Cinta Penyandang Disabilitas (1)

Cinta Penyandang Disabilitas (1)

Dititipkan Wanita Tak Dikenal

Budi anak tunggal. Ibunya meninggal saat ia lulus SD. Tinggallah Budi bersama  ayahnya, sapa saja Lai. Itu pun tak lama. Tiga tahun kemudian si ayah menyusul. Sebelum Lai meninggal, dalam kondisi kritis dia menitipkan Budi kepada seorang wanita, sembut saja Yuni. Dia bukan famili atau kerabat. Kata Lai, Yuni sahabat dekatnya waktu SMA dan kuliah. Yuni orangnya baik. Walau sebelumnya tidak pernah bertemu, mereka cepat akrab. Waktu itu usianya sekitar 40 tahun, sepantaran dengan Lai. “Yun, aku titip Budi. Didik dia seperti anakmu sendiri. Dia sudah tidak punya siapa-siapa,” kata Budi menirukan pesan ayahnya di kantor urusan agama KUA kawasan Surabaya Barat, beberapa waktu lalu. Kami sama-sama menunggu ketua KUA yang mendadak diminta menikahkan pasangan pelaku “kecelakaan nikmat”. Waktu itu Memorandum mengurus surat izin perwalian jarak jauh. Memorandum tidak bisa jadi wali nikah anak kandung yang sudah lama menetap di Jakarta. Selain kondisi kesehatan, juga karena alasan pandemi corona. Sedangkan Budi mengurus rencana pernikahannya sendiri. Setelah Lai meninggal, Budi memang tidak lagi memiliki keluarga. Bapak dan ibunya adalah anak tunggal, dan masing-masing keluarga mereka sudah tidak ada yang tersisa. Semua rara-rata meninggal pada masih belia. Di bawah 50 tahun. Yuni sendiri seorang janda. Almarhum suaminya adalah pengusaha sukses yang memiliki jaringan rumah makan dan penginapan syar’i hampir di seluruh kota besar tanah air. Sayang, kesuksesan soal ekonomi tidak dibarengi keberuntungan dalam berumah tangga. Lebih dari 20 tahun mengarungi mahligai rumah tangga, tidak sapu pun mereka dikaruniai momongan. Suami Yuni juga bersahabat akrab dengan Lai. Semasa SMA mereka bertiga dijuluki trio artis karena ganteng-ganteng dan cantik. Budi yang sebelumnya bersekolah di SD dan SMP negeri, oleh Yuni dibelokkan ke perguruan Muhammadyah. Tentu saja Budi gelagapan karena selama ini tidak pernah serius mempelajari agama. Apalagi baca-tulis huruf Arab. Beruntung Yuni sabar. Budi dileskan baca-tulis Alquran di rumah. Privat. Dalam kurun tidak lebih dari tiga bulan sudah mampu membaca Alquran dengan lancar. Lengkap dengan tajwid-nya. Walau tidak memiliki fisik sempurna, orang-orang bilang otak Budi sangat encer. Di atas rata-rata. Kedua kakinya cacat sejak lahir sehingga harus menjalani semua aktivitas di kursi roda. Yang Budi saluti terhadap Yuni, walau mengetahui anak angkatnya itu menderita disabilitas, dia tidak pernah memperlakukannya sebagai oang cacat. Yuni bahkan terkesan agak memaksa Budi harus bisa melakukan semua secara mandiri. Mirip dengan sikap almarhum Lai. Tegas. Berbeda dengan almarhumah ibu Budi yang sedikit-sedikit selalu membantu. Secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi bila ada Lai. Contohnya waktu Budi dapat tugas membuat keterampilan membangun replika Menara Eifel waktu kelas empat SD. Bahan baku pekerjaannya jatuh ke lantai. Budi kesulitan mengambilnya. Lai tahu itu, tapi berpura-pura tidak melihat dan membiarkan Budi mengambilnya sendiri. Kebetulan ibunya lewat dan mengambilkannya untuk Budi. “Jangan. Budi harus berusaha mengambilnya sendiri. Entah bagaimana cara dia. Kita tidak selamanya ada untuk dia,” kata Budi menirukan ucapan ayahnya waktu itu. Datar. Budi sempat menganggap sang ayah jahat. Tapi seiring waktu, dia menyadari bahwa itulah cara Lai mendidik anaknya mandiri. Dan ternyata jitu. Walau menyandang disabilitas, Budi tidak pernah bergantung kepada siapa pun. Selalu berusaha sendiri mengatasi masalahnya. Sesulit apa pun. (jos, bersambung)    

Sumber: