Dipaksa Nikah dengan Santri (5)

Dipaksa Nikah dengan Santri (5)

Malam Pertama yang Tertunda

Saat itu tidak sengaja Koma menyentuh dada sang suami. Bakir membuka mata. Tangannya lantas menggenggam tangan Koma. “Kau belum tidur? Kenapa ada di bawah? Nanti kau kedinginan. Ayo naik lagi ke ranjangmu dan tidur lagi, besok kau capai dan ikut-ikutan jatuh sakit” pinta Bakir seperti ditirukan Koma. Hati Koma miris mendengar semua itu. Dadanya sesak, mengapa Bakir selalu dingin kepadanya? Apakah dia menganggap Koma sebagai orang lain? Apakah di hatinya tidak ada cinta sama sekali untuk Koma? Tanpa disadari air mata Koma menetes sambil menahan isak yang ingin sekali diluapkan dengan teriakan. Hingga akhirnya gemuruh di hati Koma tidak bisa terbendung. Dia berondongkan semua tanya di hatinya, ”Kak, kenapa sikap Kakak selama ini begitu dingin? Kakak tidak pernah mau menyentuhku walaupun sekadar jabat tangan. Bukankah aku ini istri Kakak? Bukankah aku telah halal buat Kakak? Lalu, mengapa Kakak jadikan aku sebagai patung perhiasan di kamar Kakak? Apa artinya diriku bagi Kakak? Apa artinya aku bagimu, Kak? Kalau Kakak tidak mencintaiku, lantas mengapa kau menikahiku? Mengapa Kak? Mengapa?” Tidak ada reaksi apa pun dari Bakir menanggapi kegalauan Koma dalam tangis yang tersedu itu. Yang tampak adalah dia memerbaiki posisi duduknya dan melirik jam yang menempel di dinding kamar. Hingga akhirnya dia mendekati Koma dan perlahan berujar padaku, ”Dek, jangan kau pernah bertanya kepada Kakak tentang perasaan Kakak kepadamu. Karena sesungguhnya Kakak begitu teramat sangat mencintaimu. Tetapi, tanyakanlah kepada dirimu sendiri, apakah saat ini telah ada cinta di hatimu untuk Kakak?” Setelah mengambil napas panjang, Bakir menambahkan, “Kakak tahu dan yakin pasti suatu saat kau akan bertanya mengapa sikap Kakak selama ini begitu dingin kepadamu. Sebelumnya Kakak minta maaf bila semuanya baru Kakak kabarkan malam ini. Kau mau tanyakan apa maksud Kakak sebenarnya dengan semua ini?” “Iya tolong jelaskan kepadaku Kak, mengapa Kakak begitu tega melakukan ini kepadaku? Tolong jelaskan Kak?” ujar Koma menimpali tutur Bakir. “Adek mencintai Kakak?” “Aku sangat mencintai Kakak.” Entah bagaimana awalnya, apa yang selama ini hanya bisa dibayangkan Koma terjadilah malam itu. Malam pertama yang tertunda hingga waktu tak terhingga berakhir sudah. Tangis Koma meledak dalam bahagia. Tapi sayang, kebahagiaan malam pertama itu tidak berkangsung lama. Saat Koma bangun dari tidur setelah menyelesaikan tugas berbagi nafkah batin itu, Bakir masih telelap di tempat tidur. Koma membiarkan suami yang mungkin masih menikmati sisa-sisa kenikmatan yang mereka raih bersama semalam. Dia tinggalkan Bakir untuk membasahi tubuh, mandi besar. Selesai mandi, Koma kembali ke ranjang untuk membangunkan Bakir. Tapi apa yang terjadi? Bakir masih tetap terlelap. Lelap yang ternyata abadi. Ya. Bakir telah tiada. (jos, bersambung)    

Sumber: