Joe Paloh
Oleh: Dahlan Iskan Tulisan ini tertunda terus. Setiap kali akan muncul di DI’s Way tergeser oleh kejadian baru. Tapi Joe Biden kini hot kembali. Ditambah salaman Srimulat-nya Megawati. Maka --meski beberapa orang sudah dapat bocorannya-- kisah ini sayang dilewatkan: Mereka berpasangan secara serasi. Dua periode. Delapan tahun. Namun, begitu tidak menjabat, keduanya tidak pernah berhubungan. Via WA sekali pun. Itulah Barack Obama dan Joe Biden. Presiden ke-44 Amerika dan wakilnya. Masing-masing hanya memendam dugaan: kenapa mereka tidak bisa saling bertemu. Di awal bulan ketujuh masa pensiunnya, Joe duduk-duduk di dalam rumahnya. Yang halaman belakangnya khas rumah orang kaya Amerika: luas sekali. Dengan hamparan rumput dan pepohonan. Itu malam hari. Di luar sudah gelap. Khususnya di halaman belakang itu. Tapi Joe masih bisa melihat ada sesuatu yang mencurigakan. Ada korek api menyala. Di halaman belakang itu. Agak di kejauhan. Di balik pepohonan sana. Di Amerika berlaku peraturan: setelah pensiun enam bulan mantan wapres tidak lagi mendapat pengawalan. Karena itu Joe harus lebih waspada. Pun malam itu. Joe curiga. Mengapa ada orang di halaman belakang. Ia bergegas ke kamar tidurnya. Membuka laci di sebelah ranjangnya: ada senjata dan pistol di situ. Juga tersimpan medali tertinggi yang pernah diterimanya. Penghargaan dari negara. Ia ambil pistol itu. Ia slempitkan di balik jasnya. Ia ajak serta anjingnya. Ke halaman belakang. Jalannya pelan. Langkahnya hati-hati. Saat membeli pistol itu Joe ditegur istrinya: untuk apa? Kan sudah punya senjata? Waktu itu Joe tidak bisa menjawab. Malam inilah jawabnya. Begitu melewati pintu belakang Joe merasa aneh. Mencium bau rokok. Yang aromanya seperti pernah ia cium. Ia pun melewati beberapa pohon. Sambil berlindung di baliknya. Aroma rokok yang sama kian kuat. Kian dekat ke pohon itu kian keras aroma rokoknya. Kian kenal pula aroma rokok apakah itu. Dan siapa yang biasa mengisap rokok seperti itu. Barack Obama. Joe pun terbatuk kecil. Lalu menegurkan suaranya ke arah aroma itu. “Kok sekarang merokok lagi?” “Kalau lagi rindu sahabatnya saja.” “Kenapa mencurigakan begini?” Barack hanya membisikkan jawabannya. Sangat rahasia. Intinya malam itu Barack ingin membisikkan kabar duka yang mencurigakan: teman baik Joe baru saja meninggal. Ditabrak Amtrak. Kereta api jurusan Delaware-Washington DC. Yang misterius: Di meja kerja korban ditemukan peta. Menunjuk ke alamat Joe. Ini bisa krusial. Korban ditengarai bunuh diri. Atau fly oleh obat bius. Atau dibunuh jaringan perdagangan narkotik. Atau ada motif politik. Pokoknya ia mati tidak wajar. “Joe, hati-hatilah. Anda bisa dikait-kaitkan.” Apalagi, si korban memang kenal baik dengan Joe. Meskipun pekerjaan sang korban hanya kondektur Amtrak. Itu karena Joe selalu naik Amtrak. Belasan tahun. Joe adalah pelanggan setia Amtrak. Yakni saat Joe jadi anggota DPR. Selama 15 tahun. Jurusannya pun tetap. Jamnya tetap. Dari rumahnya di Delaware ke gedung DPR di Washington DC. Satu jam perjalanan. Nyaris tiap hari. Siapa pun di stasiun Delaware kenal Joe. Apalagi kondektur. Kelak, setelah Joe jadi wapres, stasiun itu diberi nama ”Stasiun Amtrak Joe Biden”. Setelah perokok itu pergi, Joe bertekad ingin menyelidiki sendiri: mengapa kondektur itu tewas. Toh ia sudah tidak banyak kesibukan. Rasanya tidak mungkin bunuh diri. Orangnya baik. Dan lagi sudah hampir pensiun dari Amtrak. Joe ingin merasakan jadi seperti detektif swasta. Ingin membongkar misteri kematian kondektur itu. Barack membantu sepenuhnya. Termasuk paspampres yang masih melekat mendampinginya. Yang untuk mantan presiden tidak ada batasan enam bulan. Keduanya pun terlibat lika-liku penyelidikan. Sampai menyamar tidur di motel murahan. Juga sampai ngebut. Untuk mengejar motor besar yang mencurigakan. Joe yang pegang kemudi. Sampai tergelincir ke sawah. Barack yang mendampingi. Singkat cerita, Joe berhasil. Pembunuhan itu terbongkar. Satu jaringan perdagangan obat bius terungkap. Salah satunya tokoh polisi di Delaware. Yang amat ia percaya. Di akhir cerita terjadi tembak-tembakan. Barack sampai tiarap di atas aspal. Si polisi jahat menembak Joe. Yang ditembak pun roboh. Tubuhnya ambruk ke tubuh Barack. Wah, Joe tertembak. Barack melihat sendiri peluru mengenai dadanya. Pasti Joe tewas. Begitu pikir Barack. Ternyata Joe tidak apa-apa. Justru sang polisi yang roboh. Joe sempat menembaknya lebih cepat. Lho tadi kan peluru mengenai dadanya. Kenapa tidak berdarah? Joe merogoh saku atas di bajunya. Mengeluarkan tanda jasa tertinggi yang ia kantongi. Medali itu penyok. Kena peluru. Hollywood banget. Kisah itu memang fiksi. 100 persen fiksi. Ditulis dalam wujud sebuah novel. Judulnya: Hope Never Dies. Yang baru selesai saya baca seminggu sebelum menulis ini. Itulah sebuah novel laris di Amerika. Penulisnya Anda sudah tahu: Andrew Shaffer. Penulis cerita film Hollywood ”Fifty Shades of Grey” itu. Yang di Indonesia sangat terkenal filmnya. Shaffer juga menulis buku lainnya seperti ”Yoga-Philosophy for Every One, Bending Mind and Body”. Saya nyaris tidak bisa berhenti membaca novel ”Hope” itu. Tokoh-tokohnya begitu akrab di benak kita. Karakter tokohnya pun mencerminkan karakter Barack yang kita kenal. Dengan intelektualitasnya. Dengan flamboyannya. Dengan humor-humor tingkat tingginya. Demikian juga karakter Joe yang kita kenal. Terasa sekali tercermin di novel itu. Juga dengan keseniorannya. Dan humor tingkat tingginya. Tercermin juga betapa serasi pasangan itu. Betapa sudah seperti keluarga. Meski yang satu kulit putih dan satunya kulit hitam. Di akhir cerita baru diungkap: mengapa keduanya tidak saling kontak selama enam bulan terakhir. Kata Joe pada Obama: saya tidak berani kontak, saya khawatir mengganggu Anda. Joe melihat Barack begitu sibuk keliling dunia. Bersama tokoh-tokoh muda. Barangkali Barack tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang tua seperti dirinya. ”Umur saya kan sudah 76 tahun.” Sedang Barack mengatakan kepada Joe begini: ”Joe, saya kira Engkau sengaja menjauhi saya. Saya jadi sungkan mengontak Anda.” Kok menjauhi? ”Siapa tahu Engkau akan mencalonkan diri sebagai presiden. Yang harus menghindari bayang-bayang Barack.” Sekali lagi itu novel. Fiksi. Yang ternyata benar hanyalah: Joe akhirnya memang mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk Pilpres 2020. Melawan incumbent Donald Trump. Tua lawan tua. Tapi kan tidak ada lagi istilah orang tua sekarang ini. Sejak Mahathir Mohamad terpilih sebagai perdana menteri Malaysia. Di umurnya yang 93 tahun saat itu. Saya membayangkan: kalau hubungan Pak SBY dan Bu Mega dibuat novel pasti akan laris manis pula. Ditambah pemain baru: Surya Paloh.(*)
Sumber: