Langit Hitam Majapahit – Persiapan (3)

Langit Hitam Majapahit – Persiapan (3)

Di malam yang sama, Bondan dan Gumilang bergerak mendekati Bulak Banteng. “Mengherankan. Ada yang janggal di tempat ini,” kata Bondan ketika mereka mulai mendekati wilayah pedukuhan terluar. Keadaan begitu sepi dan gelap gulita. Pendengaran Bondan yang tajam secara samar-samar mendengar suara riuh dari  kejauhan. “Marilah, kita bergeser ke sana. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita dapatkan,” kata Bondan sambil menunjuk sumber suara yang didengarnya. Kemudian mereka berdua berjalan sambil merunduk melintasi pategalan yang ditumbuhi tanaman jagung yang belum begitu tinggi. Puluhan kapal yang dihiasi ratusan pelita segera terlihat oleh Bondan beserta kawannya. “Rupanya mereka menempuh perjalanan dengan kapal,” bisik Gumilang kepada Bondan. Keduanya semakin mendekati dermaga. Dalam jarak selemparan anak panah, mereka merayap bergeser maju untuk melihat semakin dekat. “Tunggulah di sini. Aku akan maju lebih dekat lagi,” kata Bondan. “Berhati-hatilah.” Bondan pun merunduk maju dan secepat anak panah tubuhnya melayang dan hinggap di sebuah dahan pohon sengon yang cukup besar. Terlihat olehnya seseorang membawa kapak besar sedang berbincang dengan beberapa orang. Setelah meyakini yang telah dilihatnya, Bondan pun beringsut kembali ke tempatnya semula. “Mari kita tinggalkan tempat ini,” ajak Bondan. “Apakah kita sudah cukup memperoleh pengamatan?” “Aku kira sudah cukup dan segera kita laporkan kepada paman,” jawab Bondan. Keduanya meninggalkan tempat itu dengan sesekali menengok ke belakang untuk mengawasi jika ada yang memergoki mereka. “Mungkinkah kita akan melepaskan panah api ketika mereka memasuki muara Kalimas, Bondan?” tanya Gumilang ketika mereka menghentak kuda sedikit lebih cepat. “Aku yakin dengan kemampuanmu tetapi kita juga harus menyesuaikan diri dengan rencana paman, Gumilang,” jawab Bondan sambil memberi tanda untuk lebih berhati-hati dalam perjalanan menembus malam. Meskipun bulan belum bulat sepenuhnya tetapi sinarnya sedikit membantu perjalanan mereka di bawah kepekatan malam.

Baca Juga :

  Malam semakin larut dan setiap kepekatan telah melebur dalam gelap. Bondan dan Gumilang akhirnya tiba di depan gapura kademangan. Bondan memperingatkan para petugas yang sedang berjaga untuk semakin waspada, lalu ia beranjak melaporkan perkembangan di Bulak Banteng kepada Ken Banawa. Ada sedikit perubahan pada air muka Ken Banawa. Di tengah hiruk pikuk kesibukan di penghujung malam, di dekat sebuah telaga kecil, Bondan berdiri berdampingan dengan Ken Banawa. “Paman, saya melihat Ki Cendhala Geni berada di antara sejumlah orang… yang tampaknya adalah para pemimpin pasukan Ki Sentot,” Bondan mengawali percakapan. “Jika demikian itu berarti ada Ubandhana di dalam pasukan mereka. Mungkin juga orang-orang yang kau lihat itu bukan bagian dari pasukan Ki Sentot. Mereka dapat berasal dari berbagai tempat dengan bermacam tujuan. Keinginan Ki Sentot adalah satu pedati yang sangat besar dan memuat banyak orang dengan tujuan yang berlainan. Agaknya kita akan menghadapi pasukan yang benar-benar kuat dan siap.” “Saya juga melihat beberapa gajah mulai ditempatkan di sekitar kapal.” “Kapal?” “Ya. Saya melihat banyak kapal, mungkin jumlahnya mencapai puluhan.” “Hmmm, ini berarti mereka akan memasuki muara Kalimas dan sudah pasti mereka tidak berangkat dengan bersamaan. Ini jelas menyulitkan kita karena tidak mungkin dapat memeriksa satu per satu kapal yang lewat. Bila kita memaksa diri untuk melakukan itu, bukan tidak mungkin akhirnya mereka membatalkan serangan ke Sumur Welut.” “Bukankah itu menjadi lebih baik, Paman?” “Justru itu yang aku khawatirkan, Bondan. Karena mereka pasti mengetahuinya. Ki Sentot adalah bekas senapati  tangguh dalam pasukan Jayakatwang. Pasukannya berhasil memukul mundur dua pasukan yang dipimpin oleh Juru Demung dan Lembu Sora. Kedua orang ini adalah senapati pilihan kepercayaan Ra Dyan Wijaya. Dan itu berarti kita berhadapan dengan seseorang yang tangguh bersiasat. Satu kemungkinan adalah jika setiap kapal yang diperiksa akan berubah tujuan. Mereka mungkin saja mengalihkan kemudi langsung mendekati kotaraja.” “Bagaimana jika kita bakar kapal mereka dengan panah api? Saya kira itu akan memberi pukulan berarti bagi mereka,” kata Gumilang penuh semangat. “Tidak, Gumilang. Membakar atau menyerbu kapal mereka sebelum memasuki muara itu akan berakibat seperti yang aku katakan tadi. Selain itu juga, hilir mudik kapal para saudagar pasti terganggu dan mereka mungkin akan menghentikan kegiatan. Nah, dengan begitu maka yang mengalami kerugian adalah rakyat kita sendiri,” Ken Banawa menjelaskan. “Waktu kita semakin sempit.” Hanya itu yang diucapkan oleh Ken Banawa sebelum mereka berpisah. Lantas ia berpaling dan memandang bergantian dua lelaki muda di depannya, mengangguk, lalu berucap satu dua kata pada Gumilang. Maka sejak saat itu segala sesuatu bergerak lebih cepat. Perintah Ken Banawa telah dikirm secara berantai oleh para penghubung kepada para pemimpin regu. Bulan belum mencapai tempat terbenam ketika orang-orang menempatkan semua senjata sesuai siasat Ken Banawa sebagai panglima perang. Senjata jarak jauh dan aral penghalang berduri. Dan setiap pemimpin regu membekali anak buahnya dengan berbagai pesan untuk menjaga sikap. Bagi rakyat di Kademangan Sumur Welut, yang tidak terlibat secara langsung, waktu merambat pelan. Mereka muram dalam kegelisahan tentang bayangan masa depan apabila tanah mereka tidak dapat dipertahankan lagi, Mereka sama sekali tidak mengetahui tentang hidupnya yang akan menjadi lebih baik atau menjadi suram, mereka tidak mengetahui tentang nama-nama yang akan menemui kematian atau masih dapat melanjutkan hidupnya. Bagi kebanyakan rakyat Sumur Welut, satu-satunya alasan mempertahankan hak mereka adalah harga diri. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan alasan yang berbeda yaitu hilangnya kebebasan. Kebebasan untuk mengolah sawah dan ladang mereka, kebebasan untuk bertemu dengan sanak kadang yang pastinya akan menemui kematian ketika perang telah pecah. Alasan yang sama pun juga dimiliki oleh rakyat Kademangan Wringin Anom. Sebagian anak muda Wringin Anom yang turut membantu di Sumur Welut bahkan beranggapan bahwa perang ini adalah pintu tentang harapan. Bagi mereka, harapan segera pupus jika mereka mengalami kekalahan di Sumur Welut. Kekalahan Sumur Welut akan menjadi awal kehancuran Wringin Anom. Oleh sebab itu, mereka menjadikan Sumur Welut sebagai benteng pertama dan terakhir. Mereka akan bertempur hingga penghabisan atau matahari tidak akan bersinar lagi.

Baca Juga :

Kapal-kapal pasukan Ki Sentot pun bergerak meninggalkan dermaga dalam kelompok-kelompok kecil. Jarak keberangkatan antar kelompok telah diatur sedemikian rupa hingga benar-benar luput dari pengawasan para penjaga perairan Majapahit. Bentuk kapal telah disamarkan hingga seperti kapal para saudagar yang biasa melintasi muara Kalimas. Menjelang tengah hari, kelompok pertama dari kapal-kapal yang berisi pasukan Ki Sentot itu berbelok ke utara, memasuki perbukitan Gunungsari melalui sebuah sungai kecil. Iring-iringan ini berhenti di tepi sebuah hutan kecil yang berjarak belasan tombak dari bibir sungai.. Sejumlah orang bergegas turun dan menyebar cepat untuk mengamati lingkungan perbukitan. Rombongan yang kedua berhenti tidak jauh dari yang pertama. Lalu mereka mendirikan perkemahan sesuai petunjuk dari para pengamat dari rombongan pertama. Hari berangsur gelap ketika pasukan Ki Sentot merayap memenuhi perbukitan Gunungsari dengan perkemahan yang bertebaran di lereng-lereng bukit kecil.   Pada malam keberangkatan kapal, Ken Banawa telah memerintahkan petugas sandi untuk mengambil tempat agar dapat mengawasi kapal-kapal yang mempunyai tanda-tanda mencurigakan. Saat bintang besar di langit malam itu mulai bergeser ke barat, Ken Banawa telah menerima laporan bahwa ada sejumlah kapal yang bergerak memasuki sungai kecil di sekitar perbukitan Gunungsari. Secara terus menerus Ken Banawa mendapatkan laporan yang sama termasuk jumlah kapal yang mendekati lingkungan perbukitan. Ken Banawa telah menempatkan beberapa orang untuk melakukan pengintaian di lingkungan perbukitan Gunungsari. Pada pagi harinya sudah tersiar kabar di pasar-pasar dan rumah-rumah orang Sumur Welut, bahwa pasukan Ki Sentot telah berkemah di lereng-lereng bukit kecil di sebelah selatan padukuhan Karangan. (bersambung)

Sumber: