Dilelang Sepihak, Rumah Warga Perum Galaxy Bumi Permai hendak Dieksekusi

Dilelang Sepihak, Rumah Warga Perum Galaxy Bumi Permai hendak Dieksekusi

Surabaya, memorandum.co.id - Keluarga Olivia Christine Najoan mempertanyakan ekskusi tanah dan bangunan (rumah) yang akan dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Selasa (23/11/2021) mendatang. Padahal, gugatan hukum tentang lelang sepihak di rumah kawasan Perum Galaxy Bumi Permai tersebut belum diputus. Menurut Olivia, anak sulung Djoni Najoan, rumah tersebut adalah peninggalan orang tuanya yang diberikan kepada tiga anaknya. Olivia mengatakan, surat pengosongan eksekusi telah dilampirkan dengan nomor W14-U1/19525/Hk.02/11/2021 dengan perihal pemberitahuan pelaksanaan eksekusi pengosongan perkara nomor 42/EKS/2020/PN.Sby oleh Ketua PN Surabaya. Sementara itu, kuasa hukum Olivia Christine Najoan, Heru Sugiono, berharap agar eksekusi ditunda mengingat pihaknya telah melayangkan gugatan hukum kepada pihak tergugat dan belum diputus PN Surabaya. "Bahwa kami dalam proses melakukan upaya-upaya hukum demi memperoleh kepastian hukum dan keadilan atas tanah dan bangunan tersebut. Gugatan kami sudah diajukan dan telah terdaftar di kepaniteraan perdata PN Surabaya pada 22 April 2021, yang saat ini masih diperiksa oleh hakim majelis PN Surabaya dan belum diputus," beber Heru, Minggu (21/11/2021). Heru mengatakan, proses lelang atas rumah milik kliennya itu dilakukan secara sepihak. Tanpa ada musyawarah dan pemberitahuan. Karena hal tersebut, kliennya dalam hal ini Olivia Christine Najoan melayangkan gugatan perdata perbuatan melawan hukum dengan perkara nomor 422/Pdt.G/2021/PN.Sby. "Maka eksekusi itu harus ditunda sampai gugatan kami di persidangan tuntas," tegasnya. Selain itu, pihaknya juga telah melayangkan surat perlindungan hukum kepada DPRD Surabaya dan Polrestabes Surabaya awal Agustus 2021, guna memperoleh perlindungan mengingat pihaknya dalam perjuangan mencari keadilan. Olivia menambahkan, eksekusi tanah dan bangunan miliknya seluas 436 meter persegi ini berawal dari pihaknya yang melakukan peminjaman di salah satu bank di Surabaya pada Mei 2018 dan dicairkan Rp 4 miliar dengan objek jaminan sertifikat tanah dan bangunan. Setahun kemudian, pada Mei 2019, Olivia membayar suku bunga sebesar 18 persen per tahun dan meminta untuk melakukan perpanjangan pembayaran selama 3 bulan ke depan. Namun dalam perjalanannya, Olivia belum bisa melunasi hingga kembali negosiasi dengan pihak bank. "September 2019 saya berkomunikasi dengan pihak bank minta reschedule tetapi pihak bank minta langsung pelunasan, saya tidak bisa jika langsung Rp 4 miliar, lalu saya mohon pembayaran untuk diangsur, namun oleh pihak bank tidak dikabulkan," jelas Olivia. Selama masa proses negosiasi tersebut, tiba-tiba jaminan Olivia dilelang sepihak. Pemenang lelang bahkan telah diumumkan. Olivia mengaku tak diberitahu akan proses lelang tersebut. "Saya tahunya Februari 2020 kalau rumah saya sudah dilelang. Mereka (pihak bank) mengaku sudah mengirimkan surat ke rumah, tapi saya tidak menerima. Seluruh anggota keluarga rumah juga tidak ada yang menerima surat pemberitahuan dari bank," jelasnya. Di rumah tersebut Olivia tinggal bersama adik kandung laki-laki yang memiliki istri dan tiga anak masih di bawah umur. Masing-masing berusia 1 tahun, 3 tahun, dan 8 tahun. Selain itu, juga ada asisten rumah tangga (ART) tiga orang. Olivia menyebut, tak ada satu pun surat yang masuk ke rumah. Sehingga pihaknya mempertanyakan asetnya dilelang. "Rumah saya juga hanya dilelang Rp 4,125 miliar padahal tafsiran kami itu bisa Rp 10 miliar lebih. Dan dalam prosesnya ini tidak bermusyawarah dengan saya, kenapa kami tidak dilibatkan, tiba-tiba dilelang sepihak tanpa persetujuan saya. Sehingga saya mengajukan gugatan karena saya merasa tidak terima dan ini tidak adil," tandasnya. Terpisah, Martin Ginting, Humas PN Surabaya saat dikonfirmasi perihal pelaksanaan penetapan eksekusi yang masih ada perkara lain yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) terhadap penetapan tersebut mengatakan sepenuhnya domain (ranah) ketua pengadilan negeri (KPN). "Penetapan eksekusi sepenuhnya domain KPN untuk pelaksanaannya. Bila ada perkara yang sedang berjalan, maka biasanya ditunggu inkracht dulu," tutur Martin Ginting saat dikonfirmasi melalui WhatsApp (WA), Minggu (21/11/2021). Namun, sambung Ginting, tergantung juga dari kasusnya. Harus dilihat apakah ada indikasi suatu perkara didaftarkan hanya untuk menghambat pelaksanaan eksekusi. "Biasanya ada pertimbangan khusus dari KPN," tandasnya. (mg-3/mg-5/fer)

Sumber: