Cinta Gadis Facebooker (4-habis)

Cinta Gadis Facebooker (4-habis)

Kabur lewat Jendela Nako

Riza putus asa. Dia berpikir tidak  ada jalan lain kecuali harus meninggalkan Jito. Harus! Tidak bisa tidak. Semakin cepat semakin baik. Suatu malam Jito tertidur pulas. Diam-diam Riza berusaha keluar rumah. Ternyata sulit. Semua pintu terkunci rapat. Riza hanya berputar-putar di dalam rumah. Saat lelah, berhenti dan duduk di kursi dekat jendela dapur , tanpa sengaja lengannya menyenggol kaca nako jendela tersebut. Terdengar bunyi srek… kaca melorot. Riza perhatikan. Ternyata kaca tersebut bisa dilepas dengan mudah. Dengan bersemangat Riza lantas mencopoti beberapa kaca di atasnya. Sebagian kaca nako sudah terlepas. Sudah cukup untuk diterobosi. Hanya, itu tidak bisa dilakukan karena masih ada beberapa pipa besi melintang antarkusen yang menjadi penghalang. Semangat Riza langsung melayang. Bagaimana mungkin dia mampu mematahkan pipa-pipa tersebut? Lehernya terasa lemas dan kepalanya membentur pipa-pipa tadi. Wow… ternyata pipa-pia itu bukan besi yang kuat. Berongga di dalam. Ini diketahu Riza karena ada dua pipa yang patah dengan mudah ketika terbentur kepalanya. Riza pun bergegas menekuk pipa-pipa tadi dan melepaskannya. Selanjutnya dengan sangat mudah Riza menerobos keluar dapur dan berjalan kaki menuju terminal bus. Agak jauh. Walau begitu, Riza menempuhnya hingga berhasil menaiki bus jurusan Surabaya dan turun di Terminal Purabaya, Bungurasih. Waru. Riza pun menuju rumah ayah-ibunya. “Aku sampai rumah menjelang Subuh. Ibu yang membukakan pintu. Tampaknya beliau baru Tahajudan bersama Ayah. Mereka menyambutku dengan isak tangis,” kata Riza. Riza lalu menceritakan semuanya. “Ayah kemudian menantang aku. Mau kembali ke Nganjuk atau tetap di Surabaya bersama Ayah dan Ibu. Kalau itu pilihanku, aku harus cerai dari Jito,” kata Riza. Riza tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan hanya merangkul ayah dan ibunya berantian. Merangkul mereka erat-erat.  “Ayah kemudian minta temannya yang pengacara untuk mengurus gugatan ceraiku,” kata Riza. Tidak lama kemudian pasangan suami istri berusia paruh baya menghampiri. Riza lantas memperkenalkan kedua orang itu yang ternyata ayah dan ibu Riza. Pak Anam dan Bu Anam. Dan setelah tahu Memorandum wartawan, Pak Anam mengajak Memorandum minum-minum di sebuah warung sederhana dekat PA. Menyusul kemudian pengacara mereka yang kebetulan Memorandum amat kenal. Namanya sebut saja Ikin. Menurut Pak Anam, Riza adalah anak  satu-satunya yang sangat istimewa. Bahkan bisa disebut teramat sangat istimewa sekali. Selalu berhasil menambah kesabaran orang tua. “Istimewa kan?” tanya Pak Anam, yang kemudian melepas tawanya yang renyah. Polos dan jujur. Bu Anam ikut tersenyum. Juga polos dan jujur. Setengah jam kemudian keluarga ini pamit, meninggalkan Ikin dan Memorandum. “Riza termasuk perempuan beruntung. Belum janda, tapi sudah ditunggu jomblo tajir untuk menjadi suaminya,” kata Ikin. “Yang lulusan Mesir?” tanya Memorandum. “Ya. Bu Anam yang cerita bahwa sebenarnya Riza dan pemuda tersebut sudah dijodohkan sejak kecil. Sejak balita,” tutur Ikin. Eloknya, pemuda yang sejak sudah jatuh cinta kepada Riza itu masih bersemangat mau menikahi Riza walau sudah terjadi tragedy kehidupan pada perempuan itu. “Cinta sejati,” kata Ikin Memorandum lantas membatin, “Apakah Riza pun mencintai pemuda itu?” (jos, habis)    

Sumber: