Dari Pelatihan Handycraft, Nanie Bisa Kembangkan Bakat Seni Batik

Dari Pelatihan Handycraft, Nanie Bisa Kembangkan Bakat Seni Batik

Surabaya, memorandum.co.id - Keinginan untuk bangkit dari masa pendemi Covid-19 terlihat dari wajah Nanie Rahayu (59), pembatik asal Jalan Wonorejo Timur Blok B nomor 3, Rungkut, Surabaya. Sebab, usaha yang ditekuni sejak 2010 ini terpaksa berhenti dan tidak ada penghasilan tambahan dari menjual batik karyanya tersebut. Diakui ibu tiga anak ini, dari awal sekadar ikut-ikutan pelatihan handycraft di kelurahan pada 2009, ternyata menumbuhkan keinginan yang lebih dari bakat seni yang dipendamnya selama ini. Sebagai sosok wanita asli Jateng, Nanie pun tidak sekadar mengikuti pelatihan yang diajar siswa SMK saja tetapi mulai mencoba belajar sendiri di rumah. Karena butuh kain katun, Nanie pun harus berkorban memotong baju anak yang tidak terpakai. "Baju anak yang tidak dipakai saya potongi. Karena kalau kain batik harus katun," ujar Nanie saat ditemui di rumahnya. Tambah Nanie, awalnya semua dikerjakan sendiri. Mulai menggambar, mencanting, hingga mewarnai. Namun, lambat laun ia pun mengajak ibu-ibu sekitar rumah untuk bersama-sama membuat kain batik. Memang, untuk mewujudkan kampung batik agak susah mengingat ini bukan hanya sekadar membuat batik dan memasarkan tetapi juga ada jiwa seni yang dimiliki orang tersebut. "Ikut pelatihan lima orang. Dari kelurahan untuk mengembangkan, karena sulit dan kalau tidak punya jiwa seni tidak akan jalan," ujarnya. Untuk motif batik, tambah Nanie, tidak selalu motif mangrove. "Jadi bebas motifnya. Tapi biasanya motif mangrove tetap ada," tambah nenek empat cucu ini. Tapi, bagi warga yang benar-benar tahu seni dan pencinta batik lebih suka membeli langsung di rumah dibandingkan di pameran. "Mereka bisa melihat langsung proses pembuatan batik. Bahkan, bisa belajar juga," ucapnya. Yang membuat Nanie terkesima dengan hasil karyanya yaitu saat ada pria paruh baya yang datang ke rumah dan membeli langsung tujuh batik yang dianggap paling bagus dari karyanya. "Pilihannya kok sama dengan selera saya," tambah Nanie. Usaha yang dibangun tidak selalu berjalan mulus. Pada 2013-2017 batik yang dibandrol Rp 350 ribu-Rp 500 ribu ini sempat ramai. Namun, pada 2017 sempat menurun karena bagian canting meninggal. "Sempat diganti dan masih muda. Ketika menikah dan punya anak, akhirnya berhenti lagi," jelasnya. Ada upaya lain dengan mengirim hasil cantingan ke Madura, tetapi harapan itu tidak sesuai dengan keinginannya sehingga untuk sementara dihentikan lagi. "Hasilnya tidak sesuai dengan harapan saya. Semoga pandemi cepat hilang dan saya akan kembali membangkitkan karya batik tangan ini," pungkas Nanie. (fer)

Sumber: