Jaringan Perempuan Desak Penerbitan PP dan Perpres TPKS
Surabaya. Memorandum.co.id - Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU didukung Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS). Mereka mendesak pemerintah Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP), dan Perpres tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Iva Hasanah aktivis Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual - Surabaya menyampaikan, secara substansi terdapat enam elemen kunci yang dimandatkan dalam UU ini, yaitu pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan, dan hukum acara. Lanjut Iva Hasanah, substansi tindak pidana yang diatur dalam UU TPKS adalah adanya sembilan bentuk kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan sarana elektonik, dan eksploitasi seksual. "Sayangnya, dua usulan JPHPKKS yakni pemaksaan aborsi dan perkosaan tidak masuk dalam UU. Perkosaan diatur di dalam pasal jembatan, yang nantinya akan diatur secara lebih detail di RKUHP. Padahal, kasus perkosaan dengan korban perempuan dan anak sebagaimana kita ketahui terus berulang terjadi," tutur Iva Hasanah, Rabu (13/4). Lanjut aktivis perempuan asli Sidoarjo ini, JPHPKKS mendorong Pemerintah segera menindaklanjuti UU ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana UU tersebut. Pembahasan PP kami harapkan melibatkan masyarakat sipil khususnya para pendamping korban Sebelumnya DPR RI dalam Sidang Paripurna, Selasa (12/4) telah mengesahkan RUU TPKS menjadi UU setelah 8 fraksi menyetujui (FPDI Perjuangan, FPGokar, FPGerindra, FPKB, FPNasdem, FPDemokrat, FPAN, dan FPPP) dan satu fraksi yakni FPKS menolak RUU TPKS dalam pengambilan putusan Tingkat I di Baleg DPR RI Rabu (6/4). Disahkannya RUU TPKS menjadi UU disambut gegap gempita oleh masyarakat Indonesia, termasuk Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS). Sebagai pegiat isu perempuan, advokat, jurnalis, pendamping korban, akademisi, dan peneliti bersuka sita dan mengapresiasi kerja keras pemerintah dan DPR RI. "Selama hampir delapan tahun, UU yang sebelumnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini sekalipun tercatat dalam Program Legislasi Nasional namun gagal dibahas di Komisi Agama (Komisi VIII) DPR RI. Akhirnya masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, anak, dan kelompok disabilitas kini memiliki payung hukum yang memberikan perlindungan dari ancaman kekerasan seksual," tegas dia. (day)
Sumber: