Hiperhu: Penarikan Royalti per Meter Persegi Perlu Dikaji Ulang

Hiperhu: Penarikan Royalti per Meter Persegi Perlu Dikaji Ulang

Surabaya, memorandum.co.id - Diundangkannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 56 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik sejak 31 Maret lalu oleh Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham RI, dikritisi Himpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum (Hiperhu) Kota Surabaya. Hal itu menyangkut poin penarikan hak royalti dan hak terkait di mana aturannya ada yang dihitung berdasarkan per meter kubik. Dipastikan, jika hal ini terjadi sudah pasti akan memberatkan bagi pelaku usaha. Untuk itu, sebelum diberlakukan pada 31 Maret 2023, perlu dikaji ulang. Ketua Hiperhu Kota Surabaya George Handiwiyanto mengatakan, dalam PP nomor 56, ada hitungannya hak royalti berdasarkan luasan per meter. Padahal jika mengacu hal itu maka penarikan royalti bakal membebani para pengusaha. “Kalau di luar negeri, hitungannya per lagu, misalnya ada musisi tampil di stadion terbuka atau tertutup, nyanyikan ini (salah satu lagu, red) mereka akan dikenakan biayanya, tapi di sini hitungannya per meja, saya rasa ini kurang pas,” tegas George yang juga lawyer ini, Jumat (24/9/2021). Pihaknya, tidak mempersoalkan penarikan royalti dan hak terkait, lantaran hal itu memang sudah seharusnya dibayarkan kepada pencipta lagu dan pihak-pihak terkait lainnya. Namun, untuk penghitungan di PP nomor 56 yang sudah disahkan tahun ini menurutnya perlu ada pengkajian ulang. “Karena di setiap lagu memang ada hak eksklusif, itulah yang mendapatkan royalti. Pemerintah kalau penarikan royalti diswastakan harus ada alat untuk memonitornya,sehingga bisa setiap saat pemilik lagu atau pencipta dan pihak terkait lainnya bisa memonitor,” imbuhnya. Namun, saat ini dan juga ada PP yang baru cara penarikan dan pembayaran hak royalti dan hak terkait masih tradisional. Dan hal itu harusnya sudah berubah dengan memanfaatkan teknologi informasi. Menurutnya, LMKN yang sudah sesuai dengan undang-undang ini harus dilakukan secara transparan. Selain itu, ia juga menyarankan agar ada alat yang dipasang di seluruh tempat hiburan yang termonitor di pusat. Misalnya, memeriksa kira-kira berapa lagu milik pencipta yang dinyanyikan agar lebih jelas. “Kuncinya itu bahwa harus ada alat, sehingga ada kepastian bahwa lagu ini dinyanyikan siapa dan berapa kali, dipotong royali sekian, sehingga dapat. Kalau sekarang kan enggak, borongan. Itu kan masih tradisional, sedangkan kita kan era teknologi sudah ada,” papar George. Ia mengimbau kepada pemerintah, bahwa dalam waktu satu tahun ke depan setidaknya sudah ada alat yang akurasi, transparasi, dan akuntabelnya terbukti dan pasti. Sehingga harapan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para seniman dapat terwujud. “Jadi harus benar-benar tujuan seniman, Presiden, dan negara itu untuk kesejahteraan di bidang ekonomi bisa betul-betul terwujud,” pungkasnya. Sebelumnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri bekerja sama dengan Kemenkumham Jatim melaksanakan kegiatan konsultasi teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 56 tentang Pengelolaan Royalti di Hotel Vasa Surabaya, Kamis (23/9/2021). Kegiatan konsultasi teknis pelaksanaan PP nomor 56 tetang Pengelolaan Royalti ini menghadirkan pembicara dari dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Tasya Safiranita SH MH, Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Anom Wibowo, dan Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Yurod Saleh. (mik/fer)

Sumber: