Gadis Jogger
Oleh: Dahlan Iskan Trump menghidupkan lagi hukuman mati. Yang sebenarnya tidak pernah mati. Tapi sudah 15 tahun tidak pernah dilaksanakan. Hingga antrean untuk eksekusi kian panjang. Kini mencapai 61 orang. Mulai Desember depan 5 dari 61 orang itu akan dieksekusi. Dengan cara baru. Khusus untuk hukuman mati tingkat pemerintah federal (pusat). Di negara-negara bagian eksekusi hukuman mati jalan terus. Dengan caranya sendiri-sendiri. Paling banyak di Texas. Sampai akhir April 2019 lalu sudah 561 dieksekusi dilakukan di Texas. Sejak 1982. Masih ada 29 negara bagian lain yang menjalankan hukuman mati. Sisanya (20 negara bagian) sudah menghapuskannya. Seperti negara bagian Illinois. Hingga si pembunuh Zhang Yingying harus diadili di pengadilan federal (baca DI’s Way: Misteri Yingying). Tahun lalu Trump mengingatkan lagi. Perlunya pelaksanaan hukuman mati itu. Yakni ketika seorang bersenjata masuk ke Sinagoge di Pittsburgh. Ia menembaki orang Yahudi yang lagi sembahyang di hari Sabat. Jemaat kalang kabut --11 orang tewas. Trump sudah pro hukuman mati sejak lama. Yang paling diingat orang adalah peristiwa Gadis Jogger. Yakni gadis berumur 28 tahun. Kulit putih. Bintang universitas. Namanya: Patricia Ellen Meili. Dipanggil Trisha Meili. Asalnya: Pittsburgh, Pennsylvania. Malam itu Meili lagi joging. Jam 9 malam. Lokasi jogingnya istimewa. Lokasi impian semua orang: Central Park, Manhattan, New York. Central Park itu hutan beneran. Di sebelah hutan beton Manhattan. Central Park itu --yang lain bilang-- bukan hutan. Tapi taman. Yang mirip hutan. Yang jelas Central Park itu indah. Tertata rapi. Terkelola sempurna. Central Park itu sumber inspirasi --bagi penyair, penulis naskah drama, dan novelis. Juga sumber inspirasi bagi para preman remaja saat itu --untuk mencari mangsa. Saya pun selalu berusaha ke Central Park. Setiap kali ke New York. Trump Tower tidak jauh dari situ. Toko Apple terbesar ada di situ. Pun museum American Museum of Natural History, ada di sebelahnya. Yang jadi lokasi film Night in the Museum itu. Hari itu Minggu malam. Lebih sepi dari malam sebelumnya. Meili joging di Central Park. Menyusuri trek di dalam taman. Serombongan remaja memasuki Central Park. Dari selatan. Dari arah Harlem. Jumlahnya antara 30 sampai 40 orang. Antara umur 16 tahun sampai 23 tahun. Tidak ada apa-apa. Baru pukul 1.30 dini hari ada laporan masuk. Ditemukan seorang gadis dalam keadaan yang sangat parah. Tidak bernyawa. Ups, ternyata masih ada nafas. Pelan. Badannya penuh luka. Matanya tertutup darah beku. Gadis itu sudah tidak berbusana lagi. Sama sekali. Badannya penuh ceceran rumput, tanah dan darah beku. Diketahui pula: ada bekas pemerkosaan. Pun tengkorak belakangnya remuk. Gadis itu dibawa ke rumah sakit East Harlem Metropolitan. Dalam keadaan koma. Baru tiga hari kemudian diketahui bahwa dia adalah Tresha Meili. Yang hilang dari kos-kosannya. Yang tidak jauh dari Central Park itu. Begitu sulit polisi menemukan siapa yang menganiaya Meili. Tiap hari media di New York memberi tekanan pada polisi. Apalagi kemudian diketahui: Meili adalah alumnus universitas terkemuka di Boston: Wellesley College Boston. Yang dianggap setara dengan MIT. Dan Meili adalah lulusan terbaik keempat di sana. Selama 10 tahun terakhir. Meili mengambil bidang keuangan. Gelar masternya diperoleh dari Yale University. Juga salah satu yang terbaik di dunia. Lalu masih mencari gelar MBA lagi di Yale School of Management. Saat itu gelar MBA memang lagi banyak diburu para eksekutif. Meili adalah putri seorang eksekutif di perusahaan listrik di Pittsburgh. Ibunya aktivis pendidikan. Baru dua tahun Meili tinggal di New York. Sejak mendapat gelar MBA itu. Untuk bekerja di perusahaan keuangan terkemuka dunia: Solomon Brothers. Lengkaplah drama ini: gadis cantik, cerdas, diperkosa, dibunuh dan... tidak kunjung ditemukan siapa pelakunya. Sampai dua minggu kemudian Meili masih tetap koma. Lalu diadakanlah last rites. Sembahyang untuk mengantarkan sukmanya menemui sang Bapa di surga. Pemberitaan di media luar biasa. Terbesar dalam sejarah peristiwa kriminalitas di New York. Semua itu membuat polisi harus bekerja lebih keras. Apalagi saat itu serba sensitif di New York. Kriminalitas amat tinggi. Isu ras, golongan, perbedaan kelas, dan ekonomi sangat menonjol. Akhirnya polisi terbantu oleh korban selain Meili. Ternyata banyak laporan masuk malam itu. Ada yang dirampas uangnya. Ada yang dipukul. Ada taksi yang dilempari batu. Ada yang direbut minuman kerasnya. Dan ada seorang guru yang dihajar sampai pingsan. Setelah siuman, kata guru itu pada polisi, ia ingat para pelakunya. Para remaja. Dalam jumlah yang banyak. Dari situlah mulai dilakukan sejumlah penangkapan. Begitu muda para remaja itu. Semua dari kawasan East Harlem. Tidak jauh dari Central Park. Sebagian berkulit hitam. Sebagian remaja Hispanic. Masyarakat begitu geram pada mereka. Donald Trump memasang iklan satu halaman penuh. Di sebuah koran lokal di New York. Isinya: kembalikan hukuman mati. Artinya, ia minta pelaku Central Park itu dihukum mati. Dari puluhan remaja yang diperiksa sebagian dilepaskan. Yang sembilan orang diproses sampai ke pengadilan. Dari sembilan orang itu ada ‘kelompok empat’ dan ‘kelompok lima’. Tuduhannya banyak. Mulai dari mengganggu, memukul, menyiksa, mencuri, merampas sampai merampok. Satu kelompok ditambah dengan pembunuhan. Satu kelompok lagi ditambah dengan pemerkosaan. Ada yang mengaku duluan --tapi bukan di pembunuhan dan pemerkosaan. Agar mendapat keringanan hukuman. Ada yang tetap tidak mau mengaku. Bahkan ada yang mencabut pengakuan mereka pada polisi. Mereka yang mengaku itu memang mendapat keringanan. Dihukum antara 5 sampai 10 tahun. Tapi ada yang dihukum 15 tahun. Satu orang dihukum seumur hidup. Yakni orang yang lain sama sekali. Juga bukan remaja. Ia ditangkap sangat belakangan. Saat para remaja itu sudah di dalam penjara. Ia mengaku: ialah yang melakukan pemerkosaan itu. Begitu ruwet pengadilan itu. Masalahnya tidak ditemukan bukti. Sperma yang tercecer juga tidak ada hubungan dengan remaja itu. Dan akhirnya diakui oleh yang ditangkap belakangan tadi. Tidak ditemukan juga DNA para remaja itu dengan DNA yang ditemukan di lapangan. Belakangan para remaja itu menggugat. Merasa dipaksa untuk diadili. Dengan tuduhan yang lebih berat dari yang mereka lakukan. Gugatan mereka dikabulkan pengadilan. Sampai ke tingkat final. Pemda Kota New York harus memberikan ganti rugi. Dalam jumlah besar: Rp 70 miliar. Mereka masih menggugat pemerintah negara bagian New York. Berhasil pula. Harus membayar Rp 50 miliar. Mereka sudah terlanjur menjalani hukuman lebih berat dari seharusnya. Semula Pemkot New York menolak membayar ganti rugi. Tapi wali kota yang terpilih berikutnya membayarnya. Para remaja itu kini terpencar di banyak negara bagian. Umumnya menjadi pengacara. Untuk kasus-kasus yang mirip dengan yang mereka alami. Meili sendiri akhirnya siuman. Lalu menjalani berbagai macam operasi. Enam bulan penuh tinggal di beberapa rumah sakit. Akhirnya sembuh. Meili bekerja kembali di perusahaan keuangan. Lalu menulis buku. Tentang peristiwa itu. Dia juga menjadi aktivis perempuan. Untuk menyembuhkan trauma-trauma masa lalu. Yang baik: Meili tidak ingat sama sekali apa yang terjadi di Central Park itu. Dia mengalami gegar otak yang berat saat itu. Kini umur Meili 60 tahun. Trump pun jadi presiden Amerika. Saat itu Trump sempat didemo: kok tidak mau minta maaf pada para remaja itu. Lima orang yang akan dieksekusi Desember depan adalah: Danny Lee, pembunuh sekeluarga tiga orang, termasuk ada umur 8 tahun. Lezmond Mitchell, pembunuh ibu berumur 63 tahun beserta anaknya 9 tahun. Wesley Ira Purkey, pemerkosaan gadis 16 tahun dan neneknya, 80 tahun. Alfred Bourgeois, yang menyiksa, mencabuli, dan kemudian memukuli putrinya yang berusia 2,5 tahun sampai mati. Juga Dustin Lee Honken, pembunuh dan pemerkosa anak umur 2,5 tahun dan lima orang lainnya. Mereka akan disuntik mati dengan hanya satu jenis obat: sodium pentobarbital. Yang tahun 1962 pun sudah dipakai oleh bom seks Marilyn Monroe untuk bunuh diri.(*)
Sumber: