Tumbuh Cinta di Tulungagung, CLKB di Kota Pahlawan (2)
Dapat Kejutan Ultah dari Wanita yang Dicurigai Rebut Suami
“Sabtu depan ya. Jangan lupa,” demikian tulisan yang terbaca di HP Nanang. Pengirimnya bernama Marno, tapi tidak ada fotoya. Di akhir tulisan itu ada gambar emoji orang tersenyum. Itu saja. Sabtu depan yang dimaksud dalam kontak WA itu ternyata hari ini. Dan benar, sore harinya Nanang terlihat berdandan ekstra. Tidak seperti biasa. Rapi dan harum. Ketika ditanya Hana hendak ke mana kok dandan habis-habisan, Nanang mengaku ada meeting dengan rekanan bisnis. Mungkin pulangnya agak larut, bahkan ada kemungkinan hari. Waktu itu Hana belum curiga. Secara tak sengaja Hana melihat rumah tetangga barunya. Sepi. Tapi, tidak lama kemudian muncul si wanita, sebut saja Mira. Dandanannya juga rapi. Mau ke mana? “Jangan-jangan janjian dengan Nanang?” batin Hana. “Tapi tak mungkin mereka berselingkuh di depan mata,” lanjut kata hati Hana mulai macem-macem. Beberapa saat kemudian baru terlihat suami Mira muncul. Sebut saja namanya Hendra. Juga rapi. Mereka menuju rumahnya. Ada apa ini? Hana yang saat itu sedang berpura-pura menyirami bunga segera masuk rumah. Saat itulah, terdengar suara keras, “Selamat ulang tahun.” Suami beserta pasangan suami-istri tetangga tadi berhambur ke arahnya. Nanang dari dalam, pasangan Hendra-Mira dari halama. Mereka memberi pelukan, ciuman, dan ucapan selamat. “Ternyata kejutan ulang tahun itu dirancang suamiku dan Mira,” kata Hana. Rupanya kebersamaan itu kembali mendekatkan Nanang dan Mira, yang pernah berpacaran semasa SMA. Hubungan Nanang-Mira berlanjut hingga lulus kuliah. Mereka bahkan sudah berada di ambang perkawinan. Saat itulah terjadi “bencana pranikah”. Keluarga Nanang membatalkan rencana pernikahan. Nanang yang keturunan keluarga keraton tidak bisa menerima kenyataan bahwa Mira adalah wanita yang tidak bakal bisa memberikan keturunan. Itulah hasil pemeriksaan kesehatan yang dilakukan Nanang dan Mira menjelang pernikahan mereka. Dipisahkan secara paksa, apalagi dengan alasan seperti itu, tentu saja Mira sakit hati. Demikian pula Nanang. ‘’Cerita itu saya peroleh dari Umi—samaran, adik Mas Nanang. Lama setelah itu, kami dipertemukan oleh kerabat,” tutur Hana pada pertemuan keesokan harinya, juga di Pengadilan Agama (PA) Surabaya. Tak butuh waktu lama bagi Hana-Nanang untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Hanya sekitar lima bulan. Toh begitu, Hana merasakan cintanya kepada Nanang amatlah mendalam. Lelaki pendiam itu mampu meluluhlantakkan hatinya. Kali ini, jauh sebelum mendekati pernikahan, orang tua Nanang sudah meminta Hana memeriksakan kesuburan rahimnya. Rupanya mereka khawatir kejadian serupa terhadap calon menantu mereka terulang. Tapi, tampaknya Nanang tak setuju. Diam-diam dia melarang Hana ke dokter atau rumah sakit. “Aku dilarang Mas Nanang memeriksaka kesehatan. Dia takut kembali kehilangan orang yang telanjur dicintai,” tutur Hana lirih. Tampak senyum tipis yang cenderung masam menghiasi bibirnya. Dengan pengakuan hasil pemeriksaan kesehatan amat bagus, Hana makin dekat dengan keluarga Nanang. Dalam waktu singkat Nanang dan Hana pun dipersandingkan secara mewah di pelaminan. Balroom Shangri-la menjadi saksi bisu penyatuan jiwa mereka. Ribuan undangan silih berganti memadati kursi-kursi undangan. Berbagai hadiah mewah menumpuk di kamar pengantin. “Kami hidup bahagia, Mbak. Yang menjadi ganjalan, sudah lebih dari tiga tahun menikah, kami belum dikaruniai momongan,” kata Hana. Khawatir ada sesuatu pada dirinya, tanpa sepengetahuan Nanang, Hana memeriksakan kesehatan kandungannya ke dokter. Apa yang terjadi? Sesuatu yang dikhawatirkan Hana benar-benar terjadi. Dia divonis seperti Mira: tak bakalan bisa hamil. Ada kelainan di rahimnya. Sejak itu Hana menjadi pribadi yang pemurung. Kondisi ini berlarut hingga fakta tersebut terdengar kedua mertuanya. Dan, ini sangat berpengaruh pada sikap mereka terhadap Hana. Perhatian keduanya di awal pernikahan berangsur-angsur surut, sampai hampir tidak berbekas. Dalam setiap kunjungan Nanang-Hana ke Solo, hanya suaminya yang mendapat perlakuan semestinya. Hana hampir-hampir tidak pernah disapa walau sempat berpapasan muka. (bersambung)Sumber: