Langit Hitam Majapahit – Pemberontakan Senyap (6-habis)

Langit Hitam Majapahit – Pemberontakan Senyap (6-habis)

Laksa Jaya cepat menguasai diri saat berhadapan dengan kenyataan yang tidak ia perkirakan sebelumnya. “Perubahan ini akan menjadi kebaikan bagiku dan Patraman.” Ia tersenyum sendiri dan mempercepat langkahnya mengikuti lelaki gemuk yang berada di depannya. Setelah melewati beberapa penjagaan dan menjawab satu dua pertanyaan, Laksa Jaya berdiri tegak berhadapan dengan seorang lelaki yang masih terlihat segar meski usianya lebih dari setengah abad. “Ki Cendhala Geni, kiranya sangat tersanjung dapat bertemu dengan Anda,” Laksa Jaya membungkukkan tubuh dengan tangan tertangkup ke arah Ki Cendhala Geni. “Siapakah engkau Ki Sanak? Seorang Majapahit datang kemari tentu ia telah memiliki puluhan nyawa. Dan pastinya engkau adalah orang hebat sehingga mampu menemukanku,” Ki Cendhala Geni seolah memuji Laksa Jaya. Dalam hatinya, ia menduga bahwa orang yang berada di depannya ini tak ubahnya seorang pecundang sebagaimana pejabat lainnya di Kahuripan. “Ki, bukanlah karena kehebatanku tetapi nama Ki Cendhala Geni mampu menembus sekat-sekat yang ada,” Laksa Jaya berkata sambil tersenyum. “Baiklah. Apa keperluanmu kemari? Aku seorang patih di kota ini!” “Saya ke mari untuk membantu Anda menuntaskan perhitungan dengan Ken Banawa.” “Jangan menjadi gila dengan ucapan semacam itu! Kau seorang lurah prajurit yang tidak mengerti tata keprajuritan. Sekali lagi aku katakan padamu, aku seorang patih di kota ini dan nyawamu saat ini ada berada di ujung jariku,” Ki Cendhala Geni membentak. Ia  merasa diremehkan oleh Laksa Jaya ketika kawan Patraman ini menyebut nama Ken Banawa. “Tidak, Tuan Patih,” sesal Laksa Jaya yang segera menyadari kesalahannya. Lalu, ”Ini sama sekali bukan kegilaan. Saya datang kemari dengan kerja sama yang saling menguntungkan. Saya akan membawa Kademangan Wringin Anom untuk tunduk padamu.” “Kau benar-benar tidak tahu diri, anak muda!” kata Ki Cendhala Geni lalu tawanya berderai. Kemudian, ”Engkau bukanlah seseorang yang mempunyai arti di wilayah itu. Kemudian kau datang dan bicara padaku seolah Wringin Anom adalah tanah yang mudah untuk ditundukkan.” Sorot pandang Ki Cendhala Geni tepat menusuk jantung Laksa Jaya. Ki Cendhala Geni telah menerima berita yang tidak lagi seperti angin semilir yang membawa aroma tidak nyaman. Ia telah bertemu dengan pengikut Pang Randu. Ki Sura Tenggulun. Ia melanjutkan, “Tetapi aku akan menghargai niat yang mungkin kau anggap baik bagiku. Meskipun aku mengenal kademangan itu sangat baik tetapi baiklah, jelaskan!” “Saya membawa sebuah rencana besar dengan pengorbanan yang sedikit. Satu hasil yang lebih besar akan berada di tangan Tuan.” Laksa Jaya berhenti mengatur napas. Lanjutnya kemudian, “Ki Demang Wringin Anom mempunyai seorang anak gadis yang bernama Arum Sari. Perempuan inI akan menjadi jalan bagi Kahuripan untuk menempatkan diri secara baik.”
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Menyadari bahwa orang yang berdiri di hadapannya mempunyai perangai yang sulit ditebak, Laksa Jaya bergegas menambahkan, “Tentu Tuan sebagai patih telah memiliki perhitungan cermat tentang letak kademangan itu. Tuan bahkan telah mengetahui kekuatan Majapahit yang tersimpan di balik gerbang kademangan. Maka saya beritahu Anda tentang kelemahan terbesar kademangan itu. “Anak gadis Ki Demang adalah satu-satunya senjata yang dapat melumpuhkan seluruh daya yang dimiliki Wringin Anom.” Laksa Jaya beringsut maju setapak. Ia berkata-kata dengan lutut masih menyentuh tanah. “Aku masih mendengarkanmu, Laksa Jaya.” “Ia adalah anak perempuan Ki Demang Wringin Anom. Dan prajurit yang di sana telah berada dalam satu perintah.” “Siapa lurah di sana?” “Patraman,” tegas Laksa Jaya menjawab. Ki Cendhala Geni menganggukkan kepala, pikirnya, tentu tidak semudah itu kau dapat menggunakan tenagaku. Harga adalah sebuah kesepakatan yang harus engkau lewati. Orang yang mengangkat dirinya sebagai Patih Kahuripan ini segera berhitung. Ia tidak ingin mengorbankan kedudukannya dengan menjadi pelaku utama penculikan. Ia telah menduga arah pembicaraan Laksa Jaya. Dua malam sebelum terjadi pengambilalihan kekuasaan di Kahuripan, Ki Cendhala Geni telah didatangi oleh orang yang juga menemui Patraman. Ia telah memutuskan untuk turut serta dalam gerakan yang dipimpin oleh Ki Sentot Tohjaya, namun patih ini lebih memilih untuk diam. Ia masih menunggu perkembangan setelah memperoleh kepastian sikap Ki Srengganan. Pada saat matahari berada di atas pendapa kepatihan, Laksa Jaya tengah berharap dalam kecemasan. Ia telah mendengar banyak hal mengenai Ki Cendhala Geni. Salah satu kekhawatirannya adalah ia tidak dapat keluar dari kepatihan dalam keadaan segar bugar. Patih Kahuripan lekat memandang utusan Patraman sambil menimbang rencana yang terlintas dalam benaknya. “Engkau benar-benar dungu! Maka dengan begitu Mpu Nambi akan datang lalu melibas kita semua. Terutama setelah aku terbunuh maka engkau akan mendapat kepangkatan lebih tinggi,” derai tawa Ki Cendhala Geni membahana memenuhi ruangan yang luas itu. Ia memancing jawaban Laksa Jaya. “Tidak! Majapahit tidak akan berani melakukannya. Sri Jayanegara terlalu lemah untuk pekerjaan berat seperti itu. Sementara saya telah mendapatkan dukungan dari sejumlah orang di kotaraja untuk mengalihkan perhatian mereka,“ Laksa Jaya melanjutkan, ”perampokan yang dilakukan sejumlah gerombolan di masa lalu itu berbeda dengan apa yang akan kita lakukan kali ini.” “Perampokan? Gerombolan?” Patih Kahuripan ini  kemudian tertawa keras. Ia merasa kalimat terakhir dari Laksa Jaya itu sengaja ditujukan pada dirinya, namun ia tidak merasa sakit hati. Ia beranjak lalu melangkah turun, mendekati utusan Patraman yang masih menundukkan wajahnya. Berkata Ki Cendhala Geni dengan sungguh-sungguh, “Aku adalah seorang patih, maka perampokan bukan lagi pekerjaan para penjahat. Pekerjaan itu telah menjadi bagian kegiatan kami. Apabila dalam hatimu bertanya bagaimana kami dapat menguasai istana tanpa peperangan, maka hanya ada satu kata yang menjadi jawaban. Kerja sama. “Baiklah, kini aku siap dengan mendengar penawaranmu.” “Ki Cendhala Geni, saya mempunyai kedudukan lumayan di dalam pasukan berkuda yang sebanding dengan kekuatan Ki Nagapati. Namun sebelum seluruh isi kademangan berada di bawah tapak kaki Tuan, saya memohon satu kerja sama. “Arum Sari adalah sebuah jawaban untuk menempatkan Ki Demang berada di sudut yang Tuan Patih kehendaki. Pertukaran sudah pasti akan disetujui oleh Ki Demang apabila ia menerima Arum Sari dari tangan Patraman. Saya mempunyai keyakinan kuat untuk hal itu.” “Di mana kalian akan mengambil gadis itu?” “Di sebuah rawa, sebelah utara hutan bambu di Ujung Galuh. Kami akan menunggu disana.” Laksa Jaya lantas memberi paparan singkat tentang kemungkinan pengejaran yang akan dilakukan Ken Banawa.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
“Selain itu,” lanjut Laksa Jaya, ”Mpu Nambi tidak akan gegabah mengirimkan puluhan pasukan berkuda jika ia tahu Arum Sari ada di tanganmu. Petinggi di kotaraja dapat mengambil alih pengejaran ini dengan meminta Ki Patih Majapahit agar menugaskan Ki Banawa, maka dengan begitu beberapa orang yang engkau pilih dapat menuntaskan Ken Banawa.” “Anak ini berkata benar. Memang seperti itulah rencana yang akan dijalankan,” Ki Cendhala Geni mendesis sambil menatap tajam Laksa Jaya. “Ubandhana,” ucapnya ketika menoleh Ubandhana yang berdiri di sebelahnya. ”Apa engkau bisa lakukan itu untukku?” tanya Ki Cendhala Geni dengan sedikit dagu terangkat. “Serahkan padaku, Ki Patih.” “Baiklah,” Ki Cendhala Geni kemudian meminta kedua lelaki muda itu untuk lebih mendekat. Laksa Jaya lantas membeberkan rencana selanjutnya termasuk jalur yang harus dilewati oleh Ubandhana untuk sampai di sebuah rawa yang berada di utara Ujung Galuh. (bersambung)        

Sumber: