Hadapi Pandemi Covid-19, Jatim Terkesan Tanpa Kepemimpinan

Hadapi Pandemi Covid-19, Jatim Terkesan Tanpa Kepemimpinan

Surabaya, memorandum.co.id -Menghadapi pandemi Covid-19 terkesan Jawa Timur tidak memiliki kepemimpinan. Karena Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Wagub Emil Dardak tidak memiliki desain strategi yang jelas. Apalagi ditambah keduanya tidak mampu menjadi teladan publik di tengah pandemi yang belum berakhir. Penegasan ini disampaikan anggota Komisi E DPRD Jatim, Deni Wicaksono, Minggu (3/7). Politisi muda alumnus Universitas Airlangga itu menyebut tiga catatan penting membuatnya menilai tidak ada kepemimpinan di Jatim terkait penanganan pandemi. “Tapi kami bersyukur, di tengah langkah dan strategi Pemprov Jatim yang tidak komprehensif dalam penanganan pandemi, kita masih memiliki para tenaga kesehatan yang bekerja penuh ketulusan. Terima kasih untuk Bapak/Ibu insan kesehatan,” ujar Deni. Deni menyebutkan, Pemprov Jatim tidak memiliki desain strategi dan eksekusi yang terintegrasi dalam menghadapi pandemi. Publik tidak melihat bagaimana gubernur memiliki desain strategi yang jelas berikut eksekusinya dalam penanganan pandemi. “Soal 3 T, misalnya, tidak ada kepemimpinan dari Pemprov Jatim. Kami tidak pernah tahu bagaimana Pemprov Jatim mengejar rasio tracing ke tahap ideal 1:30. Juga bagaimana dengan target tes 1 per 1.000 penduduk, lalu berapa persentase kasus positif bisa dilacak kontak eratnya dalam sekian jam, berapa target persentase kontak erat yang melakukan karantina mandiri,” jelas Deni. Deni juga menilai tidak ada mitigasi pada skenario-skenario terburuk. Misalnya bila kasus aktif mencapai 50.000, apa yang sudah disiapkan Pemprov Jatim. Termasuk bila sekian nakes terpapar seperti yang saat ini terjadi, apakah Pemprov Jatim sudah memiliki solusinya. “Jika ada skenario terburuk, misal Covid-19 memuncak sampai 50.000 kasus aktif, apa yang sudah disiapkan Gubernur? Tidak ada. Seolah semua tiba masa tiba akal, rakyat yang jadi korban,” ujarnya. Politisi PDI Perjuangan ini menilai, pemerintah daerah terkesan jalan sendiri-sendiri, dengan kreativitas dan keterbatasannya. "Bahkan nyaris tanpa kajian epidemiologi dalam penanganan pandemi di daerah, di mana seharusnya Pemprov Jatim punya kesadaran dan kemampuan untuk itu,” imbuh Deni. Contoh lainnya, sambung Deni, adalah soal pengetesan, di mana saat ini berdasarkan Instruksi Mendagri terdapat target tes harian pada masing-masing kabupaten/kota. “Apa yang dilakukan Gubernur? Hanya menerbitkan keputusan yang isinya mengulangi instruksi Mendagri? Apa dong desain strategi yang disiapkan Pemprov Jatim untuk membantu kabupaten/kota memenuhi target tes harian?” kritik Deni. Deni Wicaksono yang juga Kwtua Bapilu DPD PDI Perjuangan Jawa Timur ini mendorong Pemprov Jatim segera menyiapkan rumah sakit darurat/lapangan di beberapa daerah. “Tidak semua daerah punya kemampuan untuk membikin rumah sakit lapangan, seharusnya Pemprov Jatim hadir. Selain itu, ke depan Pemprov harus punya skenario penyiapan rumah sakit khusus penyakit infeksi yang menyebar di beberapa daerah,” ujarnya. Catatan kedua, Pemprov Jatim tidak cukup mampu mengoordinasikan antardaerah dalam penanganan pandemi. “Masalah kisruh di Suramadu hanya satu contoh kecil betapa Pemprov Jatim tidak bisa memandu daerahnya dengan baik,” ujarnya. Ketiga, kepemimpinan di Pemprov Jatim tidak cukup mampu memberi teladan yang bisa membuat publik pada akhirnya patuh pada berbagai aturan terkait penanganan pandemi. Masalah ulang tahun “Gubernur, wagub, dan Sekda setali tiga uang dalam masalah pesta ulang tahun. Ketiganya tidak memberi teladan,” ujarnya. Ketidakmampuan memberi teladan juga tampak dalam ikut sertanya Khofifah dalam pemilihan Ikatan Alumni (Ika) Universitas Airlangga. “Ketika seluruh kepala daerah berjibaku hadapi pandemi, Gubernur Jatim malah nyalon ketua IKA UA, tentu dengan segenap upaya lobi dan manuver yang melelahkan, padahal semestinya energi beliau 100 persen fokus ngurus pandemi,” bebernya. (day)

Sumber: