Langit Hitam Majapahit – Pemberontakan Senyap (5)

Langit Hitam Majapahit – Pemberontakan Senyap (5)

Pada saat hari menjelang siang, Bhre Kahuripan yang disertai belasan pengawal berkuda berangkat menuju kotaraja. Sebelum itu, ia mengumpulkan para senapati dan memberikan pesan yang harus mereka patuhi. Bergantian dengan para senapati, ia juga mengadakan pembicaraan dengan sejumlah tumenggung yang akan menggantikannya melakukan beberapa tugas. Setelah ia merasa cukup untuk peralihan sementara, maka ia bergegas menyiapkan diri berangkat ke kotaraja. Pada hari ketiga sebelum bintang mulai meredupkan cahayanya, satu kelompok besar berjalan kaki beriringan menuju Kahuripan. Mereka berjalan dengan senjata telanjang dan nyaris tidak terdengar suara dari kelompok besar itu. Di sebuah simpang tiga, mereka membagi diri dan memasuki Kahuripan dari tiga arah. Ki Srengganan telah mempersiapkan jalan masuk bagi mereka, dan ketika fajar mulai menyingsing keadaan Kahuripan telah dikuasai Ki Srengganan dan Ki Cendhala Geni tanpa pertumpahan darah! Para senapati telah memberikan kesetiaan pada Ki Srengganan. Mereka membuat rencana perebutan itu menjadi mudah. Bahkan tidak terjadi keributan atau salah paham tatkala orang-orang kepercayaan Ki Cendhala Geni mengambil alih gudang senjata. Meskipun ada keberatan di antara bawahan Ki Srengganan, tetapi mereka menyatakan satu perintah di bawah Ki Srengganan. Oleh karena itu sulit dipercaya apabila semua senapati dan lurah prajurit begitu mudah menyerahkan janji setia pada Ki Srengganan.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Di luar sepengetahuan mereka, seorang perwira berpangkat rendah dapat pergi meninggalkan Kahuripan yang dijaga sangat rapat. Perwira ini adalah perwira muda yang berbicara langsung dengan Bhre Kahuripan beberapa waktu yang lalu. Ia memanfaatkan suasana lengang ketika terjadi pergantian penjaga dan peronda, lalu menghilang dalam gelap malam kemudian keluar dari Kahuripan. Ia memang tidak tinggal di barak prajurit karena ia hanya berkedudukan sebagai senapati cadangan dalam susunan prajurit di Kahuripan. Waktu itu setelah Kahuripan dikuasai kawanan Ki Srengganan dan Ki Cendhala Geni, di setiap jalan-jalan besar selalu ada kelompok prajurit yang bercampur dengan orang-orang Ki Cendhala Geni yang berjaga-jaga. Sementara jalanan setapak yang bercabang-cabang selalu saja ada kelompok peronda yang mengawasi, maka dengan demikian nyaris tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk keluar atau masuk kota Kahuripan. Senapati ini berjalan kaki menyusur jalan menuju kotaraja menyusul rombongan Bhre Kahuripan yang telah berangkat sehari sebelumnya. Demikianlah keadaan Kahuripan ketika kuda Laksa Jaya menapak masuk gerbang kota. Seorang prajurit dengan tombak yang telah merunduk bergegas menghampirinya. “Aku melihatmu dalam pakaian seorang prajurit, Ki Sanak. Sebutkan nama dan asalmu!” perintah prajurit itu. Laksa Jaya mengernyitkan keningnya bertanya-tanya dalam hati. “Menurutku telah jelas, Ki Sanak. Aku seorang prajurit Majapahit dan kau dapat mengetahui itu dari  tanda tempatku berasal,” jawab Laksa Jaya sambil menunjukkan kain yang terjahit di depan pakaian yang ia kenakan. “Tidak. Aku ingin mendengarmu sendiri berkata darimana kau berasal!” sahut prajurit itu sedikit melotot. “Sombong!” Hampir saja tangan kanan Laksa Jaya yang mengembang itu menampar muka prajurit yang berdiri di depannya. Namun ia masih dapat menguasai diri dengan melihat kepentingan yang lebih besar daripada sekedar menuruti keinginan hatinya. “Namaku Laksa Jaya. Berasal dari barak prajurit di Wringin Anom,” akhirnya suara Laksa Jaya keluar dengan getar penuh gejolak.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Prajurit itu berjalan memutari Laksa Jaya dengan mata melihat dari kepala hingga ujung kaki. Sekilas ia melihat kuda Laksa Jaya lalu berkata, ”Baiklah, aku akan melapor kepada pemimpinku. Sementara kau dapat menunggu di gardu jaga.” Ia berjalan meninggalkan Laksa Jaya yang masih berdiri tegak dan menahan rasa marah yang nyaris saja meledak. Sesaat kemudian Laksa Jaya mengikuti prajurit itu dan memasuki gardu jaga dengan perasaan yang belum mengendap. Nyaris seharian Laksa Jaya menunggu di gardu jaga, tetapi sepenuhnya ia dilayani dengan baik oleh prajurit-prajurit yang berada di sekitarnya. Selama waktu tunggu, ia merasakan ada yang perubahan besar yang terjadi di Kahuripan. Bahkan sempat melihat seorang pencuri yang pernah ditangkapnya berjalan beriringan dengan satu dua prajurit yang meronda. “Perubahan seperti apa yang terjadi di kota ini?” Ia bertanya-tanya dengan pandang mata yang ia lepaskan dari balik jendela. Laksa Jaya benar-benar digelayuti pertanyaan besar karena perubahan yang terjadi di balik dinding kota tidak seperti ketika menemui kerabatnya beberapa pekan silam. Ia melihat seorang prajurit dengan seenaknya berkata-kata tidak sepatutnya ketika serombongan orang melewati gardu jaga. Di tempat lain ia menyaksikan seseorang melakukan perampasan tetapi hanya dilihat saja oleh prajurit peronda. Kekacauan benar-benar terjadi di Kahuripan sejak ditinggalkan oleh Bhre Kahuripan. Sejenak kemudian ia mendengar langkah orang mendekatinya. Seorang lelaki bertubuh gemuk segera menyapa lalu berkata, ”Aku melihat tanda di pakaianmu, Ki Sanak. Sebentar lagi aku akan mengantarmu menemui Ki Cendhala Geni.” Laksa Jaya semakin terkejut mendengar nama Ki Cendhala Geni disebut oleh prajurit yang gemuk itu. Agaknya prajurit itu menyadari bahwa orang yang sedang duduk di depannya tidak mengerti perkembangan yang terjadi di dalam kota. “Apa yang menjadikanmu terkejut, Ki Sanak?” “Kau sebut nama Ki Cendhala Geni, bukankah ia orang yang masih dalam pencarian Ki Rangga Ken Banawa? Dan sepertinya ia menempati kedudukan tinggi di kota ini. Maaf, Ki Lurah. Saya berkata seperti itu karena mendengar yang Anda ucapkan. Menemui Ki Cendhala Geni.” “Tentu saja kau tidak mengerti,” kata orang gemuk itu lalu berjalan mendekati Laksa Jaya, ”telah terjadi perubahan dalam pemerintahan Kahuripan. Ki Cendhala Geni kini adalah seorang patih yang berdampingan dengan Ki Srengganan.” “Kapan itu terjadi? Aku tidak melihat bekas peperangan di dalam kota,” Laksa Jaya mengerutkan kening. “Tidak ada peperangan yang terjadi. Semua terjadi dalam waktu yang sangat singkat,” lelaki gemuk itu menarik napas panjang. Lantas ia melanjutkan, ”Sementara Bhre Kahuripan menuju kotaraja, Ki Srengganan dan Ki Cendhala Geni segera mengambil alih kedudukan.” “Dan kalian tidak melawan?”
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
  6. Bab 6 : Wringin Anom
  7. Bab 7 : Pemberontakan Senyap
“Untuk apa aku melawan mereka berdua? Apalagi kini aku adalah seorang lurah prajurit. Aku naik selapis setelah belasan tahun menjadi prajurit rendahan sepertimu!” kata lelaki gemuk itu dengan membusungkan dada. Ia meneruskan, ”Sudah sepantasnya orang itu diganti dengan mereka yang berwawasan luas. Bhre Kahuripan sama sekali tidak berbuat apapun untuk kota ini.” Lelaki gemuk itu mencibir pemimpin sebelumnya. Lalu ia mengajak Laksa Jaya untuk segera menemui Ki Cendhala Geni. (bersambung)        

Sumber: