Cinta Penyandang Disabilitas (2)
Dipandang Sebelah Mata
Ternyata ketegasan Lai mendidik sama dengan Yuni. Memaksa Budi bisa mandiri. Untuk urusan apa pun. Tidak ada alasan minta belas kasihan orang lain. Akhirnya Budi diwisuda sebagai sarjana. Dia sempat menangis karena kedua orang tua tidak bisa mendampingi. Mereka sudah bahagia menikmati keindahan di dunia sana. Yunilah yang mendampingi. Kebahagiaan Budi seakan dibagi berdua. Memang hanya Yuni yang selama ini membiayai hidup Budi. Termasuk biaya pendidikan, walau Budi tidak pernah lepas dari beasiswa. Sejak SD hingga kuliah. Mereka bahagia. Sepulang wisuda, Yuni mengajak Budi berziarah ke makam ayah dan ibunya. Beberapa bulan setelah itu Yuni memanggil Budi. Menyarankan melanjutkan studi ke jenjang S2. Budi menolak. Ia lebih enjoy membantu Yuni menekuni berbagai bisnisnya yang banyak tersebar di kota-kota besar. “Ya udah kalau itu maumu. Tapi kalau sewaktu-waktu berubah pikiran, Tante siap membantu,” kata Budi menirukan Yuni. Budi tenggelam dalam kesibukan. Sangat menikmati aktivitasnya sampai-sampai seolah tidak memikirkan masa depan. Hingga suatu saat Yuni memanggil, “Budi tidak kepikiran ingin menikah?” “Tidak Tante.” “Tidak atau belum?” “Tidak,” sahut Budi, lalu diam cukup lama. Tapi perlahan-lahan kemudian bibirnya bergerak, “Bisa juga belum. Yang jelas aku tidak pernah memikirkannya, Te.” “Usiamu sudah cukup. Sudah waktunya punya pendamping.” “Adakah perempuan yang mau jadi pendamping orang semacam aku?” “Lho, jangan bicara begitu. Allah Mahakuasa dan bisa berbuat apa saja untuk membahagiakan hambanya.” “Tapi aku tidak ingin menyengsarakan perempuan yang mendampiku nanti.” “Ya sudah. Tapi pikirkan saran Tante untuk mencari pendamping.” Pembicaraan Budi dengan Yuni ternyata menyadarkan pemuda tersebut tentang dirinya seutuhnya. Sebagai lekaki normal, meski fisiknya tidak sempurna, memang disadari dia masih butuh perempuan sebagai pendamping. Masalahnya, mungkinkah ada perempuan yang bersedia menikah dengannya? Pengamatan Budi selama ini, penyandang disabilitas selalu dapat pendamping penyandang disabilitas juga. Sebenarnya ndak apa-apa sih. Tapi adakah yang mau? Budi mencoba membuka mata lebih lebar. Melihat lebih luas. Dia juga memperlebar pergaulan dengan banyak komunitas. Tapi, tidak ada satu pun yang nyantol. Kebanyakan malah memandang Budi sebelah mata. Memuji, tetapi selalu disertai kata sayangnya. Misal, “Budi itu orangnya pinter, tapi sayang fisiknya tidak sempurna.” Atau, “Kalau kita perhatikan, Budi itu ganteng lho. Sayang ya...” Atau, “Andai Budi tidak begitu, aku mau jadi istrinya.” Dll. Dsb. Dst. (jos, bersambung)Sumber: