Bunga Desa vs Pejantan Tangguh (1)
Ngecengi Anak Camat
Dinda (samaran) bahagia saat lima tahun lalu diperkenalkan omnya, sebut saja Parmin, kepada seorang pemuda, Novan (juga samara). Orangnya ganteng. Saking gantengnya, wajah Novan kadang lebih tampak seperti perempuan. Imut. Kebanggaan Dinda, yang sebelum nikah tinggal di Sedeng, Pacitan, terhadap Novan memang beralasan. Selain ganteng, pria tersebut bertubuh atletis. Orang-orang menyebut Novan sebagai pejantan tangguh. “Kalau Dinda dikenal sebagai bunga desa yang cantik,” kata Lika, sepupu Dinda, yang mengantarkan saudaranya ini ke Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Lika lantas memberi isyarat Memorandum supaya keluar ruangan. Kemudian dia sendiri pamit kepada Dinda untuk minum teh di warung. Di sana kami ngobrol lebih leluasa. Lika tidak berlebihan. Wajah Dinda memang cantik. Mirip Amanda Manopo. Bodinya tak kalah mengagumkan. Bak gitar Spanyol. Lekuknya mempertontonkan kepadatan dan pahatan yang sempurna. Saking cantiknya dibanding cewek-cewek sebaya di daerahnya, sampai tidak ada pemuda yang berani mendekati Dinda. Banyak cowok yang terburu menyerah sebelum berusaha. Kalah sebelum perang. Pernah ada anak camat yang sekolahnya bersebelahan dengan SMA tempat Dinda bersekolah. Anak itu kabarnya naksir berat kepada Dinda. Hal itu disampaikan melalui teman sebangku Dinda. Bagaimana tanggapan Dinda? Cowok tadi diminta menemuinya di taman alun-laun. Ditantang untuk menyatakan cinta. Pada jam yang ditentukan, Dinda menunggu sang cowok. Tapi lewat setengah jam, cowok tadi belum juga ngongol. Lebih dari sejam, masih belum tampak. Ketika hampir dua jam, baru si cowok muncul. Bajunya basah kuyup dan tubuhnya gemetaran. Padahal, saat itu tidak sedang hujan. Dia diantar teman sebangku Dinda. Wajah innocent-nya selalu disimpan dengan cara menunduk. Sesekali dia seperti ragu dan hendak kabur meninggalkan tempat. Kalau teman yang berada di sampingnya tidak memaksa, pasti dia tidak akan melanjutkan rencananya menemui Dinda. Hanya sesekali wajah tadi didongakkan. Cuma sekejap, untuk mencuri pandang ke arah Dinda yang duduk anggun di sebuah kursi semen. Berbeda dengan mata si cowok yang sesekali mencuri pandang, mata Dinda selalu diarahkan tajam ke mata cowok tadi. Tet pukul 12.00 mereka duduk berhadapan. Dinda diam. Demikian juga si cowok. Dahinya mengucurkan keringat deras. Juga ketiaknya. Bajunya makin kuyup. Matanya nanar. Tidak menatap siapa pun. Mulutnya komat-kamit tapi tanpa mengeluarkan suara. Begitu berlangsung lebih dari 20 menit. Dinda dengan sabar menungguinya sambil sesekali melihat jam tangan. Setelah lebih dari setengah jam, dan cowok tadi belum juga mengeluarkan isi hati, mak-nyet… Dinda berdiri dan meninggalkan tempat. Tangannya sempat menyambar amplop di tangan teman sebangkunya. “Tahu apa yang terjadi?” tanya Lika kepada Memorandum. Tanpa menunggu jawaban, Lika menjelaskan bahwa Dinda memenangkan taruhan. Dia bertaruh cowok tadi tidak akan mampu berkata-kata ketika berada di hadapannya. Sedangkan teman sebangkunya, bertaruh si cowok dengan lancar akan menyatakan cintanya kepada Dinda. Menurut Lika, ini adalah salah satu karakter Dinda. Sejak kecil Dinda selalu percaya diri (PD), bahkan ingin menang dan memang selalu menang. Tidak pernah berada di bawah atau dikalahkan. “Dinda dimanjakan orang tuanya,” jelas Lika. Baru kali ini Dinda ketemu batunya. Menemukan sandungan. Celakanya, batu itu teronggok pada saat dia harus betul-betul serius menapaki masa depan. (jos, bersambung)Sumber: