Berburu Istri di PA (2)

Berburu Istri di PA (2)

Dipergoki Anak Keluar Hotel

Ada apa dengan mertua? Pertanyaan tersebut menggelayuti pikiran Hendro. Lelaki berewokan ini mencoba mencari jawab, tapi tidak mudah. Jawaban pertanyaan itu baru terkuak secara tak sengaja ketika suatu saat Hendro menjenguk anak-anak. Di rumah mertua saat itu kebetulan ada Winta. Dia marah-marah karena permintaannya tidak dipenuhi kedua orang tuanya. Winta menuding orang tuanya pelit, tidak mau melepaskan perhiasan yang dipakai, padahal itu peninggalan nenek. “Nenek sudah lama mati. Tidak-tidak kalau Nenek bangun dari kubur yang memarahi Ibu. Sini lepaskan kalung itu teriak Winta. Mendengar itu, Handro yang berdiri di pintu masuk rumah jatuh terduduk. Lemas. Tidak percaya pada apa yang didengarnya. “Peristiwa itu tidak bisa saya lupakan. Sampai sekarang,” kata Hendro. Peristiwa itu sangat melukai hatinya. Meski bukan orang tua sendiri, Hendro sudah menganggap kedua mertuanya sebagai bapak-ibu kandung. Ia segera menengahi perseturan Winta dan kedua orang tuanya. Tapi, apa hasilnya? Sebuah asbak kaca dilemparkan Winta dan nyaris mengenai wajah Hendro. Kedua anak mereka yang berdiri tidak jauh hanya ngowoh di sudut ruangan. Mereka segera digelandang keluar rumah, lantas diajak pulang. Winta mencoba menghalangi upaya Hendro dengan nyaut tangan anak sulungnya, tapi dapat dielakkan anak tersebut. Sejak itu Hendro tidak lagi membawa anak-anaknya ke rumah kakek-nenek mereka. Hanya pada waktu-waktu tertentu kedua anak tadi diajak ke sana, namun hanya sebentar. Winta sudah tidak pulang ke rumah untuk menengok anak-anak. Juga ke rumah orang tuanya. Hendro tak peduli. “Aku hanya kebingunan ketika ditanya anak-anak ke mana mamanya pergi,” tutur Hendro. Mendengar kejadian tersebut orang tua Hendro pun meradang. Mereka bahkan terang-terangan meminta Hendro menceraikan Winta. Tapi, Hendro masih ragu. Dia berharap istrinya bisa berubah seperti semula, lantas kembali meneruskan membina rumah tangga. Alasan Hendro masuk akal: kasihan anak-anak. Keraguan Hendro goyah ketika dia dan anak-anaknya memergoki Winta bersama seorang lelaki berjalan keluar dari sebuah hotel di kawasan Diponegoro. Waktu itu Hendro pulang menjemput anak bungsunya dari sekolah. Sebenarnya Hendro tidak tahu. Dia baru ngeh setelah punggungnya dicolek si anak, “Pa, ada Mama jalan-jalan sama temannya.” Hendro menoleh ke arah telunjuk anak bungsunya dan melihat Winta digandeng mesra seorang lelaki. “Itu bukan Mama. Hanya mirip,” kata Hendro mengenang. Saat itu dia putar kepala sang anak untuk melihat ke arah lain. Ke arah di mana ada penjual ikan hias di seberang jalan. Hendro lantas membujuk anaknya untuk membeli ikan. Hati Hendro seperti teriris. Terluka dan berdarah. Lelaki ini hanya mampu berdoa, “Semoga anak-anak tidak tahu dan menyadari apa yang sedang terjadi.” (jos, bersambung)

Sumber: