Ahli Waris Temukan Surat Pengoperan Lahan yang Tidak Tuntas

Ahli Waris Temukan Surat Pengoperan Lahan yang Tidak Tuntas

Surabaya, memorandum.co.id - Kasus penguasaan tanah tanpa prosedur menyeret dua terdakwa lainnya yaitu Samsul Hadi dan Subagyo (berkas terpisah). Perkara tersebut muncul karena ahli waris menemukan surat pengoperan lahan yang tidak diproses sampai tuntas. Jaksa penuntut umum (JPU) Darwis dalam surat dakwaan menjelaskan, kasus tersebut bermula dari ditemukannya surat pernyataan pengoperan hak tanah tambak dari Aspan Asmorejo/Siti Marwiyah kepada Remu/Sukami atas sebidang tanah tambak seluas 30 ribu meter persegi di Manukan Wetan. " Pada 20 September 1989, Remu menjual semua tanah tersebut kepada Teddy Gunawan di hadapan notaris. Namun, peralihannya tidak tercatat di buku C kelurahan dan masih tercatat atas nama Remu,” jelasnya, Rabu (25/8/2021). Pada 2015, Samsul Hadi, anak Remu, menemukan surat pengoperan tanah tersebut. Namun, dia tidak tahu lokasi tanahnya. Samsul bercerita kepada temannya, Subagyo, saat reuni sekolah. Keduanya sempat pergi ke kantor Kelurahan Manukan Wetan untuk menelusurinya, tetapi tidak menemukan hasil. Setelah itu, Subagyo mulai berniat mengurusnya. Dia menghubungi teman-temannya untuk meminta bantuan. Hingga akhirnya, dia dikenalkan dengan Djerman (berkas terpisah) yang mengaku sebagai pendana untuk pengurusan tanah tersebut. Mereka kemudian bersiasat dengan membuat skenario untuk bisa menguasai tanah tersebut. Seolah-olah ada perjanjian kerja sama antara Remu dan Indriati. Dalam perjanjian itu, Remu sebagai pemilik surat pengoperan tanah seolah-olah menerima uang Rp 15 miliar dari Indriati. Kenyataannya, Remu tidak pernah membuat surat perjanjian tersebut. Indriati juga mengaku tidak tahu-menahu. ”Indriati hanya diberi tahu suaminya jika diberi hadiah tanah dan diajak ke notaris untuk tanda tangan,” katanya. Djerman lantas membuat ikatan jual beli di hadapan notaris antara Remu dan Indriati. Remu seakan-akan menjual tanah seluas 30 ribu meter persegi tersebut seharga Rp 30 miliar kepada Indriati. Padahal, Remu merasa tidak pernah menerima uang apa pun. Diduga Djerman merekayasa gugatan di PN Surabaya. Seolah-olah Indriati menggugat Remu karena tidak memenuhi perjanjian jual beli. Setelah itu, terbit putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Indriati berhak menguasai tanah dan mengajukan permohonan sertifikat hak milik. Hingga akhirnya, terbit sita eksekusi dari pengadilan terhadap tanah tersebut untuk Indriati. Setelah tanah itu benar-benar dikuasai Indriati, terdakwa Djerman membuat surat pernjanjian jual beli dengan Indriati. Namun, dalam perjanjian tersebut, lokasi tanah yang sebenarnya di Manukan Wetan dibuat seolah-olah di Manukan Kulon. Djerman juga seolah-olah sudah membeli tanah seharga Rp 37,5 miliar. Padahal, Indriati hanya menerima Rp 500 juta. Djerman kemudian mengajukan permohonan peta bidang ke Kantor Pertanahan Surabaya I dengan membuat tiga surat palsu. Djerman berkeberatan dengan dakwaan jaksa. Dalam eksepsinya, terdakwa menyatakan bahwa perkara tersebut bukan pidana, melainkan perdata. Alasannya, ada perjanjian antara Indriati dan Djerman di hadapan notaris. Perjanjian itu juga bukan rekayasa dan Djerman jelas berperan sebagai pembeli. Untuk diketahui, pada sidang sebelumnya pada Senin (23/8/2021), Djerman didakwa memalsukan tiga surat untuk menguasai tanah milik orang lain di Manukan Kulon. Jaksa penuntut umum Darwis dalam dakwaannya menjelaskan bahwa tiga surat yang dipalsukan Djerman, antara lain, surat pernyataan penguasaan fisik dan yuridis bidang tanah tertanggal 10 November 2019. Surat itu ditandatangani terdakwa Djerman dan tiga saksi yang salah satunya adalah Subagyo dan Samsul Huda dalam berkas terpisah. Isi surat tersebut, terdakwa beritikad baik memiliki sebidang tanah yang berasal dari hak milik adat/tanah negara letter C.6 No 197 di Jalan Margomulyo Indah Blok B, Kelurahan Manukan Kulon, Tandes. Faktanya, pethok D No 197 tercatat secara administratif di Kelurahan Manukan Wetan. ”Objek fisik yang ditunjuk terdakwa terletak di Kelurahan Manukan Kulon,” terang jaksa Darwis. Surat lain yang dianggap palsu adalah surat pernyataan pemasangan batas bidang tanah. Surat itu ditandatangani dua orang yang sebenarnya bukan ahli waris pemilik tanah. Yaitu, Subagyo dan seorang lain yang sebenarnya tidak pernah memasang tanda batas. Terdakwa juga memalsukan surat pernyataan pencabutan nomor identifikasi bidang (NIB) tanggal 6 Desember 2019. Surat itu ditandatangani terdakwa yang keterangannya mencabut empat NIB. Dengan modal surat palsu itu, permohonan terdakwa diproses Kantor Pertanahan (Kantah) Surabaya I. Selanjutnya, terbit peta bidang atas nama terdakwa Djerman. Terdakwa kemudian memperoleh hak untuk mendaftarkan penerbitan sertifikat atas tanah dengan luas hasil ukur 17.551 meter persegi dan luas permohonan 30 ribu meter persegi. Faktanya, tanah tersebut merupakan milik ahli waris H Ichsan/S Marwiyah dan tidak pernah dijual. (mg-5/fer)

Sumber: