Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (2)

Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (2)

“Ini perintah dari prajurit, Ki Sanak. Kemarin malam beberapa prajurit datang kemari dan memerintahkan hal itu pada kami,” jawab nelayan itu dengan tatap mata biasa saja. Kemudian ia melanjutkan ,”Apakah Ki Sanak membutuhkan sesuatu? Saya mungkin dapat melakukan satu dua pekerjaan untuk Ki Sanak karena akan ada kapal milik saudagar untuk mengangkut ikan-ikan ini.” Nelayan itu berjalan menghampiri tumpukan keranjang yang berisi ikan tangkapan. Ubandhana menggelengkan kepala, dengan sedikit senyum mengembang, ia berkata, ”Saya akan pergi ke Kediri, Ki Sanak. Akan tetapi biarlah sementara waktu saya menunggu seorang kawan yang akan datang ke pantai ini.” Ia meminta diri kemudian memutar tubuhnya meninggalkan nelayan itu, ia bergumam dalam hatinya, ”Aneh! Keadaan ini begitu sepi. Tidak seperti biasanya yang begitu ramai hilir mudik perahu-perahu.” Mata tajam dan pendengaran Ubandhana segera menangkap pergerakan dari balik rerimbunan semak belukar yang ada di sekitar rawa-rawa. Ia sudah  merasa diawasi sejak tiba namun Ubanhana tidak mengacuhkannya. Namun naluri sebagai seorang berilmu tinggi tidak mengisyaratkan sebuah bahaya, oleh karena itu dirinya segera menghampiri dan memeriksa keadaan Arum Sari. “Biadab! Untuk apa engkau menculikku? Katakan!” Arum Sari berteriak ketika melihat Ubandhana berjalan ke arahnya. Namun sayang suaranya tak terdengar oleh nelayan-nelayan di tepi pantai selain jarak yang lumayan jauh juga karena debur ombak yang tiada henti bercakap-cakap dengan para nelayan. “Sadarlah putri cantik,” berderai tawa Ubandhana kemudian, ”Akulah pria yang selama ini engkau tunggu dan harapkan.” tawanya semakin keras sambil menjulurkan jari menyentuh dagu Arum Sari. Arum Sari mengumpat kasar sambil meludah ke arah Ubandhana namun tak mampu mencapai tubuh Ubandhana. Anak perempuan Ki Demang Wringin Anom ini tidak dapat berpikir untuk mencari alasn penyebab dirinya diculik. Selain tidak mengenal orang yang berada di depannya saat itu, ia juga tidak merasa mempunyai musuh atau seseorang yang membencinya.

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
Rasa takut yang mendera dirinya semenjak diculik dari Wringin Anom kini makin menguasai hatinya. Setiap anggota keluarganya di Wringin Anom terbayang di pelupuk matanya. Kecemasan membayang dalam hati Arum Sari karena kehormatannya sebagai seorang wanita berada dalam bahaya. Masa depannya akan musnah tertiup angin. Ubandhana bergeser mendekat, lalu bertanya, “Apakah engkau menginginkan seperti ini?” Ubandhana melakukan gerakan seolah-olah akan membuka bajunya. “Pergi! Pergilah dari hadapanku!” teriak Arum Sari kuat-kuat. Ia mencoba menggerakkan tangannya yang terbelenggu. Sia-sia! Belenggu itu terbuat dari akar pohon kelapa dan terlalu kuat baginya yang tidak pernah belajar olah kanuragan. “Tenang. Sabar. Semuanya akan tiba pada saat yang tepat dan itu persis seperti yang kau inginkan,” kata Ubandhana lalu terbahak sambil memastikan tangan dan kaki Arum Sari masih terikat erat. “Oh, begitu gelap! Aku tidak mengenal tempat ini,” desis Arum Sari tanpa suara. “Hanya seorang lelaki berwatak aneh. Tentu saja, ya, tentu saja aku dalam cengkeram seorang penculik dan aku tidak tahu yang akan terjadi!” “Bagaimana dengan ayah ibuku? Lalu bagaimana bila mereka berpikir jika aku masih seperti dulu sementara setiap waktu lelaki itu dapat merenggut kesucianku? Apakah aku dapat meyakinkan mereka?” Pertanyaan tiba-tiba muncul meremas denyut nadi Arum Sari. Ia memutar penglihatan, melirik ke atas lalu merapatkan kedua lututnya ke bagian perut. Sejenak ia mengamati pakaiannya yang masih utuh, sekilas melintas sebuah kesimpulan melewati jalan pikirannya, lalu terucap sangat pelan, “Lelaki itu tidak melakukan sesuatu yang buruk padaku. Tetapi apakah semestinya aku harus berterima kasih padanya?” Arum Sari memukul-mukul  pahanya lalu berkata pada dirinya sendiri, “Bodoh! Memisahkanku dan membawaku pergi jauh dari rumah adalah dosa yang tidak dapat diampuni, lalu aku berpikir untuk berbaik hati padanya? Gila! Ini benar-benar pikiran gila.”
Baca juga :
  1. Bab 5 : Tiga Orang
  2. Bab 6 : Wringin Anom
  3. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
  4. Bab 8 : Siasat Gajah Mada
“Hei bukankah engkau yang bernama Arum Sari? Aakah engkau telah menjadi gila dengan bicara sendiri?” tanya Ubandhana dengan dagu terangkat. “Ya. Aku menjadi gila karena sempat mengira engkau adalah calon suamiku!” sahut Arum Sari sekenanya. Ia tertawa sangat keras. Arum Sari ingin menutupi rasa takutnya dan mengalihkan perhatian sejenak untuk menenangkan hatinya. Ubandhana tidak dapat menahan rasa geli, ia tertawa, lantas berkata, “Sebenarnya engkau tidak pantas menjadi pendampingku, gadis muda. Lihatlah dirimu sekarang! “Siapa lelaki yang bersedia menjadikanmu seorang istri? Apa yang berada dalam pikiran mereka ketika mereka tahu jika engkau telah melewatkan beberapa malam denganku? Tentu saja kamu akan bersumpah seperti perempuan milik Ramayana. Engkau memilih membakar diri dengan api suci. Baiklah, sekarang lihat sekeliling kita. “Apa yang didapat oleh dua mata indah itu? Perahu, nelayan, pantai dan malam.” Ubandhana bangkit lalu melangkah ke arah Arum Sari. Ia mendekatkan wajahnya sangat dekat, bahkan ujung hidung mereka nyaris tidak mempunyai jarak. “Engkau masih harum dengan kulit yang kenyal. Aku lelaki dan ingin melihat gumpalan lunak di balik kain ini,” kata Ubandhana seraya menyentuhkan jarinya menyusur dagu Arum Sari, menurun lalu berhenti tepat di tengah bagian dada anak perempuan pemimpin Wringin Anom. Arum Sari membuang muka, ia tidak tahan dengan napas Ubandhana dan rasa mual menjalar bagian perutnya. Debar jantung Arum Sari semakin keras memukul rongga dadanya, ketika ia membuka mulut akan berteriak, Ubandhana dengan cepat menyentuh urat suaranya. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Arum Sari! “Apakah ini? Mengapa suaraku tidak terdengar?” Pilu hati gadis kesayangan orang-orang Wringin Anom meratap. Ia menyeru agar sebuah pertolongan datang padanya ketika telunjuk Ubandhana sedikit menyibak pakaian lalu menyentuh kulitnya. Kedua mata Arum Sari erat terpejam dan ia tidak sanggup menahan tangisnya lagi. Arum Sari mengais asa dan belas kasih para dewa melalui jerit tangis dalam kebisuan. Putus asa menempati satu ruang hati Arum Sari. Ia berkata, “Kesucian segera berlalu darimu. Waktu tidak akan pernah menoleh padamu dan memberi kesempatan untuk mengulang. “Kamu yang telah melindungi kehormatan itu sepanjang usiamu, dalam berbagai keadaan. “Kamu yang menyimpannya cukup dalam dan menitipkannya pada laut harapan. “Merana tanpa pembelaan. Kamu adalah gadis muda yang segera mati. “Cinta yang mendekapmu dan kau yakini ada, itu harus kau lepaskan. Yang kau takutkan akan terjadi tidak lama lagi. Masa depanmu akan dipenuhi dengan ketidakpastian. Orang akan bertanya tentang penjamahan yang terjadi di celah sempit, yang diapit tebing dan sangat jauh dari sentuhan dan penglihatan. “Kepercayaan akan terlihat seperti kabut tipis yang menutup puncak Prawita. Ia segera menyingkir, berlalu, kemudian kembali untuk membangkitkan pertanyaan berulang. Ini adalah awal penderitaan baru!” “Sangat halus,” desah Ubandhana tepat di telinga Arum Sari. Bergolak hasrat Ubandhana seperti gelombang air pasang. Darahnya mengalir cepat, napasnya berpacu, jemari dan ototnya meregang kuat.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
  8. Bab 8 : Siasat Gajah Mada
  9. Bab 9 : Rawa - Rawa
Tiba-tiba ia meloncat mundur. Keinginannya telah mempunyai wujud dan tidak lagi dapat disamarkan, namun suasana cukup gelap saat ia membenahi keadaannya. Arum Sari tidak dapat melihatnya karena ia berpaling dengan mata terpejam ketika putus asa datang menyapa hatinya. “Aku tidak ingin mati karena lendir yang tumpah pada perempuan,” tajam ia mendesis. Ubandhana mengerti akibat yang dapat terjadi padanya jika Ki Cendhala Geni mengetahui keadaan Arum Sari. Meski ia dapat mengabaikan rasa gentar, tetapi Ubandhana menyimpan harapan lebih tinggi dari sekadar menjadi pembantu setia patih Kahuripan. Ubandhana beralih, ia melangkah lebih dekat ke arah bibir pantai. Melewatkan satu malam atau separuh malam bersama seorang gadis yang nyaris  dipaksanya untuk meletupkan urat menimbulkan kepayahan baginya. Tetapi ia harus mampu menjaga diri baik-baik demi cita-citanya yang besar. Maka Ubandhana mengayun kaki kembali menghampiri Arum Sari. Kini ia tidak lagi duduk lebih dekat. Ubandhana menjaga jarak sebatans indra penciumannya tidak dapat mnengendus wangi tubuh gadis itu. Dengan tidak melepaskan kewaspadaan pada sekelompok orang yang berada di balik semak, Ubandhana memejamkan mata sambil berpikir keras untuk meloloskan diri. Ia mencoba berpikir ke arah itu agar dapat membawa Arum Sari jika penyergapan seperti di Sumur Welut terulang kembali. Ia merasakan desir yang aneh ketika menatap mata Arum Sari. Ubandhana memasang tekad tidak akan menyerahkan Arum Sari kepada Patraman.(bersambung)

Sumber: