Manipulasi Kredit, Mantan Pegawai BPR Syariah Divonis Tiga Tahun Penjara
Surabaya, memorandum.co.id - Arief Rahman dan Syaiful Lutfi divonis pidana selama tiga tahun penjara. Majelis hakim menyatakan mereka terbukti bersalah karena tidak memproses pencairan kredit nasabah sebagaimana ketentuan bank syariah. Kedua mantan karyawan BPR Syariah Bakti Makmur Indah (BMI) ini juga didenda Rp 500 juta. Jika tidak membayar maka diganti dengan pidana sebulan kurungan. "Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank syariah atau unit usaha syariah yang dilakukan secara bersama-sama," ujar hakim Suparno saat membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (4/11/2021). Kedua terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 63 ayat 2 huruf b Undang-undang RI Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Perbuatan para terdakwa dianggap telah merugikan perbankan. "Pertimbangan yang meringankan terdakwa tidak menikmati hasil kejahatannya," katanya. Arief dan Syaiful masih pikir-pikir selama sepekan. Keduanya masih belum bersikap apakah akan mengajukan banding atau menerima putusan tersebut. Jika menerima, perkaranya akan berkekuatan hukum tetap dan kedua terdakwa yang tidak ditahan akan dijebloskan ke penjara. "Masih pikir-pikir dulu Yang Mulia," kata Arief. Arief menjabat sebagai legal officer dan Syaiful sebagai account officer. Keduanya memproses permohonan kredit yang diajukan almarhum Matayib, nasabah bank tempat mereka bekerja. Matayib mengajukan kredit Rp 100 juta untuk biaya perbaikan rumah di Semampir. Namun, saat permohonan akan diproses, terdakwa mendapatkan informasi dari istri Matayib, Siti Romlah, kalau suaminya sakit dan dirawat di Rumah Sakit (RS) Adi Husada Undaan Wetan. Kedua terdakwa mendapat perintah dari Direktur Utama BPR BMI almarhum Tri Hari Wijayanto untuk tetap memprosesnya. Meskipun Matayib tidak bisa membeli barang seperti yang diajukan dalam permohonan pinjaman karena sakit. Akad perjanjian pinjaman lantas ditandatangani Matayib dan Syaiful di hadapan notaris di dalam kamar perawatan rumah sakit. Syaiful mengisi nota kosong yang seolah-olah bukti pembelian barang. Dia mengisi barang-barang yang seolah-olah dibeli beserta harga satuannya. Setelah itu, terdakwa Lutfi membubuhkan dua tanda tangan fiktif di kolom mengetahui seolah-olah yang tanda tangan pihak pemilik toko dan satunya lagi nasabah Matayib, selaku pembeli. Dia juga membubuhkan cap stempel tanda lunas dan stempel nama toko bahan bangunan fiktif. Tanggal pada nota juga ditulis mundur seolah-olah pembelian dilakukan tidak lama setelah penandatanganan berkas pinjaman. Berkas pembelian barang fiktif itu kemudian diserahkan Lutfi kepada Arief yang kemudian meng-input-nya ke dalam sistem. Pinjaman Rp 100 juta itu pun cair. Matayib memberikan sertifikat tanah rumahnya kepada pegawai bank syariah itu sebagai jaminan. Matayib kemudian meninggal dunia di RS Mitra Keluarga. Namun, ahli waris menerima surat dari pihak bank syariah itu bahwa keikutsertaan asuransi almarhum ditolak. Ahli waris tetap ditagih pelunasan tagihan pinjaman almarhum. Padahal, pelunasan utang debitur almarhum Matayib seharusnya bisa diselesaikan dengan cover asuransi. Namun, ternyata masih menjadi tanggungan ahli waris. (mg-5/fer)
Sumber: