Sok Berkuasa, Suka Ngatur (3-habis)

Sok Berkuasa, Suka Ngatur (3-habis)

Balas Bentak Ibu Mertua

“Wanita kasar dan berani. Nyesel aku punya menantu kamu!” kata Maria seperti ditirukan Didik.   Dewi tak kalah emosi. Setelah menahan sekian lama bongkahan sakit hati di dada, ia berteriak keras, “Aku yang menyesal punya mertua seperti Ibu. Wanita kolot.” Selesai mengucapkan itu, Dewi berlari ke kamar dan dihadang pelukan Didik. “Aku sudah tidak kuat, Mas. Silakan pilih, Ibu atau aku yang boleh tetap tinggal di rumah ini. Aku tidak kuat lagi berkumpul dengan Ibu,” kata Dewi di sela tangis. Buah simalakama yang disodorkan Dewi membuat kepala Didik seolah hancur berkeping-keping. “Sampai menuliskan email ini, aku masih merasakan kepala ini retak di segala penjuru,” tulis Didik. Didik tidak tahu harus memihak siapa dalam hal ini. Dalam kondisi demikian, dia menelepon kakaknya di Jakarta. Ingin sharing. Ternyata yang mengangkat HP bukan kakaknya sendiri, melainkan istri kakaknya. Ipar Didik. Sebelum sempat menyampaikan salam, Didik mendengar suara di seberang sana pecah. Suara tawa berderai. “Ada apa, Dik? Soal Bunda ya?” kata kakak iparnya, sebut saja Wati. “Kok Mbak Wati tahu?” “Kau kira selama Bunda tinggal di sini, kami tidak merasakan apa yang kamu rasakan sekarang?” kata Wati. “Lalu kami harus gimana, Mbak?” “Samikna wa atokna. Dengarkan dan laksanakan. Nikmati saja.” “Nikmati bagaimana?” “To the point saja ya. Dengarkan semua nasihat Ibu. Tapi kalau kalian tidak bisa melakukannya, ya jangan dilakukan. Easy going aja.” “Tapi sulit, Mbak.” “Tidak ada yang sulit.” “Kapan hari Ibu sudah memecat pembantu kami dan memaksanya pulang.” “Dia, siapa itu, Sarijem, sudah pulang?” “Sudah, Mbak.” “Panggil dia kembali.’ “Tapi Ibu gimana?” “Bunda ndak akan apa-apa.” Dijelaskan iparnya yang psikolog itu bahwa Ibunda menderita kepikunan. Sebagian perkataan dan perbuatannya kadang tidak selaras dengan pikirannya. Kalau suatu saat dia mengatakan atau melakukan sesuatu, besok atau lusanya sudah tidak ingat lagi. Wati mencontohkan Maria yang memecat dan menyuruh Sarijem pulang. Nanti kalau Sarijem balik dan ditanya, suruh saja Sarijem bilang baru pulang kampung karena ada saudaranya yang sakit.  Itu saja cukup. Tidak akan ada kelanjutannya. Ketika “resep” dari Wati ini disampaikan Didik kepada Dewi, wanita penyabar ini tidak bisa menahan tawa. “Oalah Mas-Mas. Aku sampai stress menghadapi Ibu, ternyata jurusnya cuma itu,” kata Dewi seperti dkatakan Didik. Didik lantas menelepon Sarijem dan menyuruhnya balik ke Surabaya. Ia juga bepesan ini-itu saat menghadapi Juragan Sepuh, begitu Maria biasa dipanggil di keluarga Didik. Ketika dua hari kemudia Sarijem sampai di rumah, ternyata Maria tidak berkata dan bertanya apa-apa. Sarijem malah dimarahi karena sejak pagi tidak kelihatan. Sarijem lantas disuruh segera masak karena Juragan Sepuh lapar. Sejak itu Didik dan Dewi memperlakukan Maria dengan riang. Setiap gerak mereka selalu diiringi dengan senyum. Sampai suatu hari Maria berkata tidak kerasan di rumah Didik dan ingin ikut saudara Didik yang lain, sebut saja Bunga. “Tolong segera telepon Bunga. Kita besok ke sana bersama Ibunda. Jangan lupa memberi tahu bagaimana jurus menghadapi Ibunda,” kata Didik kepada Dewi sambil mengulum senyum. (jos, habis)    

Sumber: