Berburu Istri di PA (1)
Tempatnya Bekerja Kolaps
Seorang pria 40 tahunan, sapa saja Hendro, hampir tiap hari bertemu Memorandum di Pengadilan Agama (PA) Surabaya. Apa yang dia kerjakan? Sebuah jawaban menarik keluar dari mulut Hendro. Singkat. “Aku sedang berburu istri,” katanya. Memorandum tertawa. Tapi, Hendro segera memangkas tawa itu dengan kalimat lanjutan. Singkat pula, “Istriku juga bakal kulepaskan di sini.” Hendro kemudian menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ia mengaku menikah muda. Saat itu usianya baru 22 tahun. Sepantaran dengan istrinya, sebut saja Winta. Awalnya rumah tangga mereka berjalan harmonis. Lulusan perguruan tinggi yang concern pada dunia pendidikan ini mengajar di sebuah sekolah swasta. Statusnya sedikit lebih baik dibanding Hendro. Winta tercatat sebagai aparatur sipil negara (ASN). Beberapa tahun lalu terjadi bencana besar. Hendro kehilangan pekerjaan. Sekolah tempatnya mengajar kolaps. Hendro sempat goyah. Walau begitu, ia merasa bersyukur masih dikaruniai bidang ilmu lain, selain mengajar. Akhirnya Hendro banting setir. Bergabung dengan sebuah biro iklan dan bekerja sebagai desainer. Pendapatannya bahkan jauh lebih baik dibanding saat mengajar. Hendro sangat bersyukur. Yang tidak disyukuri Hendro adalah perubahan sikap istrinya. Perempuan yang dulu dikenal sebagai sosok lugu itu berubah menjadi sosok konsumtif. Ia selalu menuntut memakai barang-barang baru setiap menghadiri undangan. “Barang baru itu harus bagus. Tidak mau yang KW. Kalau terpaksa KW, minimal KW-1 atau KW premium. Lama-lama dompetku jebol. Dia tidak mau mengerti dan akhirnya mengancam: kalau aku tidak bisa menuruti keinginannya, ia akan mencari sendiri dengan caranya,” keluh Hendro. Hendro mulanya menganggap ancaman itu sebagai gertakan. Ia tidak yakin Winta bakal mewujudkannya. Apa yang bisa dilakukan Winta? Ternyata keyakinan itu meleset. Sejak itu Winta jarang pulang kerja tepat waktu. Dia sering sampai di rumah di atas pukul 22.00, padahal jam kerja ASN hanya sampai sore hari. “Ke mana saja dia? Anak-anak sering bertanya, tapi hanya dijawab lembur. Itu saja.” Perhatian kepada anak-anak yang dulunya memang kurang menjadi tidak ada sama sekali. “Aku mencoba mengadukan sikap Winta ke mertua. Tapi, apa jawabannya? Mereka hanya mengambil anak-anak kami untuk diasuh di rumah mereka, tapi membiarkan tingkah laku anaknya.” Giliran Hendro kelimpungan karena dipisahkan dari anak-anaknya. Dia protes ke mertua. Lagi-lagi kedua orang tua itu hanya menawarkan solusi mengambang: Hendro bisa menjenguk anak-anak kapan pun sesuai keinginan. (jos, bersambung)Sumber: