Pahit Kopi
Oleh: Dahlan Iskan Kopi memang pahit. Kalau tidak diolah. Tapi lebih pahit lagi nasib raja kopi ini. Padahal dialah yang berhasil mengalahkan Starbucks di negaranya: India. Ia bunuh diri. Senin lalu. Atau dibunuh. Nama raja kopi itu Anda sudah tahu: VG Siddhartha. Memiliki 1.600 gerai di seluruh India. Juga di enam negara lainnya. Sampai di India Starbucks terpojok. Hanya bisa membuka 150 gerai. Nama cafe yang didirikan Siddharta: Coffee Day. Cafe Coffee Day. Hari itu sudah senja. Langit gelap. Siddharta pamit ke istrinya: akan ke Bangalore. Tapi ketika masuk mobil ia bilang kepada sopirnya: kita ke arah Ullal. Yang berarti harus melintasi jembatan sungai besar Netravathi. Yang mengalir di selatan Kota Mangaluru --kota terbesar kedua di negara bagian Karnataka, India. Yang ibu kotanya Bangalore itu. Di Bangalorelah Siddharta memulai Coffee Day-nya. Di tahun 1993. Ia memang lahir di Mangaluru. Di negara bagian Karnataka ini. Di sini pula ia mengawini anak tokoh besar daerah --ketua menteri negara bagian. Menjelang jembatan besar itulah Siddharta minta mobil berhenti. Saat itu ia lagi bicara di HP. Mobil diminta minggir. Siddharta terus bicara di HP. “Saya mau jalan ke sana. Anda tunggu di sini. Sampai saya kembali,” ujarnya pada sopir. Sambil HP terus menempel di telinga. Itulah penampakan terakhir Siddharta. Sampai dua jam kemudian Siddharta belum kembali. Malam kian gelap. Ini lagi musim hujan di India. Juga musim banjir. Air sungai Nethravathi keruh. Meluap-luap. Ini musim monsoon. Yang sangat tidak enak. Jenis musim ini tidak ada di Indonesia atau Eropa. Si sopir ambil putusan: lapor polisi. Juga menghubungi istri Siddharta. Kantor perusahaannya pun heboh: CEO-nya hilang. Salah satu orang terkaya India itu tiba-tiba lenyap. Idola bangsa, si penakluk merek asing, meninggal dunia --mungkin. Hebohnya sampai ke seluruh negara. Harga sahamnya langsung turun 20 persen --kemarin. Tidak sulit menyimpulkan ke mana Siddharta: bunuh diri. Terjun ke sungai yang lagi banjir. Bersama HP-nya. Dan bersama seluruh keruwetan bisnisnya. Seberapa ruwet? Bagi yang tidak bergerak di bidang bisnis tak akan bisa merasakannya. Dulu. Saya kira yang paling stres itu wartawan. Terutama menjelang deadline. Setiap jam 12 malam. Tapi ternyata salah. Bisnislah yang paling stres. Terutama kalau sudah menyangkut buka cheque bank. Yang tanggalnya jatuh tempo. Yang uang di banknya masih kosong. Kian dekat tanggal jatuh tempo kian tinggi stresnya. Apalagi kalau sudah tinggal sehari. Yang belum juga ketemu jalan --akan diisi dari mana rekening bank itu. Sesetres-setresnya wartawan itu hanya terjadi menjelang deadline. Begitu jam 12 malam keputusan pun diambil. Berita yang kurang bermutu pun bisa ditampilkan. Selesai. Stres pun hilang. Paling-paling hanya hati yang tidak puas. Tapi persoalan cek tidak berhenti di situ. Bisa jadi lubang itu akhirnya ditutup dengan lubang baru. Kadang lebih dalam. Stres baru. Stres yang lebih tinggi. Kadang cek yang dibuka tidak hanya satu. Banyak. Untuk beberapa pihak. Semua jatuh tempo. Ada pula yang cek itu sudah berpindah tangan. Ke pihak yang punya kekuasaan. Atau punya preman. Atau mengirim debt collector. Atau mengancam pengalihan saham. Belum lagi kalau kecampuran keruwetan saham. Juga pertengkaran di dalam manajemen. Dan semua persoalan mirip itu menyatu di Cafe Coffee Day. Siddharta tidak kuat lagi menahan stres itu. Ditambah persoalan baru: kantornya digerebek petugas pajak. Bebannya pun bertambah: harus membayar pajak dan dendanya. Siddharta pilih bunuh diri. Selesai. Selesai? Siddharta memang berkirim email. Beberapa hari sebelum bunuh diri. Ditujukan kepada semua direksi dan manajernya. Isinya sangat mengharukan. “Saya sudah tidak kuat menghadapi tekanan ini,” tulis Siddharta. “Terutama dari lembaga keuangan,” tambahnya. Kata ‘tidak kuat lagi’ itu memang mengharukan. Tapi tidak ada yang menerjemahkan sebagai pamitan bunuh diri. Banyak yang menduga Siddharta ‘hanya’ akan mengundurkan diri. Sebagai CEO. Digantikan oleh orang yang ditugasi oleh pemilik dana. Mungkin juga Siddharta akan kehilangan saham. Akibat tekanan yang bikin ia tidak kuat lagi itu. Tapi tidak ada yang menduga sampai sejauh bunuh diri. “Semua ini kesalahan saya pribadi,” tulis Siddharta dalam email itu. “Tidak ada orang lain yang salah. Tidak satu pun direksi atau manajer ikut salah. Ini tanggung jawab saya semua. Sendiri,” tulisnya. Siddharta kelihatan akan membawa seluruh kekeruhan perusahaan di punggungnya. Untuk diajak terjun bersama. Ke sungai besar yang lagi banjir. Yang airnya juga lagi sekeruh persoalan perusahaannya. Siddharta memang pernah menerima pinjaman. Yang dikaitkan dengan perjanjian buy back. Juga dikaitkan dengan gadai saham. Dengan skema keuangan yang sangat rumit. Nilainya sekitar Rp 2 triliun. Uang itu datang dari KKR --perusahaan keuangan dari New York. Pemiliknya tiga orang: Kohlberg, Kravis, dan Robert -- KKR. Dari keluarga Yahudi Amerika. Adakah KKR yang lagi menekan Siddharta? Spekulasinya ke sana --meski harus menunggu hasil penyelidikan dulu. Yang tidak akan sulit pengungkapannya. KKR pernah dikenal sebagai penekan. Pun sebuah perusahaan besar Amerika. Pernah kena hostile takeover. Kisah ini sangat terkenal sebagai pengambil alihan secara licik oleh KKR. Siddharta memang sempat kalang kabut. Harus cari uang dalam jumlah triliunan. Untuk memenuhi perjanjian buy back yang jatuh tempo. Salah satunya dari perbankan. Jumlahnya mencapai Rp 15 triliun. “Semua itu kesalahan saya. Kesalahan seorang enterpreneur,” tulisnya dalam emailnya. “Teruslah bekerja keras di bawah pemimpin baru,” tambah dia. Jenazah Siddharta ditemukan kemarin pagi. Jam 6.30. Setelah dua malam terpendam di sungai. Lokasi penemuan itu atas saran para nelayan. Yang sangat paham sifat aliran sungai. Yang benda-benda besar biasanya berputar di lokasi itu. Secara formal jabatan CEO kini dipegang istrinya: Malavika Hedge. Sementara. Sampai tekanan itu dimunculkan lagi. Apa pun Siddharta telah bikin sejarah dalam hidupnya: mengalahkan perusahaan global --Starbucks. Bersejarah karena pernah bisa menjual kopi 1,8 miliar gelas setahun. Tapi mengalahkan saja tidak cukup. Kalau tidak memikirkan kelangsungan usahanya. Juga kelangsungan nyawanya. Siddharta meninggal oleh ambisinya sendiri. Tapi ia telah membuat sejarah. Hidup terlalu pendek untuk menjadi biasa-biasa saja --seperti ditulis almarhum Zhang Yingying di buku hariannya.(*)
Sumber: