Langit Hitam Majapahit – Rencana Lain

Langit Hitam Majapahit – Rencana Lain

Ketika segala persiapan dilakukan oleh kedua pihak yang akan terlibat dalam sebuah pertempuran, di Kahuripan, Dyah Gitarja sedang duduk berhadapan dengan Gajah Mada. “Kakang, mengapa paman Nambi tidak memberi perintah pada kita untuk mengirim bantuan ke Sumur Welut?” bertanya Bhre Kahuripan. “Aku tidak tahu alasan beliau mengenai persoalan itu.Tetapi saya kira lebih baik jika kita mengirimkan prajurit langsung ke Sumur Welut.” Gajah Mada menjalin jemari ketika menjawab Bhre Kahuripan. “Jika seperti yang Kakang rencanakan, apa paman Ken Banawa tidak merasa dilangkahi?” “Beliau akan baik-baik saja jika saya dapat menemuinya besok pagi, lalu membicarakan langkah ini padanya. Sementara Ra Pawagal berada di sini membantu Anda.” “Lalu?” “Saya akan berangkat bersama dua orang prajurit yang nantinya menjadi penghubung di antara kita. Jika paman Banawa menerima bantuan yang kita tawarkan, seorang prajurit segera meneruskan pesan itu pada temannya di tempat yang saya tentukan nanti.” Gajah Mada berhenti sejenak. Pada waktu itu, ia berada dalam kecemasan tentang Ki Nagapati yang dikabarkan bersiap memutus kotaraja dari segala arah. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu katanya, ”Aku akan berbicara dengan Ra Pawagal setelah kita selesai. Dalam waktu itu, saya akan memintanya untuk menyiapkan setengah jumlah pasukan berkuda.” Dahi Dyah Gitarja berkerut. Kemudian bertanya, ”Setengah? Apakah tidak terlalu besar? Lalu Kahuripan akan menjadi hilang setengah kekuatannya.” Nada suara Dyah Gtarja terdengar cukup tajam dan membawa pesan gusar. Gajah Mada menggelengkan kepala lalu menjawab, ”Ki Sentot tidak memperhitungkan kekuatan Kahuripan. Ia telah membawa semua kekuatannya ke perbukitan Gunung Sari.” Sejenak ia menghela napas panjang, lalu berkata, ”Apakah Anda mengkhawatirkan Ki Sentot akan memasuki Kahuripan?” Bhre Kahuripan menganggukkan kepala. “Ra Pawagal telah memperhitungkan semua laporan petugas sandi dan orang-orang yang berdiam di padukuhan Bulak Banteng. Mereka telah memberi laporan padanya bahwa keadaan di sana telah lumpuh. Dan sepanjang jalur dari Bulak Banteng sampai tempat ini sama sekali tidak ada jejak atau penanda jika ada pasukan besar. Tidak ada satu kemungkinan, walaupun kecil, yang menyiratkan ada kekuatan yang cukup untuk melumpuhkan Kahuripan.” Sorot mata Gajah Mada menyiratkan keyakinan yang kuat ketika mengatakan itu kepada Bhre Kahuripan.

Baca Juga :

“Baiklah, Kakang. Jika demikian, segeralah menemui Ra Pawagal dan katakan apa yang kita bicarakan ini padanya,” perintah Bhre Kahuripan. Gajah Mada membungkuk hormat dan berlalu meninggalkan Dyah Gtarja dengan langkah lebar. Jarak istana Kepatihan yang tidak begitu jauh dilaluinya dengan berjalan kaki. Seorang prajurit yang seusia turut menemani Gajah Mada menemui Ra Pawagal, Patih Kahuripan. Mendung yang kelam membayangi perjalanan pendek kedua prajurit muda menapak jalan yang masih ramai orang berlalu lalang. Tanah lapang yang dikelilingi bangunan-bangunan besar pusat pemerintahan masih dijejali banyak orang. Kehidupan di Kahuripan berangsur kembali seperti sedia kala setelah beberapa waktu diberlakukan jam malam oleh Ra Pawagal. Beberapa lama kemudian keduanya memasuki regol halaman Kepatihan. Prajurit penjaga segera membuka jalan masuk bagi Gajah Mada dan kawannya. Ra Pawagal berada di serambi depan dengan pundak berbalut kain menutup luka-luka yang belum pulih sepenuhnya. Raut muka penuh wibawa semakin menambah kehormatan yang melekat padanya. Segera ia menjawab salam lalu mempersilahkan Gajah Mada dan kawannya duduk melingkar bersamanya. “Bagaimana keadaan ayah ibumu, Kebo Pameling?” bertanya Patih Pawagal pada kawan Gajah Mada. “Keduanya baik dan sehat, Tuan Patih,” Kebo Pameling menjawab. Kedua orang tuanya telah lanjut usia dan sebelumnya Kebo Pameling meminta perkenan memindahkan keduanya ke Kahuripan untuk sementara. Patih Kahuripan, Ra Pawagal, memalingkan muka menatap Gajah Mada. Lalu dengan suara lembut ia berkata, ”Aku kira kau kemari untuk membawa pasukan ke Sumur Welut.” Gajah Mada tersenyum lalu  mengangguk. “Lalu bagaimana keadaan Sumur Welut sekarang ini?” Kemudian Gajah Mada mengatakan berita yang telah ia dengar dari seorang petugas sandi yang dikirimkan oleh Bhre Kahuripan. Ra Pawagal sesekali mengusap janggut dengan pandang mata sering menerawang jauh. “Sumur Welut masih cukup tangguh untuk bertahan hingga dua tiga hari ke depan,” kata Ra Pawagal memberi penilaian. Garis wajah gelisah tidak lagi tergambar pada wajahnya. sekalipun pada mulanya ia sedikit terkejut saat mengetahui tentang kehadiran pasukan gajah di barisan lawan “Apa yang akan kau katakan tentang rencana kawanmu ini?” Ki Patih menghadap wajah Kebo Pameling yang masih bingung dengan suasana di sekitarnya. Sedikit tergagap ia menatap Gajah Mada lalu menjawab, ”Saya tidak tahu sedikitpun rencananya.” Ra Pawagal tersenyum lalu berkata, ”Katakan, Gajah Mada. Segera kita tuntaskan masalah yang dihadapi Sumur Welut.” Suara tegas dan dalam terucap dari bibirnya ketika pandang matanya lurus menatap Gajah Mada. Setelah menarik napas panjang, Gajah Mada berkata, ”Tuan Patih, Kebo Pameling adalah senapati yang membawahi seratus prajurit berkuda. Dan saya berharap Anda berkenan memberinya tugas untuk membantu paman Ken Banawa di Sumur Welut.” Kebo Pameling memandang Gajah Mada dengan air muka sungguh-sungguh. Ia menunggu uraian Gajah Mada lebih lanjut. “Tentu saja hal itu akan menjadikan tepi utara Kahruipan akan rapuh. Tetapi saya akan mengisi kekosongan itu dengan sekelompok prajurit dan orang-orang padepokan,” lanjut Gajah Mada. Ra Pawagal mengerutkan keningnya, kemudian bertanya, ”Prajurit mana yang kau maksudkan? Dan padepokan mana yang bersedia menjadi benteng  Kahuripan?” “Sekitar tiga puluh prajurit berada dalam tanggung jawab saya. Merekalah yang bersembunyi di balik benteng kota ketika Ki Srengganan merebut Kahuripan,” kata Gajah Mada kemudian berhenti sejenak. Lalu ia melanjutkan kata-katanya, ”Saya telah bertemu dengan pemimpin Padepokan Kumboro Geni beberapa waktu yang lalu.” Terhenyak Ra Pawagal mendengar Padepokan Kumboro Geni disebutkan. Semasa muda, Ra Pawagal adalah salah seorang murid dari padepokan yang disebutkan Gajah Mada. Dada Ra Pawagal berdesir tajam lalu ia memandang Gajah Mada dan Kebo Pameling bergantian. Sejenak kemudian ia berkata, ”Aku sungguh tidak mengira kau telah melangkah sejauh itu, dan tidak terpikir olehku untuk meminta bantuan mereka. Baiklah aku mendengarkan permintaanmu, Gajah Mada. “Tetapi, bukan Kebo Pameling yang akan memimpin pasukannya ke Sumur Welut. Kau adalah pengganti kedudukan Kebo Pameling, tentu saja kau akan bertanya tentang alasanku ini. Para prajurit Kebo Pameling tidak akan keberatan jika kau pimpin mereka, dan Kebo Pameling sendiri juga tidak akan menerima penolakan dari Padepokan Kumbara Geni. Dan kalian berdua harus mengerti, orang-orang Kahuripan akan lebih tenang jika Kebo Pameling berada di tengah-tengah mereka.”

Baca Juga :

Gajah Mada dan Kebo Pameling mengangguk. Ra Pawagal berpaling pada Gajah Mada kemudian meneruskan, ”Aku harap kau tidak salah mengerti. Selama ini orang Kahuripan mengenalmu sebagai senapati yang tidak mempunyai pasukan yang cukup besar. Aku tidak ingin muncul anggapan bahwasanya keselamatan dan keamanan Kahuripan dibebankan pada senapati yang tidak berpengalaman.” “Saya mengerti, Bapak,” kata Gajah Mada tegas. “Selain itu, waktu yang sekarang ini kita dapatkan adalah kesempatan bagimu untuk menunjukkan kecakapan dalam memimpin pasukan. Meskipun kau bukan pasukan yang utama, tetapi bantuanmu pada Sumur Welut tentu akan menjadi pertimbangan khusus bagi saudara-saudaramu,” berkata Ki Patih Ra Pawagal. Ia kemudian bertanya pada Kebo Pameling, ”Bagaimana menurutmu, Kebo Pameling?” “Saya sepenuh hati mendukung Bapak dengan rencana itu. Sekarang adalah waktu yang dapat menjadi milik Gajah Mada untuk mengeluarkan kekuatan yang selama ini bersembunyi dalam dirinya.” Wajah cerah Kebo Pameling menyertai jawabannya. Ia tampak senang dengan kepercayaan yang diberikan Patih Ra Pawagal pada Gajah Mada. Bahkan ia nyaris saja melompat dari duduknya untuk memberi selamat pada rekannya yang bernalar tajam dan berwawasan sangat jauh itu. Hanya saja kewibawaan Ra Pawagal dapat mengekang keinginan Kebo Pameling. “Demikianlah, Gajah Mada,” tandas Ra Pawagal. “Setelah pertemuan ini, kau harus mengikuti petunjuk dan pesan Kebo Pameling sebelum mempersiapkan pasukan berkuda. Dan aku kira memang sebaiknya kalian berdua segera bangkit untuk bersiap.” Patih Ra Pawagal mengakhiri pertemuan itu dengan sepatah dua patah pesan penting bagi dua lurah prajurit muda itu. Sejenak kemudian Gajah Mada dan Kebo Pameling telah berada di luar halaman kepatihan. Mereka berjalan beriringan menuju barak pasukan berkuda yang dipimpin oleh Kebo Pameling. (bersambung ke bab selanjutnya)

Sumber: