Kebahagiaan untuk Istri (1)
Kecelakaan, Lumpuh
Orangnya masih muda. Masih sekitaran 30-33 tahunan. Wajahnya kaku dan keras. Hanya, sorot matanya tampak setengah kosong dan penuh penderitaan. Memorandum mencoba duduk di sampingnya dan ia cuek. No reken. Ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Surabaya yang gerah semakin ongkep melihat sikapnya yang nggak semanak. “Boleh duduk? Sendirian kan?” tanya Memorandum berusaha sopan. Lelaki tersebut, sebut saja Tomi, hanya menggeser duduknya tanpa menolah dan menjawab. “Ngantar keluarga atau teman?” tanya Memorandum lagi. Berhasil. Dia menoleh dan memandang tajam. Jujur, Memorandum sempat waswas melihat sorot matanya yang memandang tajam penuh selidik. “Sendirian. Mengapa?” jawabnya tidak lama kemudian. Kaku. Sekaku garis wajahnya. Dijawab demikian, Memorandum mananggapi dengan senyum nglecem. Malu-malu gimana gitu. “Aku harus membiasakan hidup sendiri karena hari-hari ke depan tidak banyak yang mau dekat denganku.” Kalimat ini tidak Memorandum sangka meluncur dari bibirnya. Kalimat yang penuh nuansa putus asa. “Kenapa? Ditinggal istri?” tanya Memorandum hati-hati tapi yakin bakal direspons kalau mendengar kalimat terakhirnya. “Justru aku yang akan meninggalkan dia. Tapi ini demi dia,” tuturnya lirih. Kali ini dibarengi dengan tatapan sayu. Mata tidak berdaya. Meski heran kenapa Tomi secepat itu berubah sikap jadi terbuka, Memorandum tidak ambil peduli. “Aku terpaksa meninggalkan dia karena tidak bakal bisa jadi suami yang baik untuk dia. Tidak mungkin,” katanya. “Kenapa?” tanya Memorandum. “Aku sudah tidak berfungsi sebagai lalaki. Aku lumpuh,” katanya, yang lantas menjelaskan bahwa itu terjadi dua-tiga tahun lalu setelah kecelakaan di Gresik. Temannya tewas seketika di tempat kejadian perkara, sedangkan dia terluka parah. Tulang punggungnya berantakan dan divonis dokter lumpuh seumur hidup. Menurut Tomi, waktu itu dia baru pindah kerja dari Surabaya ke Gresik. Ketika hendak melihat lokasi kantor anyarnya naik motor bersama seorang teman, dari belakang nyelonong truk bermuatan tripleks. Remnya blong serta menabrak motor dan dua mobil secara beruntun. “Kami tergencet dua mobil,” kata Tomi. Pasca kejadian itu perusahaan sebenarnya masih memakai tenaga Tomi untuk bekerja. Tapi, lambat laun Tomi merasa menjadi beban. Dia tahu bawa perusahaan mempekerjakan bukan karena kemampuannya, melainkan semata karena kasihan. Belum genap setengah tahun Tomi akirnya mengundurkan diri. Uang pesangon dia coba putar dengan menjadi reseller beberapa produk branded. Ternyata hasilnya agak lumayan meski belum mencukupi untuk menutup kebutuhan keluarga. Beruntung istrinya, sebut saja Seli, bekerja di sebuah bank swsta. Dialah yang menutup kekurangan setiap bulannya. Tapi bukan sekadar itu yang dipikirkan Tomi. Beban pikiran terberat Toni adalah senjatanya yang sudah tidak lagi bisa berfungsi. “Aku letoy, Om,” katanya, (jos, bersambung)Sumber: