Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (6)

Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (6)

Sementara itu di tempat yang tidak jauh dari dua lingkaran pertarungan yang berlangsung sengit, dari tempat yang lain, Ki Cendhala Geni melirik sekilas ke Laksa Jaya. Dengan penuh keheranan ia berpikir betapa Ken Banawa bisa mengetahui posisi mereka. Namun perasaan itu berakhir karena Ken Banawa menerjang dengan bentakan nyaring, menyusul kemudian sabetan pedang yang terlihat seperti cahaya putih yang hendak menelan tubuh Ki Cendhala Geni. Tak mau dirinya menjadi sasaran empuk Ken Banawa, maka ia membalas serangan dengan kapak bergagang panjang miliknya. Kedua orang ini segera terlibat dalam saling serang dengan dahsyat dan cepat. Mereka bertarung dalam jarak dekat dan saling memburu ketika salah satu di antara mereka melompat ke belakang atau ke samping. Bagi Ken Banawa, pertarungan ini adalah kesempatan terakhir yang ia miliki. Seperti itulah ia memandang satu peperangan. Ia tidak mempunyai pilihan selain memberikan hadiah terbaik selama pengabdiannya. Kepercayaan penuh yang ia dapat sejak padamnya pemberontakan Ranggalawe membuatnya semakin yakin pada nilai kebenaran yang dianut selama ini. Setia mengawal kerajaan dan memberikan rasa aman pada rakyat yang diayomi. Kesetiaan dan keteguhan hatinya membela kerajaan inilah yang menjadikan Ken Banawa sangat dihormati kawan dan lawan. Mpu Nambi pun memberinya kewenangan penuh dalam memutuskan setiap tindakan, meski begitu Ken Banawa tetap menempatkan  Mpu Sawajnyana sebagai atasan yang wajib dihormati. Di sisi lain, perkelahian ini adalah pertarungan yang sangat menentukan  bagi seorang Ki Cendhala Geni. Kehadiran Ken Banawa menjadi sebab peluang baginya untuk kembali ke Kahuripan sebagai pejabat tinggi kian menipis. Ia tahu betul akibatnya. “Keledai dungu! Pragola yang seharusnya datang ke tempat ini, bukan anjing tua peliharaan Majapahit ini! Mustahil Pang Randu menyimpang dari perjanjian. Tetapi yang pasti adalah tidak mungkin bagiku untuk menduduki kembali kepatihan Kahuripan, aku harus mengulang segalanya dari awal. Tetapi, selamat adalah langkah awal untuk memulainya lagi.” Ia menggeram murka. Orang bertubuh besar dan juga digelari sebagai Banaspati ini marah pada keadaan yang dianggap telah membodohinya!

Ki Cendhala Geni telah mengetahui ketangguhan Bondan, mereka pernah berkelahi sebelumnya, maka sedikit banyak mempengaruhi perhitungannya untuk lolos dari orang-orang yang akan menangkapnya. Oleh karena itu, Ki Cendhala Geni bertarung dengan sepenuh tenaga. Kapak panjangnya tiada henti mengeluarkan suara mendengung yang menggetarkan dada setiap orang yang mendengar. Getaran tenaga yang keluar dari kapaknya terasa menusuk bagian dalam telinga. Sangat mengerikan! Percik-percik api kerap terlihat ketika terjadi benturan antara kapaknya dengan pedang Ken Banawa. Nyaris tiada celah dapat dilihat dari pertarungan kedua orang yang kenyang dalam pertarungan ini. Kematangan bertarung dan keragaman unsur gerak yang diperoleh dari sekian banyak pertarungan, lalu dikembangkan oleh keduanya  telah menjadikan mereka seperti yang tidak terkalahkan. Ki Cendhala Geni telah menempuh jalan panjang untuk menuntaskan hasratnya yang besar. Ia ingin ambil bagian dalam menumbangkan Majapahit yang didirikan oleh Ra Dyan Wijaya.  Seperti pendapat orang lain, ia beranggapan bahwa runtuhnya tahta Prabu Jayakatwang adalah buah pengkhianatan pendiri Majapahit itu. Kekuatan yang terbit dari hatinya kian membesar. Ia bertekad kuat lolos dari bidikan Ken Banawa. Ia tak akan segan membunuh Ken Banawa meski itu sebenarnya dapat membawa akibat buruk bagi cita-citanya. Ki Cendhala Geni memiringkan tubuh lalu  berputar sangat cepat untuk menghantamkan kapaknya ke tubuh dan kepala Ken Banawa. Perputaran ini sebenarnya menjadi celah bagi Ken Banawa untuk menusukkan pedangnya,  namun, ternyata, kapak Ki Cendhala Geni telah berpindah tangan. Ketika tangan kanannya yang memegang kapak ini menghantam pedang musuhnya, dalam keadaan tubuh masih berputar, Ki Cendhala Geni segera memindah senjata ke tangan kirinya. Secara beruntun dan semakin cepat ia bergerak sambil memutar senjata, maka tidak ada pilihan bagi Ken Banawa untuk membendung serangan kapak ini selain bergeser jauh.. Ken Banawa meraung lalu mengubah tata geraknya menjadi lebih berdaya guna.  Ia membangun cara bertahan yang jitu. Kini ia membiarkan pedangnya terbentur, kemudian dengan luwes ia menggerakkan pedang  menyusur cepat, menuju pergelangan tangan Ki Cendhala Geni. Terkejut dengan perubahan mendadak itu, Ki Cendhala Geni meloncat surut, tubuhnya melayang jungkir balik agar nadinya dapat terhindar dari ujung pedang Ken Banawa. Walau ia dapat mengelak serangan, tetapi ujung pedang sempat menggores lengan dan menimbulkan luka panjang namun tak begitu dalam. Ki Cendhala Geni tidak menghentikan serangan walaupun lengan kanannya tergores pedang. Ketika ujung jari kakinya menyentuh tanah, ia menerjang maju lebih hebat. Dalam perkiraannya, Ki Cendhala Geni paham jika ia seharusnya menitikberatkan pada pertahanan, tetapi serangan yang kuat adalah pertahanan terbaik, pikirnya. Ia menyabetkan kapaknya mengarah bagian pinggang Ken Banawa,  kemudian memutar kapaknya dengan tangan  kanan, namun segera berpindah ke tangan kiri mengikuti ayunan bagian terberat dari kapaknya, lantas mendadak memotong silang dari pangkal paha ke arah kepala. Ken Banawa melontarkan tubuh ke bagian samping searah dengan garis silang senjata lawannya. Susunan gerak Ki Cendhala Geni senantiasa melahirkan kejutan-kejutan berbahaya. Ini menjadikan Ken Banawa terkesima betapa lawannya mempunyai kekuatan yang sama antara tangan kiri dan kanan. Ken Banawa tampak lebih berhati-hati dan menjaga jarak dari Ki Cendhala Geni. Melihat perubahan sikap Ken Banawa, Ki Cendhala Geni merasa mendapat kesempatan baik karena pertarungan dalam jarak yang sedikit lebih jauh akan menguntungkan dirinya. Gagang panjang kapak akan memberinya keuntungan dengan menutup tendangan Ken Banawa dari arah tidak terduga. Kedudukan mulai tidak seimbang. Arus serangan Ki Cendhala Geni, yang dipenuhi corak baru yang berkembang dari tatanan dasar olah geraknya, telah menjadi tekanan berat.  Ken Banawa lambat laun terdesak karena perubahan gerak lawannya. Ancaman datang membayang seperti sambaran halilintar yang bersembunyi di balik awan. Meski begitu ia masih dapat memusatkan perhatian untuk mencari titik lemah Ki Cendhala Geni. Pedang tipis Ken Banawa masih berputar, ia memantulkan bagian datar, lalu memanfaatkan daya pantul seraya menempatkan sisi tajam pada bagian pinggang musuhnya. Senapati ini telah menemukan jalan keluar. Perubahan lain adalah setiap kali ia menangkis serangan kapak, Ken Banawa justru merapatkan jarak dengan menempatkan senjatanya sejajar dengan garis lengan. Itu berarti ia semakin dekat dengan Ki Cendhala Geni. Sedangkan di bagian lain, Gumilang berloncatan lincah dengan kecepatan seekor rajawali di tengah kepungan Laksa Jaya dan Patraman. Pertempuran ketiga lelaki muda ini sangat mendebarkan. Mereka seperti mempunyai tingkat kepandaian yang sama, selain itu, mereka juga berkedudukan yang tidak terpaut jauh dalam lingkungan prajurit Majapahit.  Ketangkasan Gumilang melepaskan panah sambil berloncatan  menghindari serangan menjadi kemampuan langka. Belasan anak panah yang dilepaskannya dapat mengimbangi Laksa Jaya serta Patraman. Sesekali busur Gumilang berputar-putar menyambar Laksa Jaya. Ketika anak panahnya telah habis,  sebatang pedang telah erat dalam genggam tangan kanannya. Kemudian Gumilang meloncat ke atas dan mencoba melepaskan kedua tendangan pada dua sisi yang berbeda. Kedua lawannya mampu menangkis tendangan itu lalu tubuh Gumilang berjungkir-balik di udara, bagaikan seekor rajawali, kini tubuhnya meluncur menyerang Patraman dengan pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kiri memutar gendewa menghantam Laksa Jaya. Busur Gumilang tertahan pedang Laksa Jaya dan pedangnya juga gagal menemui sasaran karena tertangkis oleh senjata Patraman. Kedua orang ini merasakan sedikit jerih pada lengannya. Pedang dan gendewa yang dihantamkan oleh Gumilang telah teraliri tenaga inti, ditambah bobot tubuhnya saat meluncur ke bawah menimbulkan perih pada kedua lengan musuhnya. Laksa Jaya dengan sedikit nekat,  ia mengayun pedang dengan meng-abaikan kesemutan yang menjalar sepanjang lengannya, menerjang Gumilang yang baru menginjakkan kaki di tanah. Ayunan pedang Laksa Jaya berhasil ditangkis Gumilang, lalu dengan cepat Gumilang melepaskan tendangan memutar dan mengenai bahu kiri Laksa Jaya. Patraman menyaksikan itu dengan decak kagum. Betapa seseorang yang menurut perkiraannya belum mampu memulihkan keseimbangan dengan baik ternyata mampu  melakukan tendangan memutar secara hebat. Laksa Jaya terpental, roboh bergulingan dan Gumilang merangsek dengan garang. Suara mendengung yang dihasilkan gendewa itu menimbulkan rasa jerih pada hati Laksa Jaya. Kini ia terdesak, melihat hal itu Patraman segera melompat ke arah Gumilang Prakoso sembari memutar pedang. Merasakan adanya angin serangan dari arah punggungnya, Gumilang segera memutar tubuhnya dan menyambut serangan Patraman dengan pedangnya yang berwarna merah dan berukir naga pada gagangnya. Bondan melepaskan diri dari ikatan Ubandhana ketika ia melihat sejumlah orang bergerak mendekati Arum Sari. Bondan cepat merangsek maju sambil melakukan tendangan memutar untuk memecah barisan anak buah Laksa Jaya yang bergerak menuju Arum Sari. Gerakan yang memukau seperti ujung selendang yang berayun-ayun, tangan Bondan mengepak, meliuk-liuk menghempaskan daun kering, ia berkelahi namun lebih terlihat sebagai seorang penari istana raja. Tetapi pemandangan sungguh luar biasa! Kecepatan keris lebih terlihat seperti gulungan sinar dengan warna hijau yang berkilauan. Tendangan memutar yang datang beruntun serta sabetan keris Bondan telah mengecilkan nyali kawanan Laksa Jaya. Mereka menghentikan gerakan lalu bersiap menyambut badai serangan Bondan dari arah kiri. Rasa sangsi melanda hati mereka yang sebelumnya telah membayangkan upah besar. Rumah dan tanah harus terbang dari benak mereka  apabila gagal membawa Arum Sari menuju kapal di pesisir selatan rawa-rawa. Bayangan upah besar yang akan diterima segera musnah dalam benak mereka. Dari samping kanan kawanan ini, belasan prajurit Majapahit yang awalnya berpencar, kini telah bersatu dan segera menyusun gelar kecil untuk pertempuran ini. Perintah telah bergema keluar dari bibir Ra Caksana. Serangan demi serangan layaknya di medan pertempuran digencarkan prajurit yang memiliki kesetiaan tanpa batas kepada kerajaan. Dengan cepat mereka mendesak pengikut Laksa Jaya dan mulai menguasai keadaan. Anak buah Laksa Jaya pun tertahan dan kini mereka harus mampu menyelamatkan diri masing-masing. Kehebatan tempur prajurit ditambah kekuatan Bondan menjadikan kawanan Laksa Jaya mulai terpojok. Bentak keras Ubandhana menjadi awal terjangan dalam menghadang Bondan. Meskipun Ubandhana menyimpan rasa kagum pada Bondan yang cepat memulihkan dirinya, ia harus memperjuangkan hasratnya. Merebut Arum Sari lalu pergi bersama anak gadis pemimpin kademangan itu. Di tengah kemelut perkelahian, di tengah rasa terkejutnya, Ubandhana belum sepenuhnya percaya jika Bondan sembuh lebih cepat dari perkiraannya. Bahkan ia menduga Bondan telah mati! Ujung tombak segera menuju dada Bondan dan siap menyayatnya seperti singa merobek kulit mangsanya. Satu tusukan mennggapai dada Bondan. Suara mendesis keluar ketika tombak Ubandhana melayang di udara. (bersambung)

Sumber: