Dipaksa Nikah dengan Santri (3)

Dipaksa Nikah dengan Santri (3)

Suami Tidur di Permadani

Koma hampir saja berteriak histeris andai saja saat itu tidak terdengar takbir lirih dari sosok yang ternyata Bakir. Perlahan Koma membalikkan tubuh membelakanginya. Ah… rupanya dia lupa bahwa dirinya telah menjadi istri Bakir. Tapi meskipun demikian, Koma masih tidak bisa menerima kehadiran Bakir dalam hidupnya. Saat itu, karena masih di bawah perasan ngantuk, Koma pun kembali teridur. Hingga pukul 04.00 dini hari, dia dapati suaminya sedang tidur beralaskan sajadah di samping ranjang Koma. Dada Koma kembali berdetak kencang kala mendapati fakta itu. Dia masih belum percaya kalau dirinya telah bersuami. Tapi, ada sebuah pertanyaaan terbetik dalam benaknya: mengapa Bakir tidak tidur di ranjang bersamanya? Kalaupun belum ingin menyentuh, paling gak tidur seranjang. Itu kan logikanya? “Ada apa ini?” ujar Koma dalam hati. Dia merasa mungkin saja malam itu Bakir kecapaian sama sepertinya sehingga tidak menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Sebagai pengantin baru. “Tapi apa peduliku dengan itu semua, toh aku pun tidak menginginkannya,” gumam Koma. Hari-hari terus berlalu. Mereka menjalani aktivitas masing-masing; Bakir bekerja mencari rezeki dengan bekerja, sedangkan Koma di rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa dia telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suami. Yah, minimal menyediakan makanannya, meski kenangan-kenangan bersama Fatah belum hilang. Semula Koma berpikir Bakir yang tidak pernah menyentuhnya dan menunaikan kewajiban sebagai suami itu hanya terjadi malam pernikahan mereka. Ternyata tidak. Itu terjadi hampir setiap malam sejak malam pengantin itu.Bakir selalu tidur beralaskan permadani di samping ranjang atau tidur di atas sofa dalam kamar. Bakir tidak pernah menyentuh Koma walau hanya menjabat tangan. Segala kebutuhan Koma selalu dipenuhi. Secara lahir dia selalu menafkahi, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih dari apa yang aku butuhkan. Tapi soal biologis, Bakir tak pernah sama sekali mengungkit-ungukitnya atau menuntut dari Koma. Bahkan yang tidak pernah Koma pahami, pernah secara tidak sengaja kami bertabrakan di depan pintu kamar, Bakir malah meminta maaf seolah merasa bersalah karena telah menyentuhku, walau tidak sengaja. Ada apa dengan Bakir? Apakah dia lelaki normal? Kenapa dia begitu dingin? Koma sampai merasa ada yang kurang pada dirinya. Atau? Merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak Koma. Ada apa dengan Bakir? bukankah dia adalah pria yang beragama dan tahu bahwa menafkahi istri itu secara lahir dan batin adalah kewajiban? Ada apa dengannya? Padahal, setiap hari dia mengisi acara-acara keagamaan di masjid dan di rumah-rumah jemaah. (jos, bersambung)  

Sumber: