Derita Istri Bersuamikan Penggila Kerja (1)

Derita Istri Bersuamikan Penggila Kerja (1)

Tak Pernah Diajak Refreshing

“Lur, tolong uruskan perceraianku,” begitu tulis di WA seorang pengacara, sebut saja Win, seperti ditunjukkan kepada Memorandum. “Dari seorang teman,” kata Win di kantornya, dekat pengadilan agama (PA) Jalan Ketintang Madya, Surabaya, beberapa waktu lalu. Menurut Win, permintaan  itu sudah lama diungkapkan namun belum ditanggapi. Win lantas  memberikan HP-nya kepada Memorandum, dengan harapan Memorandum membaca kelanjutan chat temannya. Dengan cekatan Memorandum lantas mengambil dan membaca chat mereka. “Mengapa kamu berpikir begitu?” “Saya tidak tahan menghadapinya. Sudah tidak bisa diajak bicara.” “Memangnya, bagaimana kamu mengajaknya bicara?” “Berbagai cara. Mulai yang pelan dan lemah lembut sampai yang kasar.  Saya sampai bosan dan tidak tertarik lagi bicara dengannya. “ Win menjelaskan bahwa teman perempuan dalam chat tadi sudah delapan tahun menikah dan dikaruniai gadis kecil berusia lima tahunan. Selama itu pula perempuan itu, sebut saja Dini, bersabar terhadap perilaku suaminya, sebut saja Heri, yang sering berbicara dan bertindak kasar. Menurut Dini, suaminya yang istikomah salat Subuh berjamaah di masjid selalu mengatakan bahwa tugas perempuan adalah patuh kepada suami. Sehari-hari, Heri yang bekerja sebagai pengusaha pulang malam, mandi dan langsung tertidur. Rutinitas itu dilakukan Heri tanpa ada variasi lain. Jujur Dini mengaku bosan dan ingin memberontak. Pada awalnya Dini mengira suami terlalu lelah bekerja dan ingin mengistirahatkan diri. Masalahnya, hal seperti itu dilakukan setiap hari. Bukan hampir setiap hari, tapi real setiap hari. Tidak ada istilah sekali-sekali dalam rutinitas hidup Heri untuk sekadar melepaskan kebosanan. Misalkan sekali-kali mengajak anak dan istri makan malam di luar. Atau nonton bioskop. Sekadar jalan-jalan di keramaian mall atau supermarket. Tidak usah berbelanja, tapi sekadar cuci mata. Atau yang ringan-ringan, mengajak keliling menikmati suasana kota. Yang paling ringan pun, misalnya mengajak jagongan di teras rumah sambil minum teh dan bercanda tawa, tidak pernah dilakukan. Hidup dirasakan Dini teramat sangat kering sekali. Dini pernah mencoba membuka candaan. Tapi apa reaksi Heri? Justru marah-marah. Dini dikata-katai sebagai wanita yang tidak serius. Tidak menghargai suami, dan banyak hal negatif lain. Dini selalu mencoba menerima perlakuan Heri kepadanya. Dini bahkan merasa bahwa cita-citanya berumah tangga yang pernah dia bayangkan semasa masih gadis tidak pernah terwujud. “Semua ambyar. Saya masih berusaha bersabar, Tapi ketika memperlakukanku kasar anak kami (sebut saja Rini, red) karena anak saya kena sundut putung rokok, saya tidak terima. Saya marah dan kami bertengkar hebat. Anak sudah kesakitan, kok dimarahi. Padahal yang merokok dia. Yang sembrono hingga mengenai Rini, dia.” (jos, bersambung)  

Sumber: