Rela Menyerahkan Kehormatan sebagai Tanda Cinta

Rela Menyerahkan Kehormatan sebagai Tanda Cinta

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Ternyata Faried benar-benar amat baik. Ia tulus ingin membantu Dina. Alasannya, dia sudah tidak punya siapa-siapa. Karena itu, untuk apa rezekinya kalau bukan untuk membantu sesama. Akhirnya Dina menyelesaikan sekolahnya. SMA. Nilainya baik walau bukan yang terbaik. Untuk mengungkapkan kesyukuran atas kelulusan, dia mengundang Faried ke rumah. Makan malam. Dina memasak khusus untuk itu. Penyetan cumi-cumi. Ini menu yang selalu dibuatkan ibu Faried di Modo, Lamongan. Hanya setiap Lebaran, karena harga cumi-cumi di daerah Faried sangat mahal. Dina merasa harus menjamu  maksimal sebagai balas budi. Sebab, tidak mungkin dia bisa menyelesaikan pendidikan SMA-nya tanpa kebaikan pemuda berjenggot rapi itu. Di sisi lain, Dina mengharapkan malam itu Faried memberikan kejutan. Ungkapan cinta. Dan, ia berencana menerima pernyataan cinta Faried dengan tangan terbuka, dengan dada terbuka. Bila perlu, batin Dina, dia rela menyerahkan kehormatannya apabila dikehendaki sebagai tanda cinta. Karena itulah Dina berpakaian terbaik yang dia miliki, yang paling seksi, yang paling menggoda. Kebetulan hari itu mereka terkena shift pagi, sehingga rencana Dina membuat pesta kecil bersama Faried berjalan lancar. Sesuai kesepakatan, Faried datang sekitar pukul 20.00. Segala hidangan disuguhkan. Namun hingga pukul 21.00, tidak ada tanda-tanda Faried bakal mengungkapkan sesuatu. Minimal menyatakan sayang kepadanya. Atau cinta. Atau apalah yang sejenis itu. Bahkan, sampai Faried pulang pukul 21.30. Dina salah tingkah. Haruskah dia terlebih dulu yang menyatakan sayang kepada Faried? Tapi apa iya? Benarkah dia sayang terhadap Faried? Toh dia hanya ingin membalas budi atas kebaikan pemuda tersebut? Apakah karena itu dia harus melibatkan cinta? Ketika Faried pamit, dengan penasaran yang masih tersisa di hati, Dina bertanya, “Apakah tidak ada yang ingin Mas Faried sampaikan kepada Dina?” Faried tersenyum. Menatap mata Dina tajam sambil menggeleng pelan. “Setelah ini Dina ingin melanjutkan kuliah ke mana?” “Mungkin tidak kuliah Mas. Sampai di sini saja.” “Kenapa?” “Tidak ada biaya.” “Siapa bilang” “Aku.” “Selama ini yang membiayai sekolah kamu siapa?” “Mas Faried.” “Apakah Mas Faried mengatakan dia akan berhenti membantu kamu?” “Artinya?” “Lanjutkan pendidikanmu. Kuliah. Pilih jurusan yang kau inginkan.” Tak sanggup menahan diri, Dina memeluk Faried dan membenamkan wajah di dada pemuda tersebut. “Sudah, aku pamit dulu,” kata Faried sambil melangkah menjauh dari pintu rumah Dina. Kata hati Dina, “Benarkah Mas Faried membantu aku tanpa pamrih? Tanpa mengharapkan cinta, misalnya?” Padahal, sejujurnya Dina sangat mengharapkan itu. Kalau dulu tanpa disadari dia tertarik kepada Faried, kini rasa sayang dan cinta itu sangat dia disadari. Dan, sekarang dia mengharapkan Faried mengucapkan dengan bibirnya. Tiba-tiba Faried menoleh kembali ke arah Dina, “Maaf, ada sesuatu yang harus kusampaikan.” Deg. Dada Dina berdesir. Inikah saatnya Faried bakal mengungkapkan cintanya? Rasa sayangnya? (bersambung)  

Sumber: