Tantangan SKH Memorandum di Era Post Truth

Tantangan SKH Memorandum di Era Post Truth

Oleh : Wakapolri Komisaris Jenderal Dr Gatot Eddy Pramono, MSi Tahun ini, 2021, Surat Kabar Harian (SKH) Memorandum memasuki usianya yang ke 52. Saya secara pribadi maupun institusi Polri mengucapkan selamat dan berharap semoga SKH Memorandum tetap menjaga marwah dunia jurnalistik dengan profesionalisme dan berintegritas. Tugas pokok media tidak hanya sekedar penyampai berita namun lebih dari itu harus mempu memoderasi diskusi di tengah masyarakat, juga menjadi bagian penting dalam membangun demokrasi dan peradaban. Berawal dari koran mingguan mahasiswa yang beredar pada 10 November 1969 di Universitas Brawijaya Malang, hingga menjadi surat kabar harian pada 1982, kehadiran Memorandum merupakan kekuatan baru dalam penerbitan surat kabar di Surabaya, bahkan di Jawa Timur, setelah bergabung dengan Jawa Pos Group pada 1992. Sebagian besar beritanya memuat tentang kriminalitas yang terjadi di Surabaya dan Jawa Timur. (Sumber data PT. Memorandum Sejahtera). Beberapa tahun belakangan ini perkembangan Memorandum menjadi luar bisa dengan diterbitkannya koran-koran daerah sebagai anak perusahaan dengan tampilan yang sama, hanya berbeda jumlah halaman, seperti Memo Arema yang terbit di kota Malang, Memo Kediri yang terbit di kota Kediri, dan Memo Timur yang terbit di kota Jember. Memorandum tidak hanya menerbitkan berita-berita yang berupa koran, akan tetapi saat ini Memorandum sendiri meningkatkan kualitasnya dalam dunia jurnalistik, dengan membuat situs web sejak tahun 2018 dan dapat diakses di manapun, serta kapan pun dengan alamat www:memorandum.co.id. Dengan inovasi web dari Memorandum itu sendiri dapat mempermudah setiap masyarakat yang berada di luar Jawa Timur, tetap bisa menikmati sajian berita dari harian Memorandum. Di usianya yang ke 52 tahun saat ini, SKH Memorandum, dan juga kebanyakan industri media menghadapi dua tantangan besar. Pertama adalah tantangan fenomena post-truth yang sangat berpengaruh terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kemudian yang kedua adalah perkembangan teknologi informasi dan era digital. Era Post Truth Saat ini Indonesia dapat dikatakan tengah mengalami fenomena post truth. Istilah post truth sendiri menjadi kata yang booming pada tahun 2016. Kata ini begitu terkenal sehingga dinobatkan oleh Kamus Oxford sebagai “Word of the Year” pada tahun tersebut. Namun sebenarnya, apakah post truth itu? Menurut Kamus Oxford, frasa post-truth digunakan pertama kali pada tahun 1992. Istilah itu diungkapkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation, ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi di periode tersebut. Tesich mengungkapkan bahwa sebagai manusia yang bebas, kita punya kebebasan untuk menentukan ingin atau tidaknya hidup di dunia post truth. Sehingga, post truth dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dengan kata lain, masyarakat dalam menerima informasi dan menentukan suatu keputusan lebih berdasarkan pada dorongan emosi serta apa yang diyakininya saja dengan mengabaikan fakta-fakta yang sesungguhnya. Perkembangan post truth yang begitu cepat tidak lain karena juga didorong dengan penggunaan media online termasuk media sosial yang sedang menjadi trend di masyarakat Indonesia. Media sosial sekarang bukan saja dijadikan sebagai ajang berinteraksi, namun juga ladang memperoleh informasi utama. Namun, jika ditinjau dengan lebih cermat, media sosial ternyata belum mampu menjadi ladang informasi yang tepat bagi masyarakat, khususnya di Indonesia, karena mengingat informasi yang ada di media sosial bersifat trend. Bersifat trend berarti apabila sesuatu menjadi bahan perbincangan yang viral, maka media sosial akan terus menerus menghasilkan informasi hal yang menjadi viral tersebut. Perlu diketahui bahwa media sosial terkadang menampilkan informasi yang tidak utuh dan akurat, bahkan tidak jarang hoax. Hal ini dikarenakan informasi atau kabar yang ada di media sosial bukan termasuk ke dalam jurnalisme, sehingga tidak terdapat disiplin verifikasi dan unsur 5W+1H (What, When, Where, Who, Why + How). Selain tidak sesuai kaidah jurnalistik, media sosial juga menembus ruang pribadi dan belum ada etika serta regulasinya tentang ini. Belum lagi ditambah dengan fakta bahwa negara Indonesia masih memiliki tingkat literasi masyarakat yang tergolong rendah, berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, dari 70 negara yang diteliti, Indonesia berada pada peringkat ke-62. Hal tersebut juga menjadi faktor mudah terbawanya masyarakat kepada arus kesesatan informasi yang nyata. Selanjutnya, media sosial kini disebut-sebut sebagai pilar ke lima demokrasi Indonesia. Jika media sosial sebagai pilar demokrasi justru menjadi sarang penyebaran post truth, tentu ini sangat berpengaruh pada demokrasi Indonesia sendiri. Dampak negatif post truth terlihat jelas ketika negeri kita tercinta mengalami bencana pandemi Covid-19. Seseorang yang sudah telanjur terkena post-truth dalam konteks sebelum pandemi mungkin tidak akan begitu meresahkan, namun di saat pandemi, post truthbisa sangat membahayakan. Sebagai contoh, seseorang yang meyakini pandemi sebatas konspirasi belaka bisa saja enggan mematuhi protokol kesehatan yang menjadi himbauan pemerintah. Apabila seseorang tersebut terjangkit virus Covid-19 dalam kondisi meyakini bahwa ia hanya “dicovidkan”, maka keselamatan orang-orang sekitarnya akan terancam. Contoh lainnya adalah ketika seseorang memercayai bahwa program vaksinasi yang tengah digalakkan pemerintah ialah tidak lebih dari akal-akalan elit global, kemudian ia mengkampanyekan gagasannya tersebut dalam media sosial (medsos). Bisa jadi beberapa orang yang membacanya juga kemudian turut memercayai dan menyebarkannya terus menerus. Dampaknya, program vaksinasi yang tidak mudah dan tidak murah tersebut bisa saja terancam gagal. Sangat mudah menemukan contoh lain dampak dari post truth tersebut di era ini, yang jelas terlihat ialah dampaknya yang sangat korosif. Berdasarkan situs resmi penanggulangan Covid-19 Indonesia, covid19.go.id, diketahui bahwa per 14Oktober 2021 saja sudah terdapat 4,23 juta lebih kasus positif covid-19 di Indonesia, 143 ribu diantaranya meninggal dunia. Apabila publik semakin memercayai narasi yang disebarkan oleh kelompok pecinta “teori konspirasi”, maka angka tersebut sangat mungkin bertambah dalam beberapa waktu dekat ini. Dampaknya, manusia tidak lebih sebatas angka- angka statistik semata di hadapan pandemi yang mematikan ini. Post truth ini menjadi semakin mengkhawatirkan pasca teknologi internet berkembang sangat pesat seperti sekarang ini. Asumsi pribadi yang sangat mungkin salah bisa tersebar begitu cepat dan juga merepresentasikan asumsi kolektif publik. Hal ini berdampak pada temuan-temuan ilmiah akan diabaikan. Dalam konteks ini penggunaan media online dan medsos sebagai kanal komunikasi masyarakat modern harus digunakan sangat bijak, utamanya saat tengah terjadi pandemi seperti sekarang ini. SKH Memorandum dan media mainstrem lainnya memiliki tanggung jawab moral untuk meminimalisir dampak negatif dari post truth. Mereka dapat secara aktif meningkatkan daya literasi masyarakat sehingga mampu menyaring, memilah dan memilih informasi yang masuk. Revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi  Tentangan kedua yang dihadapi SKH Memorandum dan media mainstream saat ini adalah perkembangan teknologi informasi yang luar biasa. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menimbulkan berbagai dampak diberbagai bidang di masyarakat. Industri media sekarang ini bertransformasi mengikuti perubahan teknologi informasi dan komunikasi yang penyajiannya lebih mudah, murah, dan cepat. Keberadaan ”new media” telah menggeser kedudukan media lama. Kehadirannya telah membawa banyak perubahan pada pola kehidupan masyarakat, budaya, dan cara berpikir masyarakat di hampir segala aspek kehidupan manusia. Kehadiran media baru (new media) ini akan menggeser media massa konvensional. Media baru tersebut juga diyakini akan mengubah pola hidup masyarakat sebagaimana pemikiran oleh McQuail (2002). Bagaimanapun juga, era digital telah mengubah cara penyajian materi media sehingga lebih mudah, murah, dan cepat dinikmati oleh masyarakat. Kehadiran internet yang diikuti dengan munculnya beragam situs jejaring sosial ini membawa perubahan signifikan pada dunia media. Media massa mau tak mau harus mengikuti arus teknologi yang sedemikian cepat menyesuaikan kebutuhan konsumennya. Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi pemicu pertumbuhan penggunaan internet. Media kini harus bertransformasi. Dulu media sangat sedikit, sekarang jumlahnya sangat banyak, semakin spesifik dan segmented. Harus diakui media internet memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, internet memiliki pengaruh negatif, khususnya terbukanya akses terhadap konten-konten yang kontra produktif, namun di sisi lain internet juga bersifat membangun. Perkembangan blogger dan citizen online journalism yang begitu pesat di Indonesia menjadi pemicu berkurangnya audien media cetak. Media baru, khususnya online dan mobile berkembang seiring dengan munculnya generasi digital yang lebih akrab dengan internet dan handphone. Media online jauh lebih murah karena tidak tergantung logistik (kertas) percetakan dan distribusi yang membutuhkan tenaga kerja sangat banyak. Dengan adanya media online, termasuk platform media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, WhatsApp dan lainnya, memungkinkan semua orang menjadi sumber informasi dan penyebar informasi. Hanya dengan memiliki akun media sosial, setiap orang mampu menjadi jurnalis yang menyebarkan berita tanpa filter dan standar jurnalistik. Tanpa bekal ilmu jurnalistik yang memadai, mereka menyebarkan informasi dan opini secara massif kepada masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa tren baru di dunia industri media. Hadirnya beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan teknologi komunikasi massa tradisional, memberikan pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi sesuai selera mereka. Memberi kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi, dan pemrosesan seluruh bentuk informasi, baik bersifat visual, audio, data, dan lain sebagainya (Preston: 2001). Inilah yang kemudian memunculkan istilah konvergensi media (Jenkins: 2006), yaitu penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan. Konvergensi atau penyatuan antara media cetak, online, televisi, dan radio. Tanpa konvergensi, dalam 5 tahun hingga 10 tahun ke depan, media cetak di Indonesia akan sulit untuk bersaing dan bertahan hidup. Konvergensi media yang mengarah pada tren digitalisasi media, akan menciptakan kesenjangan dalam penyebaran informasi kepada warga masyarakat yang tidak memiliki daya beli dan akses terhadap informasi. Internet dan komputer berperan besar dalam konvergensi media. Konvergensi akan menjadikan media lama dan media baru hidup bersama dan saling berinteraksi. Munculnya fenomena konvergensi media menyebabkan banyak bentuk media tradisional melakukan perubahan. Pesatnya perkembangan teknologi sekarang ini, mau tak mau menuntut para produsen berlomba-lomba menjadi yang pertama. SKH Memorandum sebagai bagian dari industri media tak luput dari situasi ini. Jika ingin terus eksis dan berkembang, maka harus mampu menghadapi tantangan dari revolusi teknologi informasi dan komunikasi. Salah satunya harus melakukan konvergensi media. Saya percaya, di usianya yang ke 52, pihak manajamen dan pemangku kebijakan di SKH Memorandum telah memikirkan dan merencanakan strategi agar tetap eksis di tengah era post truth dan cepatnya perkembangan teknologi informasi. Semoga SKH Memorandum tetap menjadi bagian dari dinamika masyarakat Indonesia, khusunya Jawa Timur, bersama- sama membangun demokrasi dan peradaban. (*/iku)

Sumber: