Tiga Ahli Kompak Tegaskan Mekanisme Kontrol Narkotika

Tiga Ahli Kompak Tegaskan Mekanisme Kontrol Narkotika

Surabaya, memorandum.co.id - Tiga orang ahli kompak menegaskan pentingnya mekanisme kontrol terhadap narkotika oleh negara dalam rangka menjamin ketersediaan narkotika untuk pengobatan yang berbasiskan penelitian ilmiah. Mereka adalah Dr iur Asmin Fransiska, Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Lalu, Prof David Nutt, Psikiatri dan Guru Besar Neuropsychopharmacology dari Imperial College London, Inggris. Dan yang terakhir Prof Musri Musman, Guru Besar Kimia Bahan Alam dari Universitas Syah Kuala, Banda Aceh. Ketiga orang ahli tersebut dihadirkan dalam sidang lanjutan permohonan uji materiil yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) guna menjalani pemeriksaan ahli dari pemohon. Asmin Fransiska menyampaikan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sejatinya mengatur bahwa narkotika dapat digunakan untuk kepentingan kesehatan—yang mana juga menjadi salah satu hal yang ditekankan dalam Konvensi Tunggal 1961. "Sayangnya, penggolongan narkotika di Indonesia justru berbanding terbalik dengan tujuan konvensi tersebut, karena Indonesia justru melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan," tutur ahli dalam bidang kebijakan hukum narkotika dan hak asasi manusia tersebut, Senin (30/8/2021). Menurutnya, sambung Asmin, Indonesia telah salah menafsirkan ketentuan dalam Konvensi Tunggal 1961 yang sama sekali tidak melarang penggunaan narkotika termasuk yang masuk dalam Golongan I. "Harusnya memastikan negara agar mampu mengontrol penggunaan dan peredaran narkotika untuk kepentingan kesehatan," imbuhnya. Tidak hanya itu, Asmin menjelaskan, larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (1) dan penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a juga bertentangan dengan pasal lainnya dalam Undang-Undang Narkotika itu sendiri seperti pasal 7. "Dalam pasal itu disebutkan bahwa, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”, serta melanggar hak atas kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H UUD 1945," jelas Asmin. Lebih lanjut, terang Asmin, dalam mengantisipasi peluang penyalahgunaan narkotika, dirinya menekankan pentingnya kontrol dari negara, dalam arti negara mengawasi dan mengendalikan peredaran narkotika agar tidak dikuasai oleh pasar gelap. "Contoh dari skema regulasi kontrol ini misalnya pada Drug Consumption Room yang diterapkan oleh beberapa negara, atau pada narkotika jenis methadone yang saat ini digunakan untuk terapi oleh Kementerian Kesehatan. Yang terpenting adalah negara harus memiliki perspektif kesehatan publik yang seharusnya memang menjadi perspektif utama dalam melakukan regulasi tentang Narkotika," terangnya. Ahli berikutnya, David Nutt memaparkan bahwa banyak negara yang sudah memanfaatkan ganja untuk kepentingan kesehatan selama 5.000 tahun. Di Inggris sendiri, ganja dapat diresepkan oleh dokter sepanjang memang ada bukti yang jelas mengenai keamanan dan efektivitas dari penggunaan ganja untuk kondisi pasien tersebut. " THC dan CBD sama-sama memiliki manfaat medis, walaupun THC dalam kadar tertentu memiliki dampak psikoaktif bagi penggunanya. Di sisi lain, CBD sama sekali tidak memiliki dampak psikoaktif. Kendati demikian, THC memiliki manfaat medis yang palik baik jika dibandingkan dengan zat lain seperti metadhone, duloxetine, atau tremadol dan secara umum masih lebih aman dibandingkan zat lainnya, kecuali ibuprofen," paparnya. Menurutnya, pengobatan pasien dengan sindrom kejang dengan menggunakan produk obat berbasis cannabis juga terbukti memberikan hasil yang baik secara signifikan, dan ini juga berlaku bagi kondisi cerebral palsy yang dimiliki oleh anak-anak dari para pemohon. Saat ditanya mengenai adanya kekhawatiran negara akan potensi penyalahgunaan, Prof David menekankan bahwa pelarangan tidak akan berpengaruh pada angka penyalahgunaan narkotika. Isu utama dalam pemanfaatan ganja adalah pengobatan, sehingga cara yang paling tepat adalah memberdayakan para dokter untuk memanfaatkan obat-obatan yang ada (termasuk ganja) secara benar. "Risiko adiksi bagi pengguna ganja untuk kesehatan juga sangat rendah, karena pasien menggunakan ganja murni untuk kebutuhan medis dan sama sekali tidak ada keinginan untuk “high”. Pada intinya, Prof David menyatakan bahwa pemanfaatan ganja medis tepat untuk dilakukan sesuai dengan keahlian dan pengetahuan ilmiah berdasarkan penelitian," jawab ahli yang telah menuliskan 500 lebih jurnal/artikel ilmiah, buku/literatur dari melakukan penelitian klinis terkait bahaya kandungan obat-obatan/narkotika dan respon kebijakan yang juga telah dirujuk berbagai pemerintah di dunia tersebut. Ahli ketiga, Musri Musman menyampaikan, ganja memiliki dua komponen utama, yakni CBD dan THC. Kadar komponen CBD pada ganja dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya waktu panen, suhu, atau oksigen." Sehingga memungkinkan untuk melakukan rekayasa biogenetik terhadap kandungan yang terdapat pada ganja," ungkap Musri. Ahli yang telah melakukan penelitian meta analisis terhadap ratusan artikel/jurnal ilmiah terkait kandungan tanaman ganja itu menyatakan bahwa kekhawatiran mengenai THC pada ganja di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain sebagai kekhawatiran yang tidak beralasan. "Karena tingkat kandungan THC dan CBD dalam ganja pada dasarnya dapat diatur/direkayasa sedemikian rupa yang terbentuk melalui banyak faktor," kata Musri. Setidaknya, Musri menambahkan, terdapat 72 kondisi kesehatan yang dapat ditangani oleh kandungan CBD pada ganja, termasuk penyakit dengan sindrom kejang, HIV/AIDS, maupun penyakit kanker yang masing-masing didukung dengan berbagai penelitian yang telah membuktikan hal tersebut. "Contohnya berbagai obat-obatan yang memiliki komponen dari ganja dan telah disetujui oleh FDA, misalnya Nabilone, Marinol, Sativex, dan bahkan Epidiolex yang berasal dari CBD murni. Jika mendapatkan izin dari pemerintah, CBD di Indonesia juga dapat diekstraksi sehingga memperoleh kandungan yang sama dengan Epidiolex yang telah diizinkan oleh FDA tersebut atau sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan," sambungnya. Musri kembali menyampaikan bahwa meskipun pada dasarnya ganja memang dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi, pada praktiknya penelitian terhadap zat tersebut sulit untuk dilaksanakan. "Di Indonesia tidak pernah ada riset dari hulu ke hilir sampai tuntas karena adanya hambatan pada regulasi dan perizinan yang sangat tergantung pada insitusi lain khususnya penegak hukum ketika hendak memperoleh sampel data/bahan penelitiannya," ujarnya. Terkait hambatan ini, Musri mengaku menalami sendiri pada saat mengajukan penelitian penggunaan CBD untuk penyakit diabetes pada 2015. Menurutnya, tidak ada gunanya melakukan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi jika tidak dapat diaplikasikan," tandasnya. Untuk diketahui, agenda sidang selanjutnya akan dilakukan pada Selasa (14/9/2021) sekitar pukul 11.00 dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang akan diajukan para pemohon. Dalam perkara ini pemohon uji materi ini adalah Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN. (mg-5/fer)

Sumber: