Perjalanan Cinta Duka Sepasang Mahasiswa (3-habis)

Perjalanan Cinta Duka Sepasang Mahasiswa (3-habis)

Tinggalkan Surat di Taman Bungkul

Rusman pucat. Mungkin takut Dina bekerja sama dengan istrinya membuat jebakan ini. Dia berusaha lari ke kamar mandi, tapi terburu ditutup Dina. Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar. Tanpa dipersilakan, yang menggedor pintu kamar hotel berdesakan masuk. Tidak hanya satu-dua, melainkan lebih dari 20 orang. Dina langsung berlari keluar kamar. “Bapak ngapain di sini? Gak pakai baju lagi. Masuk angin lho,” kata Bandi mengulangi ucapannya saat ramai-ramai memecundangi Rusman. Ia bersama rekan-rekan kuliah. “Sejak itu Pak Rusman tidak terlihat lagi di kampus. Mungkin malu. Kabarnya beliau pindah dan mengajar di luar Jawa,” kata Bandi tanpa bisa menyembunyikan tawa. Sejenak kemudian Bandi mengambil napas panjang. “Itulah kenangan manis bersama Dina, Om. Kenangan yang tidak mungkin terlupakan. Dina sudah bahagia di sana,” sambung Bandi. Kali ini nadanya penuh kesedihan. Dari bibirnya bahkan terdengar suara mingsek-mingsek. Suara tangis tertahan yang sangat menyakitkan. Yang terasa menyayat dan nyeri. Tak hanya itu, terlihat pantulan cahaya dari butir air yang luruh di ujung mata. Bandi kemudian mengeluarkan lembaran kertas kumel dari dompet. Mungkin karena puluhan, bahkan ratusan kali, dikeluar-masukkan dompet. Bahkan mungkin berkali-kali pula tertetesi air mata Bandi. “Dulu ada lima lembar. Sekarang kini tinggal ini. Selebihnya hancur karena sering basah kena air mata,” tutur Bandi. Lirih. Nyaris tak terdengar. Yang jelas, imbuh Bandi, isinya menyiratkan kekecewaan Dina karena Bandi tidak mau menghamilinya. Padahal, dengan penyerahan diri secara total, Dina ingin membuktikan cintanya yang sangat tulus. Sebaliknya, dia juga bisa mengukur kesungguhan Bandi dalam mencintai Dina. Malam itu Dina memaksa Bandi menghamilinya karena esoknya Dina sudah harus menikah dengan lelaki hasil perjodohan orang tua. Dia terpaksa kabur dari pingitan hanya untuk menemui Bandi. “Andai kamu berani menghamili aku, itu artinya kamu siap bertanggung jawab. Aku rela kabur bersamamu. Tapi aku kecewa. Kamu bukan lelaki sekokoh yang kuharapkan,” begitu bunyi salah satu kalimat di kertas kumel di tangan Bandi. Menurut Bandi, surat itu ditinggalkan Dina di kursi Taman Bungkul, tempat mereka sering bertemu. Dina meninggalkannya begitu saja karena Bandi tidak menanggapi permintaan Dina untuk menghamili gadis tersebut. “Waktu itu aku tidak paham maksud permintaannya. Yang jelas, sejak itu Dina tidak pernah kembali. Ke keluarganya atau ke tempat lain. Tidak ada yang tahu ke mana dia,” kata Bandi, yang menambahkan bahwa berbagai upaya sudah dilakukan untuk mencari Dina, tapi tidak pernah berhasil. “Kalau menurut keluarganya?” tanya Memorandum. “Entahlah. Keluarga Dina diam-diam pindahan. Tidak tahu ke mana. Pak RT-nya tidak mau berterus terang. (jos, habis)    

Sumber: