Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (8)

Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (8)

Sementara itu di dekat rawa-rawa, Gumilang yang bertarung melawan Patraman dan Laksa Jaya yang telah terluka, benar-benar menunjukkan kemampuannya dalam batas tertinggi. Gendewa yang tadinya tergenggam di tangan kiri secara cepat tergantung di punggungnya tanpa mengurangi daya serang. Sebagai gantinya kini Gumilang memegang sebuah belati sepanjang lengan orang dewasa. Belati yang ganas mematuk setiap kali pergelangan tangan lawannya yang mencoba mendekat, sedang pedang Gumilang menggedor pertahanan kedua lawannya tiada henti. Keadaan masih remang dan Gumilang belum mengurangi tekanan, ia deras mencecar Laksa Jaya yang semakin banyak mengalirkan darah. Laksa Jaya merupakan orang terlemah jika dibandingkan dengan Patraman, menurut pengamatan Gumilang. Oleh karenanya Gumilang menjadikan Laksa Jaya sebagai sasaran pertama untuk dilumpuhkan. Ia melepaskan Patraman dan tidak memperdulikan serangan Patraman. Meski begitu, usaha Patraman untuk mengalihkan perhatian Gumilang belum mengendur. Tetapi ayunan pedang Gumilang yang membungkus rapat tubuhnya, ditambah belati yang sering mendadak mematuknya seolah menjadikan usahanya sia-sia. Tusukan pedang berhulu kepala rajawali berhasil ditepis Laksa Laya, namun Gumilang memutar pedang, membentuk garis lingkaran lalu membelah kepala Laksa Jaya. Laksa Jaya tangkas menempatkan pedangnya menyilang di atas kepala. Walau telah menahan hantaman Gumilang dengan kedua tangannya, namun tenaganya tak mampu membendung serangan, hingga akhirnya Laksa Jaya jatuh berlutut karena tekanan dahsyat Gumilang. Di bawah temaram cahaya merah, Patraman mencoba mengenali penyerangnya. Ia merasa mengetahui dasar gerakan dan bentuk tubuh lelaki muda yang berkelahi garang di hadapannya. Ia lebih leluasa mengamati karena tidak terlalu sibuk dalam perkelahian yang tidak seimbang dalam jumlah. Perhatiannya tertuju pada baju Gumilang yang melekat sejumlah tanda yang dikenalnya. Hatinya berdesir dan jantungnya berdentang lebih keras. Ia melayang pada satu masa belasan tahun silam. Pada saat itu hampir semua anak para petinggi kerajaan mendalami ilmu keprajuritan dan olah kanuragan. Ingatan mengabarkan padanya bahwa dahulu di masa latihan itu ada seorang anak muda yang mahir menggunakan berbagai macam senjata. Memainkan busur seperti pedang dan belati yang terkadang terlihat seolah patukan puluhan ular.

  Keraguan dan kecemasan kini merayap dalam dada Patraman. Tidak ada jalan untuk berbalik badan. Tidak ada pilihan selain menuntaskan rencananya. Untuk sebuah cita-cita, tekad Patraman dalam hatinya. “Apakah ia tidak sedang salah memilih lawan? Meski keputusanku dan setiap rencana adalah kebenaran tetapi anak ini…. Ia akan membayar semua harga!” Desir gelisah hati Patraman beringsut lenyap, dengan sedikit ia berharap agar yang dipikirkannya tidak terjadi, Patraman kembali mengobarkan api dari dalam jantungnya.. Patraman menerjang Gumilang dari samping kiri. Ia melihat Laksa Jaya dalam keadaan terdesak, ujung pedangnya seolah mempunyai mata dan begitu cepat memburu Gumilang. Sedikit bergeser ke belakang, Gumilang berhasil menghindari serangan Patraman, kemudian ia membelokkan ujung belatinya menusuk lambung Patraman. Serangan yang tidak disangka-sangka ini memaksa Patraman beralih surut ke belakang. Kedudukan yang sedikit berubah itu dimanfaatkan  Gumilang. Ia mengalihkan serangan ke Laksa Jaya yang baru saja berdiri dan menata ulang gerakannya. Sekejap kemudian Laksa Jaya kembali terdesak hebat. Gulungan pedang Gumilang diselingi sabetan pendek belatinya menjadi sebab keringat dingin mulai membasahi Laksa Jaya. Kedua senjata ini mengepungnya dari berbagai penjuru dan tidak ada ruang baginya untuk menyelamatkan diri kecuali berharap bantuan Patraman. Keresahan melanda hatinya saat Gumilang secara tiba-tiba mengubah alur serangan. Dengan berjalan jongkok secara cepat, belati Gumilang mengejar sepasang kakinya. Di tengah kesibukannya menghindari belati, pedang Gumilang pun tak kalah gesit menyambar bagian atas tubuhnya. Patraman tercekat melihat pemandangan yang terjadi di depan matanya namun ia hanya berputar-putar untuk mencari titik lemah Gumilang. Sabetan pedang Gumilang berhasil dielakkan Laksa Jaya namun kakinya terlambat menghindari dari belati yang mematuk sangat cepat.       Betis Laksa Jaya menganga lebar. Darah segera tersembur keluar dari pembuluh yang robek lalu menggenangi kain yang membalut kakinya. Belum sampai sekejap mata, Gumilang mengarahkan ujung pedangnya ke leher Laksa Jaya. Sekelebat pedang berhasil membelokkan arah senjata Gumilang. Pedang yang bergagang keemasan ini lantas beralih melanda Gumilang seperti terjangan badai yang menghantam tebing. Demi menjaga jarak dan mengamati lawan barunya, Gumilang berjungkir balik ke belakang. Langkah surut Gumilang ini menggeser lingkaran perang tanding di antara mereka. Jarak semakin dekat dan terpisah dua tombak dari tempat Arum Sari duduk menetap. Gumilang cepat berpikir bahwa dengan lumpuhnya Laksa Jaya justru akan dapat membawa petaka baru. Ia tahu jika lawan yang masih segar ini sedikit lebih tinggi dari Laksa Jaya. Maka ia memancing Patraman agar lebih dekat dengan Arum Sari. Dengan demikian Gumilang lebih mudah mengamati perkembangan yang terjadi di sekitar Arum Sari. Tatap mata tajam Gumilang segera mengenali pemegang pedang bergagang keemasan. “Patraman?” “Benar. Bukankah engkau adalah Gumilang? Seorang bintara muda yang banyak digandrungi oleh para gadis di Tumapel? Sungguh sial karena wajahmu akan tersayat dan kulitmu akan teriris tipis oleh pedang ini!” “Tidak! Tidak! Aku tak takut bualanmu, aku hanya heran mengapa engkau terlibat dalam urusan ini? Sungguh tidak ada kepantasan bagi seorang putra Demang Tumapel berada dalam urusan perempuan! Apakah engkau sudah bertelinga kerbau, Patraman? Apakah engkau sudah tidak peduli dengan kehormatan yang dibangun oleh ayahmu? “Engkau sungguh-sungguh telah gila, Patraman!” Sebaris pertanyaan yang tidak perlu dijawab oleh Patraman namun sangat menusuk hatinya. Kedua matanya merah menyala karena marah, urat malu kini memenuhi setiap garis wajah Patraman. Ucapan Gumilang yang menyeret kedudukan ayahnya beralih menjadi minyak yang membuat api kian besar. Perkembangan dari rencananya sekarang menuju keadaan yang sulit untuk diperkirakan. Lambat laun keuntungan yang telah ia bayangkan mulai berubah menjadi kerugian baginya. “Gumilang! Hanya setan yang percaya dengan wibawa. Dan hanya setan pula yang peduli dengan kehormatan. Keduanya adalah omong kosong, sama halnya dengan wujud setan itu sendiri!” “Kini engkau pun mengajak setan ke tempat ini. Mengapa tidak engkau akui saja bahwa sebenarnya setan adalah dirimu?  Kesadaran itu akan memudahkan bagiku mengakhiri hidupmu.” Derai tawa Gumilang terdengar seperti bisa ular yang melumuri jantung Patraman. Sebuah penghinaan yang luar biasa dilontarkan dari bintara muda yang pernah bersamanya di Dharma Arendra.   Ibhakara memasuki Kahuripan lalu mengambil arah menuju kepatihan menemui Ki Cendhala Geni. Ia membawa lencana khusus yang diberikan oleh Patraman, lencana yang hanya digunakan oleh orang-orang dekat Pang Randu, maka tanpa kesulitan ia dapat menembus penjagaan para pengawal. Sebenarnya Ki Cendhala Geni sedang tidak ingin menerima satu orang pun saat itu, tetapi seorang pengawal berkata, ”Ki Patih, mungkin saja orang ini dapat membawa berita yang mendahului kedatangan prajurit kotaraja datang kemari.” Ki Cendhala Geni menatap tajam pada pengawal itu sambil mendengus. “Siapakah nama orang itu?” “Ia mengaku sebagai Ibhakara, sebuah lencana khusus telah ia tunjukkan padaku.” Patih Kahuripan ini merenung sejenak, lantas, “Baiklah. Dan sebaiknya kau berkata benar.” Tak lama kemudian Ibhakara memasuki ruangan tempat Ki Cendhala Geni telah menunggunya. “Sebuah tanda khusus sebaiknya membawa berita yang menggembirakan. Aku tidak ingin mendengar para penjilat memberi kabar bohong yang dapat mengusik ketenanganku,” Ki Cendhala Geni berkata pongah seakan-akan ia telah menjadi seorang patih dalam waktu yang cukup lama. Ibhakara menarik napas panjang ketika menerima kesan angkuh yang ditunjukkan oleh Ki Patih Kahuripan yang baru menjabat. “Mungkin akan lebih baik kau mati di tangan orang-orang Majapahit, orang tua!” Ibhakara memendam geramnya dalam hati. Ibhakara secara singkat menceritakan setiap perkembangan yang dilihatnya ketika meninggalkan Wringin Anom. Ia mengatakan berita-berita yang didengarnya dari prajurit yang meronda. Sudah barang tentu prajurit peronda tidak menaruh kecurigaan padanya yang saat itu mengenakan pakaian prajurit lengkap dengan lambang kadipaten. Sebenarnya Ki Cendhala Geni tidak memberi perhatian yang wajar atas laporan Ibhakara, ia telah mendengar aliran angin yang diucapkan melalui bibir para petugas sandi. Dengan suara tanpa tekanan, bahkan cenderung dingin dan datar,  katanya, “Sekarang kau dapat kembali ke barak yang telah kau tempati sebelumnya. Atau kau dapat pergi k emana saja.” Ki Cendhala Geni menanggapi Ibhakara. Ia sudah mengambil keputusan terkait kedatangan pasukan berkuda Ki Nagapati dan kelompok pasukan lainnya yang mulai bergerak menuju Kahuripan. Terhenyak Ibhakara mendengarnya, pikirnya, ”Apa aku tidak salah dengar? Mengapa lelaki tua ini begitu seolah tidak menganggap laporan yang baru aku katakan? Mungkin ia telah mendengarnya daripetugas sandi, atau mungkin ia memang termasuk orang bodoh. Biarlah, itu urusannya!” Ibhara masih termangu di atas dua kakinya. “Pergilah! Selagi usiamu masih begini muda, pergilah jauh-jauh dari bahaya yang sebentar lagi akan datang menerjang seperti badai di lautan. Jika kau takut mati, tentunya,” Ki Cendhala Geni mengibas tangan meminta Ibhakara enyah dari ruangannya. “Kau dapat memilih tetap tinggal di sini sebagai pahlawan atau keluar dari Kahuripan sebagai pemenang. Partinya, bagiku, pilihan terbaik adalah menduduki kotaraja. Ibhakara melihat kesungguhan di wajah Ki Cendhala Geni, lalu ia berkata dalam pikirannya, ”Benar kata orang tua ini. Sebaiknya memang aku keluar dari Kahuripan dan persetan dengan yang lainnya!” “Baiklah, Ki Patih. Aku meminta diri.” Ibhakara membungkuk hormat dan berlalu meninggalkan Ki Cendhala Geni. Sepeninggal Ibhakara, Ki Cendhala Geni segera membenahi diri lalu berjalan keluar menuju regol halaman kepatihan. Seorang prajurit menyapa dan  bertanya tujuannya, tetapi Ki Cendhala Geni hanya menjawab dengan senyum dan lambaian tangan. Langkahnya semakin jauh meninggalkan regol kepatihan, lalu ia menyelinap di antara iring-iringan orang yang akan melewatkan senja di alun-alun kota. Sekejap kemudian ia melayang melewati dinding kota, lalu berlari cepat ke arah matahari terbit. “Ki Srengganan! Kau akan menyesali apa yang akan terjadi nanti malam. Lenyapnya Gajah Mada pada malam kita memasuki kota  sudah pasti akan membawa petaka bagi Kahuripan. Dan untuk sementara ini aku biarkan kau menikmati petaka itu sendirian sebagai seorang Bhre Kahuripan,” gumam hati Ki Cendhala Geni sambil tertawa kecil ketika berlari bagaikan terbang melintasi sawah dengan tanaman padi yang masih hijau. Sebenarnya pada malam ia memasuki Kahuripan dengan seluruh kawanannya, Ki Cendhala Geni telah mendengar bahwa seorang perwira berpangkat rendah berhasil keluar dari Kahuripan. Setelah mengetahui nama perwira itu, maka Ki Cendhala Geni pun menyadari bahwa bahaya besar akan menjemputnya bila tetap bertahan di Kahuripan. Gajah Mada merupakan satu nama yang dapat menghadangnya selama di Kahuripan dan juga satu-satunya perwira yang tidak mau tunduk pada Ki Srengganan. Oleh karena itu ia membuat persiapan dengan diam-diam. Dan sepanjang senja kala itu, ia nyaris tanpa berhenti meninggalkan Kahuripan menuju tempat pertemuannya dengan Ubandhana. Walau ia telah mempunyai rencana lain, tetapi ia tidak dapat memaksa seluruh prajurit Kahuripan untuk tunduk padanya. Malah satu rencana yang telah mengendap adalah menyingkirkan Ki Srengganan apabila urusannya dengan Patraman telah selesai. Ia yakin akan mendapatkan dukungan dari Pang Randu. Demikianlah hingga kemudian Ki Cendhala Geni terlibat pertarungan di rawa-rawa yang letaknya hanya selemparan anak panah dari lautan. (bersambung)

Sumber: