Langit Hitam Majapahit – Bulak Banteng (4-habis)

Langit Hitam Majapahit – Bulak Banteng (4-habis)

“Kami harus banyak berterima kasih pada Tuan beserta pasukan yang membawa Arum Sari kembali pulang dengan selamat,” kata Ki Demang dengan terisak. Mendengar itu, Nyi Demang semakin erat memeluk putri semata wayangnya. “Ini adalah sebuah kewajiban kami, Ki Demang,” Ken Banawa berkata kemudian, ”aku harapkan bantuan Anda menyiapkan dan mengawasi sejumlah orang yang menjadi tawanan. Mereka akan segera kami kirim ke kotaraja.” “Kami akan membantu apa yang bisa kami lakukan untuk Anda,” sambil berkata itu Ki Demang berpaling pada Ki Jagabaya. Sepatah kata ia ucapkan agar Ki Jayabaya bergegas melakukan yang dianggap perlu untuk mengurusi tawanan. Para pengikut Patraman lantas didorong kasar berjalan menuju bangunan yang memanjang dengan beberapa bilik menghadap tanah lapang. Dibantu para pengawal kademangan, anak buah Ken Banawa memasukkan satu demi satu tawanan dan menjaga mereka dengan ketat. Setelah semua pekerjaan yang berhubungan dengan tahanan telah di-kerjakan, seorang pengawal kademangan berkata, “Ki Sanak sekalian dapat segera beristirahat. Silahkan mengambil jamuan yang telah kami siapkan. Kami akan mengambil alih kewajiban Ki Sanak untuk sementara waktu. Percayakan pada kami, dan kami tidak akan membiarkan mereka dapat melepaskan diri karena hanya itu cara kami berterima kasih.”

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
Pemimpin prajruit membukukkan badan, ia senang mendengar kata-kata pengawal yang rendah hati dan benar-benar dapat mengerti arti menghargai. Di dalam bangunan induk. “Silahkan Ki Banawa  istirahat di tempat yang telah kami persiapkan. Begitu pula para pengawal untuk segera menempati ruangan untuk istirahat. Dan sebelumnya saya persilahkan untuk makan malam,” kata Ki Demang lalu mempersilahkan para tetamunya memasuki ruangan tengah di belakang pendapa. Tidak lama setelah itu, Ken Banawa mengatakan kepada Ki Demang untuk berbicara beberapa hal sambil menunggu kehadiran Ki Demang Sumur Welut. Ki Demang pun menyadari karena menurutnya memang tidak pantas untuk melanjutkan pembicaraan di larut malam sedangkan tamu-tamu itu membutuhkan istirahat. Kedua orang ini lantas berpisah, dan Ken Banawa berjalan menghampiri prajuritnya untuk mengatur penjagaan pada malam itu. Beberapa waktu berselang lalu Ken Banawa pun memasuki bilik yang telah disiapkan untuknya. Keesokan harinya, seorang penjaga regol melaporkan bahwa ada sejumlah orang berkuda sedang berusaha menemui Ken Banawa dan Ki Demang. “Apakah ia menyebut nama?” tanya Ki Demang pada penjaga itu. “Tidak, Ki Demang. Mereka semua berpakaian seperti Ki Banawa kecuali satu orang yang masih muda dengan sebuah ikat kepala,” jawab  penjaga. “Apakah mereka menyebut keperluannya?” “Ia hanya berkata ingin bertemu dengan Ki Demang dan Ki Banawa.” “Baiklah. Segera kembalilah ke gardu depan. Tingkatkan kewaspadaan,” perintah Ki Demang. “Biarkan saya yang menjemput mereka, Ki Demang,” kata Ken Banawa yang baru saja menaiki tangga pendapa. “Oh, baiklah jika begitu, Ki,” ujar Ki Demang dengan ramah. Kemudian tampak oleh mereka serombongan orang yang berkuda dengan perlahan dari utara. “Ki Demang Sumur Welut,” desis Ki Demang Wringin Anom. “Hmm, baiklah. Ki Demang Sumur Welut telah datang. Saya akan menjemput Ra Caksana dan Bondan agar kita bisa bergegas memulai pembicaraan,” kata Ken Banawa lantas berpamitan pada Ki Demang. “Silahkan, Tuan Senapati.” Kemudian di pendapa telah duduk sejumlah orang. Di antaranya adalah Ki Demang Wringin Anom beserta para bebahu, Ki Demang Sumur Welut dan para bebahu, Ken Banawa dan Bondan yang ditemani dua lurah prajurit. “Apakah yang saya lihat di Bulak Banteng itu boleh disampaikan di depan orang banyak, Paman?” Bondan berbisik pada Ken Banawa yang duduk di sebelahnya. “Silahkan, Bondan. Agar semua menjadi jelas.” Kata Bondan kemudian, setelah menyampaikan salam hormat, ”Saya melihat sejumlah pasukan sehamparan tebasan parang dan beberapa ekor gajah. Menurut Ra Caksana, pasukan yang kini sedang berlatih di Bulak Banteng mampu melibas tiga atau empat kademangan sekaligus. Penyebab yang utama adalah kekuatan pasukan gajah.”

Baca Juga :

Bab 11 : Bulak Banteng
Ra Caksana menambahkan keterangan yang didapatkan Bondan dari sejumlah orang yang ditemuinya di pategalan. “Siapakah mereka, Ki Rangga?” pemimpin Sumur Welut bertanya dengan kepala menunduk. Lalu lintas pikirannya tiba-tiba menjadi sibuk dan dipadati pertanyaan-pertanyaan yang menunggu jawaban. “Kami belum mengetahui secara pasti siapa dan apa kemauan mereka itu,” Ken Banawa membuka suara, “Ki Demang Sumur Welut harus segera mempersiapkan diri. Dan mungkin Sumur Welut akan mejadi garis pertahanan yang utama jika Ki Demang berkenan.” Ken Banawa lantas menjabarkan rencananya kepada semua orang yang hadir di pendapa. Ia sengaja berbuat seperti itu untuk mengetahui jika ada di antara orang-orang yang hadir itu menyamar sebagai telik sandi. Ken Banawa sedang menepuk permukaan air untuk memancing buaya muncul dari orang-orang yang berlalu lalang di sekitar pendapa. Matahari telah berada sedikit di atas cakrawala, ketika Ken Banawa memerintahkan Ra Caksana untuk mengambil alih tugas-tugasnya. Ken Banawa memandang perlu untuk pergi ke kotaraja agar dapat membicarakan masalah Bulak Banteng lebih mendalam dengan Mpu Nambi. (bersambung ke bab selanjutnya)

Sumber: