Susu Dibalas Air Tuba (3-habis)
Menari Ritmis di Gudang
Beberapa saat kemudian Lisa pura-pura membalikkan badan dan menyentuhkan tangan ke tubuh Geletar. Terasa sekali lengan itu basah kuyub. Lisa pura-pura terbangun dan duduk, lantas berdiri menyalakan lampu. “Maaf, aku baru saja keluar. Tidak bisa tidur lagi setelah nglilir jam sebelasan. Cari udara segar di teras, ternyata dingin. Lalu jalan-jalan ke jalan besar,” kata Geletar. Ternyata hal serupa tidak hanya sekali-dua kali terjadi, melainkan sangat sering. Suatu malam Lisa bahkan nekat mencari sang suami dengan melacaknya hingga jalan besar. Tetapi nihil. Lisa tidak putus asa. Setiap suami menghilang keluar kamar, Lisa selalu mencari. Ke mana pun. Bahkan ke warung-warung kopi yang selama ini dijadikan tempat cangkruk bapak-bapak dan beberapa pemuda. Mereka sampai heran, bertanya-tanya mengapa Lisa yang jarang keluar rumah malah malam-malam kelayapan tidak jelas. Salah seorang bahkan ada yang nekat berani menggoda. “Mencari Pak Geletar ya Bu? Ini ada kami kok,” begitu suara yang didengar Lisa, disambung tawa berjemaah. Lisa tersenyum kecut. Lisa lantas kembali ke rumah. Kali ini tidak lewat pintu pagar depan, melainkan lewat belakang, yang pintu pagarnya digembok dengan kunci rahasia dan bisa dibuka hanya dengan menempelkan ibu jari orang-orang tertentu. Nah, dekat pintu pagar belakang rumah itu terdapat gudang penyimpan barang-barang yang sudah tidak dipakai tapi tidak rusak. Ia hanya dibuka saat hendak menyimpan barang atau ketika ada saudara-saudara dari desa yang mau dikasih barang-barang tersebut. Barangnya memang sudah tidak dipakai lagi, tapi tidak rusak. Bahkan ada yang baru dipakai sekali-dua kali, sudah digudangkan. Ada yang karena sudah ada ganti yang lebih canggih atau sekadar sudah bosan. Ketika melewati pintu gudang itulah Lisa mendengar suara mencurigaan. Seperti suara kuda tersengal karena dipacu pendendaranya, ringkik melengking, hingga desah pasrah. Dahi Lisa langsung basah. Langkahnya yang terhenti tiba-tiba terasa kaku bagai tertancap kuat di tanah berbatu. Dia menolah ke gudang itu, yang dari luar tampak menyeruakkan sinar temaram. Ternyata pintu tidak terkunci. Daunnya hanya menempel anggang-anggan pada kusen. Lisa mendorongnya perlahan. Yang pertama terlihat hanya nyala lilin yang berkelebat-kelebat. Kemudian tampak silhuet dua orang bergerak ritmis bersatu seperti penari dengan latar nyala lilin tadi. Sepertinya kaget, gerakan itu berhenti mendadak. Lisa merasa ada dua pasang mata memandangnya dengan perasaan tidak suka. “Kenapa berhenti? Lanjutkan,” kata Lisa lirih. Ada luka tiba-tiba tergores di dada. Ada amarah membakar jiwa. Lisa hanya mampu memejamkan mata dan balik badan, keluar ruangan. “Esoknya Bu Lisa langsung menghubungi saya,” kata Ikin. (jos, habis)Sumber: