Ayah Cecunguk, Pacar Kampret (2)
Sang Pacar Terlihat Polos-los
Endang minta Qudori mandi terlebih dulu agar tubuhnya bersih dan segar. Qudori penasaran: kejutan apa yang bakal diberikan kekasihnya tersebut? Qudori menuruti saja kemauan Endang. Dengan benak penuh pertanyaan, dia masuk kamar mandi dan membersihkan tubuh. Gebyar-gebyur… gebyar-gebyur… sok osok-osok. Tanpa disangka, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Byak… astaghfirullah... Qudori melihat Endang berdiri di hadapannya. Polos los-los-los. Seperti bayi usia 21 tahun. Jangankan sehelai benang, setengah atau seperempat helai benang pun tidak ada yang melekat di tubuhnya. Spontan Qudori meraih baju di cantolan untuk menutupi bagian tubuhnya yang paling vital. Dia juga meraih handuk untuk membungkus tubuh Endang. Setelah itu, pemuda berjenggot tipis ini jatuh terduduk dan menangis sesenggukan. Melihat itu, Endang terpaku. Sejenak kemudian tubuhnya menghilang di balik pintu kamar tidur. Dia keluar setelah mengenakan pakaian lengkap yang sopan. Dibimbingnya Qudori berdiri. Dituntun masuk kamar tidur. Endang juga mengambil pakaian Qudori yang masih tertinggal di kamar mandi, menyerahkannya kepada Qudori yang sedang terkulai lemas di sudut kamar. Endang lantas keluar. Setengah jam kemudian dia balik ke kamar dan mengetuk pintunya. “Endang tersenyum dan minta maaf,” tutur Qudori. Endang mengaku sangat terharu melihat Qudori yang begitu komit menjaga kehormatannya. Dia juga mengaku tidak menyangka memunyai kekasih seperti itu. Di era milenium seperti sekarang ini, mungkin Qudori adalah satu di antara seribu pemuda yang mampu bersikap begitu. Atau, barangkali bahkan satu di antara sejuta. Allahu a’lam. Pengalaman kedua dihadapi Qudori sewaktu mendaki Semeru bersama kelompok pecinta alam kampus. Waktu itu rombongan sedang beristirahat di tepian Ranu Kumbolo. Mereka mendirikan tenda di bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tersebut. Kebetulan Endang yang sebenarnya masuk dalam kelompok pecinta alam itu sedang sakit, sehingga tidak ikut bergabung. Bakar-bakar kambing guling yang mereka beli dari warga kampung di lereng tadi menyemarakkan suasana. Setelah puas makan minum, mereka berpencar sesuai keinginan masing-masing. Ada yang langsung tidur. Ada yang jalan-jalan menikmati kesegaran udara dan keindahan alam semesta. Ada yang genjrang-genjreng bermain gitar dan nyanyi-nyanyi. Dll. Dsb. Dst. Qudori memilih menyendiri, duduk di sebuah batu besar di bibir ranu. Menggumi kedahsyatan sang pencipta. Pikirannya melayang jauh ke atas langit, yang mulai menampakkan bintang-gemintang: apakah di sana juga ada kehiduan seperti di bumi? (jos, bersambung)Sumber: