau gula jawa. Digelar juga upacara tiga bulanan berupa tasyakuran mengundang tetangga dan kerabat. Pada bulan ketujuh, diadakan tingkeban atau mitoni. Posesinya sangat sakral. Dila tampak hadir pada upacara tingkeban ini. Dia menyapa Memorandum. “Om, taruhannya masih berjalan kan? Inilah detik-detik kekalahan Om. Rani akan dimandikan. Dan jreng... semua akan terbuka,” katanya. Panitia memang menyediakan air kembang di tempat Rani akan dimandikan. Lengkap dengan gayungnya. Batin Memorandum, “Wah… bakal seru nih.”[penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="baca juga" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="right" withids="" displayby="tag" orderby="rand"] Dengan pakaian adat Jawa yang hanya memakai kemben, kain yang bagian atas hanya ditali di garis tertinggi dada, Rani dipersiapkan untuk dimandikan. Namun, sebelum itu dilakukan, ibunda Rani yang mengawali menyiram berkata, “Maaf, kulit muka Rani alergi air kembang. Jadi, kami hanya memandikannya dari pundak ke bawah.” Dila spontan memandang Memorandum, demikian pula sebaliknya. Kami pun menahan tawa. Tidak lama kemudian kami berpamitan dan meninggalkan tempat. Waktu pun berlalu. Tidak ada peristiwa menarik. Baru sekitar dua bulan kemudian telepon Memorandum bergetar. Ada pesan WA. Dari Wahyu. Pesannya singkat. Begini: Alhamdulillah, Rani sudah lahiran. Cowok. Cakep kayak kakeknya. Mohon doanya. Kuperkirakan saat itu sekitar pukul 02.03, karena alrm yang kuatur berbunyi setiap pukul 02.00 baru saja berdering. Tak lama kemudian menyusul WA yang lain: Rani pingsan. Pendarahan dan terlalu banyak mengeluarkan cairan. Dua menit berselang menyusul WA ketiga: Temani aku ke rumah sakit. Beriap-siaplah, kujemput di rumah. Kami pun menembus dingin dan gelapnya malam di atas motor. Memorandum mendadak teringat peristiwa masa muda, ketika kami iseng ingin cangkrukan di bibir kawah Bromo dan nekat berangkat dari Mojokerto sekitar pukul 23.00.[penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="terkait" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="right" withids="19359, 19255, 19148" displayby="recent_posts" orderby="rand"] Waktu itu kami baru terbebas dari beban ujian akhir SMA. Awalnya kami cuma berencana mencari kehangatan malam dengan jagongan di alun-alun Kota Mojokerto sambil minum angsle. Tidak terasa kami sudah sampai di rumah sakit. Kami segera masuk, menuju ruang persalinan. Dari dinding kaca yang kordennya tersibak tampak Beni sedang duduk di pinggir ranjang. Tangannya membelai seorang perempuan. Dada Memorandum mendadak bergetar keras. “Jangkrik, Dila ternyata benar.” Spontan aku melirik Wahyu. Kulihat ada keterkejutan di wajahnya. Beni yang mendengar ada yang datang segera keluar ruang persalinan. “Aku mencintai hati Rani, Pa. Bukan faktor yang lain. Dia baik. Sangat baik,” kata Dani sambil memeluk Wahyu. (habis)
Sumber: