Perempuan Beranaktirikan Anak Indigo (3)

Perempuan Beranaktirikan Anak Indigo (3)

Duduk Santi di Atas Dahan Pohon

Orang-orang bekerja dalam gelap. Hanya diterangi nyala senter HP, entah milik siapa. Sebab, HP Budi dan Indah hilang tersapu banjir. Mungkin milik keponakan Budi. Waktu itu sekitar pukul 00.30. Pekerjaan baru bisa dituntaskan setengah jam kemudian. Indah sempat berteriak-teriak histeris karena tangannya dibelit seekor ular, yang semula dikira kabel charge anak-anak yang biasa digeletakkan. Seisi rumah juga sempat heboh karena Mentik tidak ada di antara mereka. Dicari ke sana kemari tidak ada. Di dalam maupun di luar rumah. Setiap sudut ruangan di dalam rumah diperiksa, nihil. Indah mulai menangis. Membayangkan Mentik terbawa arus atau terperosok selokan di depan rumah mereka. Budi dan keponakannya mencari dan bertanya-tanya ke para tetangga. Budi putus asa. Indah menangis sangat keras. Tiada henti. Histeris. Tubuh Budi dipukul-pukul dengan keras. Tiba-tiba dari atas terdengar suara anak kecil, Suara Mentik, “Nawang, lihat. Rumah kita sudah berubah jadi rumahnya ikan,” kata Mentik, riang. Budi menoleh ke atas. Mentik terlihat duduk di sebuah dahan pohon sambil tertawa-tawa ceria. Tangannya ditepuk-tepukkan. Riang. “Papa, lihat. Rumah kita berubah jadi akuarium raksasa,” kata Mentik sambil terus tertawa memandang mata bapaknya. Ketika itulah Budi seperti diingatkan bahwa dua-tiga hari sebelumnya Mentik pernah mengatakan bahwa rumah mereka akan berubah jadi akuarium raksasa. “Ternyata ini. Banjir. Betapa bodohnya aku,” kata hati Budi, yang dia sampaikan kepada Indah. Yang dipikirkan Budi dan Indah, bagaimana bisa Mentik memanjat pohon setinggi itu? Dalam suasana banjir, lagi. “Dibantu Nawang? Tapi bagaimana caranya?” kata hati Indah. Indah mencoba melupakan kejadian itu. Dia yakin akan mudah. Ternyata tidak. Makin mencoba melupakan, makin kuat dia memikirkannya. Itu berlangsung cukup lama, sampai terjadilah peristiwa ini. Suatu pagi satu di antara keponakan-keponakan Budi yang tinggal bersama, sebut saja Toni, pamit hendak belajar bersama di rumah temannya. Karena ini berhubungan dengan perkuliahan, tentu saja diizinkan. Budi bahkan memberi uang saku. Namun sebelum Toni men-starter motor, Mentik muncul, kemudian memegangi kaki ayahnya, “Jangan percaya, Pa. Om Toni bohong.” Budi tersenyum dan mengelus kepala anaknya. “Ah… Om Toni baik kok. Ndak pernah bohong. Ya kan Ton?” kata Budi. Toni balas tersenyum, kemudian ikut-ikutan Budi mengelus kepada Mentik. Tapi Mentik menepisnya. Hari itu Budi ada acara di Tuban. Rapat kerja enam bulanan di sebuah hotel. Ketika tiba waktu isoma, Budi bersama rekan-rekannya bersama-sama ke musala sebelum makan siang. Saat itulah Budi melihat seorang pemuda yang dari belakang terlihat mirip Toni. Budi lupa waktu pamit hendak belajar bersama tadi Toni pakai baju apa. Pemuda itu menggandeng mesra seorang perempuan. (jos, bersambung)  

Sumber: