Dibawa ke Alam Kindahan setelah Cicipi Vielle Bon Secour Ale

Dibawa ke Alam Kindahan setelah Cicipi Vielle Bon Secour Ale

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Pertemuan yang diagendakan tiba. Wati menunggu dengan sejuta perasaan di sudut kafe sebuah hotel. Sudah setengah jam lewat dari waktu yang disepakati, namun Eli belum muncul. Perempuan yang masih tampak cantik pada usia kepala lima tersebut akhirnya memperlihatkan batang hidung. Penampilannya tidak seperti biasa yang tomboy. Eli tampil feminin. Sebuah blouse belahan dada lebar dipadu plisket skirt menambah pesona mantan ratu kecantikan ini. Kulit wajahnya yang glowing seolah menonjol bagai relief di dinding candi. Wati terpesona. Tidak menyangka Eli bisa tampil sedemikin cantik. Cantik alami.   Cantik warisan leluhur. Wati baru tersadar setelah Eli mengulurkan tangan untuk bersalaman. Setelah berbasa-basi, mereka memesan minuman. “Vielle Bon Secour Ale,” ujar Eli kepada pramusaji. Wati yang belum pernah mendengar nama minuman tadi mengernyitkan alis. “Santai saja. Nanti aku yang menyelesaikan,” imbuh Eli. Obrolan pun merebak. Mereka bicara ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, tapi tidak pernah menyinggung soal penarikan dana. Alunan musik klasik melatarbelakangi obrolan keduanya. Waktu masih pukul 20.15 ketika Wati mengeluh kepalanya berat dan berkunang-kunang. “Maaf. Kepalaku sakit,” tuturnya. “Kita pulang saja,” tambahnya. “Dalam kondisi seperti ini?” tanya Eli, “Istirahat saja di kamar.” Sambil berkata demikian, Eli memapah tubuh Wati dibantu seorang pramusaji. Mereka masuk sebuah kamar. “Terima kasih,” kata Eli kepada pramusaji tadi sambil menyelipkan selembar tips. Antara sadar dan tidak Wati merasakan tubuhnya melayang-layang di antara awan. Dia tidak sendirian, melainkan bersama bidadari cantik yang sepanjang waktu memegangi tubuhnya. Membimbingnya memasuki gerban-gerbang taman. Ada gerbang keindahan. Ada gerbang kecantikan dan gerbang kenikmatan. Semua dimasuki. Semua dinikmati. Tidak ada rasa bosan. Tidak ada rasa lelah. Namun, semua pudar perlahan-lahan dan hilang ditelan kegelapan. Wati akhirnya membuka mata dan baru menyadari apa yang terjadi. Tapi semua sudah berlalu. Jam di layar HP-nya menunjukkan pukul 02.00. Ada berpuluh-puluh WA dan panggilan tak terjawab. Antara lain dari Jono, suaminya. “Menyesal?” tiba-tiba suara Eli terdengar dari belakang. Wati tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi dia sangat bisa menikmati apa yang barusan terjadi, sensasi ruar biasa yang tidak pernah ia rasakan; di sisi lain dia menyadari bahwa itu adalah perbuatan salah, yang bahkan bisa merusak jalinan rumah tangganya. “Menyesal?” ulang Eli. (bersambung)  

Sumber: