Perjalanan Biduk Rumah Tangga Lelaki Mbeling (1)
Nakal tapi Tak Pernah Kriminal
Tiap sore, menjelang azan Magrib, seorang pria paruh baya, sapa saja Rudi, duduk termenung di warung kopi kawasan rolak Karah. Sendirian. Itulah kebiasaan Rudi sebelum bertemu Memorandum di Pengadilan Agama (PA) Surabaya, beberapa waktu lalu. “Aku takut ditinggal istri pergi tanpa sempat melihat lagi wajahnya,” katanya setelah Memorandum beberapa kali menyapa dan duduk menemaninya berbincang hal-hal ringan. “Kenapa?” “Aku telah menyakiti hatinya.” “Kenapa?” Rudi lantas bercerita bahwa dia menikah sekitar 25 tahun lalu. Pasangannya sebut saja Wiwid. Lulusan pondok pesantren di Jombang. “Dia gadis lugu dan tidak pernah berbuat sesuatu yang aneh-aneh,” kata Rudi lirih. Matanya terpejam seolah ingin menembus kembali masa lalu. Dunia yang terbentang dari Asia hingga Afrika, dari Rusia hingga Australia, bagi Wiwid seolah terlipat dalam sejengkal dua jengkal langkah antara rumah dan musala kecil di depan rumah. “Istriku tidak pernah ke mana-mana. Hidupnya hanya di seputar kasur, dapur, sumur, dan musala depan rumah. Dia ngajar ngaji,” imbuh Rudi. “Kalau belanja?” “Di depan rumah. Ada langganan tukang sayur.” “Istri njenengan pasti cantik. Polos khas orang pesantren,” puji Memorandum untuk memberi semangat Rudi bercerita lebih jauh. “Ya, cantik, Sangat cantik,” jawab Rudi pelan, lantas menjelaskan, “Wiwid adalah primadona di pondok. Banyak santri senior menaruh hati. Juga beberapa gus anak kiai atau nyai. Bahkan, beberapa kiai ada yang ingin menjadikannya istri kedua.” Ditambahkan bahwa Wiwid adalah anak tunggal sahabat ayahnya yang menguasai berhektare-hektare tambak di Sidoarjo dan Lamongan. Ayah Wiwid dan ayah Rudi akrab ketika mereka menimba ilmu agama di Gontor, Ponorogo. Rudi sendiri sebenarnya dipondokkan ayahnya di ponpes modern tersebut. Tapi, Rudi tidak mampu bertahan lama. Dia beberapa kali disanksi karena melanggar aturan pondok. “Beberapa kali saya digundul.” Rudi akhirnya kabur dari pondok dan minggat ke Jakarta. Sejak usia 16 tahun. Karena tidak memiliki sanak saudara di ibu kota, Rudi hidup menggelandang. Bekerja rok-rok asem untuk sekadar bertahan hidup. “Nggak kasihan orang tua?” “Waktu itu nggak kepikiran. Yang penting hidup bebas.” “Pernah terlibat kejahatan? Maaf saya menanyakan ini soalnya banyak anak-anak jalanan berbuat demikian.” “Meskipun mbeling, aku tidak pernah berpikir untuk berbuat jahat. Minta-minta saja selalu aku hindari. Aku bekerja apa saja untuk bertahan hidup. Jadi tukang parkir. Jadi tukang cuci motor. Nguli bangunan. Nguli pelabuhan. Macem-macem-lah. Yang penting halal. Bahkan pernah menjadi pembantu rumah tangga dan perawat kebun.” (jos, bersambung)Sumber: