Palsukan Tiga Surat untuk Urus SHM, Djerman Dituntut 3,5 Tahun

Palsukan Tiga Surat untuk Urus SHM, Djerman Dituntut 3,5 Tahun

Surabaya, memorandum.co.id  - Djerman Prasetyawan dituntut selama 3 tahun dan 6 bulan penjara. Ia dinyatakan bersalah memalsukan tiga surat untuk menguasai tanah milik orang lain di Manukan Kulon. "Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Djerman Parsetyawan dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan," tutur Jaksa Penuntut Umum Darwis saar mmebacakan amar tuntutannya di PN Surabaya, (8/10) JPU Kejaksaan Negeri Surabaya itu menyatakan terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. JPU Darwis dalam dakwaannya sebelumnya menerangkan, ada tiga surat yang dipalsukan Djerman. Yakni, surat pernyataan penguasaan fisik dan yuridis bidang tanah tertanggal 10 November 2019. Surat itu ditandatangani terdakwa Djerman dan tiga saksi yang salah satunya Subagyo, terdakwa lain dalam berkas terpisah. Isi surat itu, terdakwa beritikad baik memiliki sebidang tanah yang berasal dari hak milik adat/ tanah negara Leter C.6 No.197 terletak di Jalan Margomulyo Indah Blok B Kelurahan Manukan Kulon, Tandes. Faktanya, Petok D No. 197 tercatat secara administratif di Kelurahan Manukan Wetan. "Sedangkan obyek fisik yang ditunjuk terdakwa terletak di Kelurahan Manukan Kulon," ujar jaksa Darwis saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Surat lain yang dianggap palsu yakni surat pernyataan pemasangan batas bidang tanah. Surat itu ditandatangani dua orang yang sebenarnya bukan ahli waris pemilik tanah. Saksi pemasangan tanda batas ditandatangani Subagyo dan seorang lain yang sebenarnya tidak pernah memasang tanda batas. Terdakwa juga memalsukan surat pernyataan pencabutan nomor identifikasi bidang (NIB) tanggal 6 Desember 2019. Surat itu ditandatangani terdakwa yang keterangannya mencabut empat NIB. "Faktanya pemilik NIB adalah orang lain dan bukan terdakwa. Sehingga terdakwa tidak berhak mencabut NIB milik orang lain," katanya. Dengan modal surat palsu itu, permohonan terdakwa diproses Kantor Pertanahan (Kantah) Surabaya I. Selanjutnya terbit peta bidang atas nama terdakwa Djerman. Terdakwa kemudian memperoleh hak untuk mendaftarkan penerbitan sertifikat atas tanah dengan luas hasil ukur 17.551 meter persegi dan luas permohonan 30.000 meter persegi. Faktanya, tanah itu milik ahli waris H. Ichsan/S. Marwiyah dan tidak pernah dijual. Perkara ini bermula dari ditemukannya surat pernyataan pengoperan hak tanah tambak dari Aspan Asmorejo/Siti Marwiyah kepada Remu/Sukami atas sebidang tanah tambak seluas 30.000 meter persegi di Manukan Wetan. Pada 20 September 1989 Remu menjual habis tanah tersebut ke Teddy Gunawan di hadapan notaris. "Namun peralihannya tidak tercatat di buku C kelurahan dan masih tercatat atas nama Remu," ujarnya. Pada 2015 lalu, anak Remu, Samsul Hadi yang juga menjadi terdakwa dalam berkas terpisah menemukan surat pengoperan tanah tersebut. Namun, dia tidak tahu lokasi tanahnya. Hadi bercerita kepada temannya, Subagyo saat reuni sekolah. Keduanya sempat pergi ke kantor Kelurahan Manukan Wetan untuk mengurusnya, tetapi tidak menemukan hasil. Subagyo setelah itu mulai niat mengurusnya. Dia menghubungi teman-temannya untuk meminta bantuan. Hingga akhirnya dia dikenalkan dengan terdakwa Djerman yang mengaku sebagai pendana untuk pengurusan tanah tersebut. Mereka kemudian bersiasat dengan membuat skenario untuk menguasai tanah tersebut. Mereka membuat seolah-olah ada perjanjian kerjasama antara Remu dengan Indriati. Dalam perjanjian itu seolah-olah Remu sebagai pemilik surat pengoperan tanag menerima Rp 15 miliar dari Indriati. Kenyataannya Remu tidak pernah membuat surat perjanjian itu. Ahli warisnya juga merasa tidak pernah menerima uang apapun. Indriati juga mengaku tidak tahu-menahu. "Indriati hanya diberitahu suaminya jika diberi hadiah tanah dan diajak ke notaris untuk tanda tangan," tuturnya. Terdakwa kemudian membuat ikatan jual beli di hadapan notaris antara Remu dengan Indriati. Remu seolah-olah menjual tanah seluas 30.000 meter persegi itu kepada Indriati seharga Rp 30 miliar. Padahal, Remu merasa tidak pernah menerima uang apapun. Samsul Hadi yang berperan sebagai ahli waris Remu lantas membuat surat pernyataan bersedia menandatangani ikatan jual beli. Surat itu hanya rekayasa untuk mempersiapkan gugatan di pengadilan. Terdakwa kemudian mengajukan gugatan di PN Surabaya. Seolah-olah Indriati menggugat Remu karena tidak memenuhi perjanjian jual beli. Setelah itu terbit putusan pengadilan yang menyatakan Indriati dapat menguasai tanah seluas 56.500 meter persegi atas nama Ichsan/ Siti Marwiyah dan berhak mengajukan permohonan sertifikat hak milik. Hingga akhirnya terbit sita eksekusi dari pengadilan terhadap tanah tersebut untuk Indriati. Setelah tanah itu benar-benar dikuasai Indriati, terdakwa Djerman membuat surat seolah-olah pernjanjian jual beli antara Indriati dengannya. Namun, dalam perjanjian itu, lokasi tanah yang sebenarnya di Manukan Wetan dibuat seolah-olah di Manukan Kulon. Djerman juga seolah-olah sudah membeli Rp 37,5 miliar. Padahal, Indriati hanya menerima Rp 500 juta. Djerman kemudian mengajukan permohonan peta bidang ke Kantah Surabaya I dengan membuat tiga surat palsu. Atas tuntutan JPU, Djerman melalui penasihat hukumnya berencana mengajukan pembelaan pada persidangan berikutnya."Saya akan mengajukan pembelaan Yang Mulia," ujar Djerman. Djerman keberatan dengan dakwaan jaksa. Pengacaranya yang menolak dikonfirmasi dan menyebutkan namanya dalam eksepsinya menyatakan bahwa perkara tersebut bukan pidana, melainkan perdata. Alasannya, ada perjanjian antara Indriati dengan Djerman di hadapan notaris. Perjanjian itu juga bukan rekayasa dan Djerman jelas sebagai pembeli. (mg5)

Sumber: