Tetesan Peluh Satgas Singkirkan Pilu Mbah Bagong
Penulis: Aris Setyoadji, Wartawan Memorandum Sebentar lagi kegiatan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-106 Kodim 0818/Kabupaten Malang-Kota Batu yang dipusatkan di Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, akan segera berakhir. Hampir semua sasaran fisik, baik itu pembangunan program rumah tidak layak huni (RTLH), rahab musala, pipanisasi, rabat jalan, pemadatan jalan, jambanisasi, dan MCK (mandi, cuci, kakus) sudah selesai 100 persen. Sedangkan untuk program irigasi di Dusun Krajan, kini masih dalam proses pengerjaan dan sudah mencapai 85 persen. Keberhasilan itu tidak lepas dari kerja keras sekitar 150 satgas yang tanpa mengenal lelah berupaya menyelesaikan program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat ini. Jika melihat hasil pembangunan fisik yang pengerjaan bergotong-royong dengan warga ini cukup mengagumkan. Tidak ingin hanya sekadar melihat hasil pembangunan, saya mencoba menempatkan diri sebagai satgas yang mempunyai tujuan mulia tersebut. Setelah melihat beberapa sasaran pembangunan fisik, mulai yang terdekat dari posko TMMD yang ditempatkan di rumah Kepala Dusun Sumbersih Lasianto, hingga yang terjauh yakni pembangunan RTLH di daerah Ngliyep. Akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dalam pembangunan irigasi yang berada di daerah Dusun Krajan, Minggu (27/10). Selanjutnya, saya diantar Serma Ervan tim Penerangan Kodim 0818 ke lokasi irigasi, untuk diperkenalkan dengan satgas serta pemilik rumah yang digunakan menginap satgas selama TMMD. Setelah saya jelaskan tujuan saya bergabung, tidak butuh waktu lama suasana mencair. Dalam perkenalan akhirnya saya mengetahui bila komandan pos sasaran irigasi yakni Sertu Suroto, dengan anggota Kopda Syahida, Kopda M Faisal, Kopda Ratno, Praka Agus Suyanto, Pratu Satriyo Aji, Pratu Hikmah, Prada Nanang Mas Wally, dan semuanya bertugas di Yonif Mekanis 512 QY. Sedangkan pemilik rumah yakni Achmad Sahir yang akrab dipanggil Mbah Bagong. Tidak butuh waktu lama, kami mulai akrab. Meski waktu beranjak sore, cuaca masih terasa panas, hamparan sawah dan kebun di sekitar rumah Mbah Bagong tampak gersang, karena pada kemarau panjang ini sudah tidak bisa ditanami. Bahkan beberapa sumber air pun mulai mengering. Posisi rumah Mbah Bagong letaknya di lereng, dan lebih rendah sekitar 8 meter dari jalan. Sedangkan kondisi rumah pria yang mengaku masih berusia balita ketika penjajah Jepang datang menjajah itu, semi permanen dan bercat putih. Karena hanya setengah berdinding batu bata, dan sisanya masih berdinding kayu. Lantainya pun bukan keramik namun hanya rabatan semen. Tidak lama kami berbincang, tepat saatnya makan sore, di meja makan terbuat dari kayu yang letaknya di ruang depan samping kiri pintu, tertata hidangan yang dimasak Ny Ngatimen istri Mbah Bagong, dibantu oleh anak ketiganya. Namun, jangan membayangkan menu tersebut mewah. Selain nasi yang diletakkan di penghangat, ada oseng-oseng kacang, sambal goreng tahu tempe, dan dadar jagung. “Silakan makan, sudah siap,” ujar Ngatinem sambil tersenyum. Meski sangat sederhana, namun tidak menurunkan nafsu makan para satgas, dan saya ikut menikmati masakan itu. “Setiap hari bapak-bapak tentara ini yang makanannya gak aneh-aneh pokoknya ada sayur, dan mereka mengatakan kalau cocok dengan masakan saya,” ujar nenek enam cucu ini. Ketika hari beranjak malam, para satgas pun mulai mempersipkan matras yang digelar di ruang tamu untuk alas mereka beristirahat. Sebelum tidur mereka menyempatkan diri menghubungi keluarga untuk sekadar melepas rindu. Maklum saja mereka di lokasi tersebut sudah tiga minggu dan jauh dari keluarga. Saya pun ikut tidur beralaskan matras bermotif doreng tersebut. Udara panas yang saya rasakan pada siang hari, berubah dingin ketika malam, bahkan selimut jatah saya tidak bisa menahan dingin. Pagi sekitar pukul 06.00, kami bangun, dan menggulung matras. Setelah ruangan rapi, kemudian persiapan mandi. Ternyata selama disana untuk mandi mereka harus menyebar ke rumah-rumah warga. Wajar saja, sebab air yang tersedia di rumah tersebut tidak cukup, karena kondisi wilayah sedang kekurangan air. Saya bersama Kopda Faisal dan Pratu Satriyo Aji mandi di rumah milik Seniwati yang jaraknya sekitar 60 meter dari rumah Mbah Bagong. Setelah mandi dan sebelum memulai pekerjaan, kamipun sarapan, dan lauknya tidak jauh beda dengan sebelumnya, hanya ada tambahan telur, namun tetap terasa nikmat. Ketika waktu mendekati pukul 08.00, satgas berkumpul di halaman untuk menjalani apel pagi dipimpin Sertu Suroto, dan saya pun ikut dalam barisan. Karena memang saya memposisikan sebagai satgas. Setelah itu, kami mengambil senjata, namun bukan pistol ataupun senapan serbu, melainkan cangkul, skrop, gancu, linggis, dan bodem (palu besar). Saya memilih mengambil gancu, dan mengambil posisi dekat Prada Nanang yang membawa linggis. Tujuan saya ingin mengetahui sampai mana tenaga saya, dibanding dengan satgas yang ukuran tubuhnya, saya rasa tidak jauh beda dengan saya, meski agak besar sedikit dibanding saya. Tidak lama kemudian, warga sekitar berdatangan untuk membantu, termasuk Mbah Bagong yang siap dengan cangkulnya. Kekuatan satgas pun bertambah 6 personel, yang didatangkan dari pos lainnya yang penggarapan fisiknya akan selesai. Posisi awal, saya mencoba membuat saluran yang nantinya akan dipasang pelengseng pada sisi kanan kirinya. Tidak sampai 15 menit saya bekerja, peluh mulai bercucuran, dan saya melihat hal serupa pada satgas. Saya pun mulai banyak beristirahat karena tangan mulai lemas, dan napas mulai cepat. Namun beda dengan Nanang, dirinya terus bekerja, dan memang fisiknya sudah terlatih. Satu jam berjalan, akhirnya saya menyerah. Setelah beristirahat sekitar 10 menit, saya mencoba berpindah ke posisi membuat campuran pasir dan semen. Tampaknya memang lebih ringan, namun ternyata tidak kalah beratnya, karena harus mencampurkan hingga rata. Belum lagi memindahkannya ke gerobak dorong satu roda untuk membawa campuran tersebut ke titik pembangunan. Cukup satu tahap adonan saja, dan saya memutuskan untuk berhenti, karena lengan benar-benar seperti sudah tidak ada tenaganya. Sebenarnya saya ingin mencoba untuk memecah batu kali menggunakan bodem, namun hal itu saya urungkan, karena ketika saya mengangkat bodem itu sudah terasa berat. Setelah kondisi agak pulih, saya mencoba untuk memindahkan pecahan batu menuju titik pemasangan. Memang jaraknya tidak jauh, namun jalan yang dilalui berliku, dan harus mengimbangi gerobak agar tidak terguling, dan saya hanya mampu tiga kali pengambilan. Akhirnya saya memutuskan untuk benar-benar berhenti, dan hanya mengamati para satgas tetap semangat menyelesaikan pembuatan pelengseng yang direncanakan dibangun sepanjang 200 meter dan harus selesai dalam waktu kurang dari tiga minggu. Sedangkan dalam hitungan normal, bangunan tersebut bisa selesai dalam waktu dua bulan. Saya tidak bisa membayangkan betapa lelahnya mereka setiap hari harus bekerja keras. Sedangkan saya yang hanya dalam hitungan jam merasakan benar-benar lelah dan menyerah. Menangis Bersalaman dengan Jenderal Bangunan pelengseng itu sangat dibutuhkan oleh warga untuk irigasi, dan khususnya bagi Mbah Bagong, pelengseng tersebut sangat menyelamatkan bangunan tempat tinggalnya. Sebab, selain untuk irigasi, pelengseng itu bisa menahan longsor, yang mengarah ke rumahnya. Mbah Bagong merasa senang dan bersyukur, karena dirinya tidak akan pilu lagi ketika musim hujan. Meski rumah yang biasanya hanya ditempati dengan istri tercinta, kini berjubel karena juga ditempat para satgas, Mbah Bagong merasa senang. Sebab hari-hari yang biasa dilalui sepi, kini terobati dengan keceriaan satgas. Bahkan kesenangan itu bertambah, karena beberapa bagian rumahnya yang rusak juga diperbaiki oleh satgas. Diungkapkan Mbah Bagong, semenjak tahun 1966 dirinya mulai tinggal di tempat itu, baru kali pertama ini kampungnya tersentuh pembangunan dan itu dilakukan oleh TNI. “Saya senang ada bapak tentara di sini. Karena banyak pembangunan yang dilakukan,” kata Mbah Bagong. Bahkan bapak empat anak ini sempat meneteskan air mata, ketika didatangi Tim Pengawas dan Evaluasi (Wasev) Mabes TNI AD Brigjen TNI Anang Dwitono, Staf Ahli KSAD, didampingi Dandim 0818 Letkol Inf Ferry Muzawwad, mendapat kesempatan berjabat tangan. “Sejak saya tinggal di sini, baru ada satu jenderal yang datang, dan saya bisa bersalaman, hingga saya menangis karena bahagianya,” ungkap Mbah Bagong. (*/yok)
Sumber: