Langit Hitam Majapahit – Tiga Orang ( 1 )

Langit Hitam Majapahit – Tiga Orang ( 1 )

Dua pekan berlalu. Di sisi selatan sebuah candi terlihat dua orang lelaki muda sedang berlatih tanding. Telah lewat satu musim hujan sejak peristiwa penyergapan di Alas Cangkring, Bondan telah pulih dan itu tersirat dari gerakannya kala menyerang atau menangkis serangan Gumilang. Sekalipun belum menyamai kecepatan seperti saat sebelum terluka parah, namun Bondan terus menerus berusaha keras meningkatkan ketahanan dan kekuatan sepenuhnya. Usaha yang sangat keras tercermin pada semakin berlipatnya tenaga inti dan kemampuannya membaca pergerakan Gumilang yang sedang berlatih bersama dengannya. Tak jauh dari keduanya yang sedang berlatih bersama, di sebuah barak prajurit, seorang lelaki yang berusia lebih banyak dari Ken Banawa sedang duduk berhadapan dengan tiga orang lainnya. Raut wajah tegang tampak jelas terlihat dari mereka. Berulang kening mereka berkerut. Sorot mata tajam sering melintas di atas meja kayu yang menjadi pembatas jarak satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Sebenarnya saya tidak ingin mengungkit lagi sebuah perbuatan yang telah terjadi. Tetapi suara dari dalam hatiku selalu mendesak untuk menyatakan yang kebenaran,” kata orang tua berjubah hitam bernama Mpu Tandri, seorang pemimpin pasukan gajah kerajaan.

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
“Mereka akan mengatakan tentang apa saja, Ki Nagapati. Dan sebenarnya saya sendiri mengkhawatirkan satu kata yang akan keluar dari mulut mereka. Sebuah pembelaan. Kata pembelaan ini dapat menghantam kita kapan saja. Itu akan menjadi alasan Sri Jayanegara menghukum mati kita semua yang ada di barak ini,” Mpu Lenggana, seseorang yang berambut putih seperti perak berkata dengan suara parau. “Aku mendengarkan,” pendek Ki Nagapati berkata. Tatap matanya memancarkan wibawa yang sangat besar tetapi ia tidak dapat menutupi hatinya yang pilu. “Ki Nagapati, di lereng bukit sebelah utara dinding kotaraja telah kita siapkan sejumlah orang untuk persoalan ini. Dan mereka memang telah bersedia melakukannya demi keyakinan bahwa mereka benar. Apalagi keluarga kakang Lembu Sora dan kakang Gajah Biru telah memberikan apa saja yang kita butuhkan,” kata Mpu Lenggana. Kemudian ia melanjutkan, ”Jadi sebenarnya bagi kita menduduki kotaraja adalah hal yang dapat dilakukan tanpa harus mengotori jalanan dengan tubuh yang berserakan. Kakang dapat memerintahkan prajurit dari kesatuan lain untuk membuka pintu benteng dari dalam, kemudian membiarkan pengikut dari bukit bergerak memasuki kotaraja. Bersamaan dengan itu, kita dapat menundukkan mereka yang berada di balik benteng istana.” “Bukan. Aku tidak bermaksud untuk menduduki kotaraja. Aku dan mungkin keluarga kakang Lembu Sora serta Gajah Biru pun tidak akan pernah setuju untuk merebut kotaraja,” Ki Nagapati sedikit menjelaskan. Nada getir terpancar dari getar suaranya. “Lalu, apa arti dari usaha kita selama ini? Melatih mereka seperti melatih prajurit, persiapan-persiapan gelar perang? Kemudian tiba-tiba Ki Nagapati mengubah tujuan kita semula?” Mpu Lenggana mengerutkan alisnya. Mendengar pertanyaan dari kawannya, Ki Nagapati bangkit lalu berkata, ”Sejak awal aku katakan pada kalian bahwa tujuan kita adalah sebuah pengampunan dari Sri Jayanegara. Kita bersiap untuk gerakan besar ini bukan untuk menggantikan penguasa yang sekarang, tetapi pemulihan nama baik dan hak-hak bagi keluarga kakang Lembu Sora dan Gajah Biru. Kalian bisa lihat keluarga mereka. Hanya karena kebaikan Mpu Nambi yang akhirnya tanah palungguh itu dapat dipertahankan.” “Jadi maksud Anda adalah, kegiatan kita selama ini dan apa yang ditanam selama belasan tahun tidak berhubungan dengan apa yang aku dengar di ujung timur?” bertanya seorang yang duduk di ujung meja. Ia menutupi tubuhnya dengan lembaran kain berwarna jingga. Rambut panjangnya telah bercampur dengan warna putih. “Tidak ada hubungannya, Ki Sanca. Mereka mempunyai tujuan yang berbeda dengan tujuan kita. Tapi aku membuka pintu bagi mereka yang akan bergabung dengan mereka di ujung timur. “Dan mungkin jika memang sudah tiba waktunya, kita akan berhadapan sebagai lawan. Mereka yang berada di ujung timur tidak akan pernah memperbaiki kerajaan ini, mereka justru akan membawa petaka. Dan aku sudah siapkan diri bila peperangan itu terjadi,” berkata Ki Nagapati dengan kilat mata yang menyambar jantung setiap orang yang berada di bilik itu. “Saya tetap sarankan, Ki Nagapati harus berbuat seolah akan menduduki kotaraja,” sahut Ki Sanca dengan cepat. “Aku pikirkan itu,” Ki Nagapati berkata pendek.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
Mpu Tandri tajam menatap wajah Ki Sanca dari samping. Sebuah pikiran melayang lalu memasuki ruang benaknya. Mpu Tandri ingin mencari jawaban. “Ki Sanca, kita sama mengetahui jika Ki Nagapati tidak mempunyai pilihan untuk meraih satu kata, pengampunan. Maksudku, Ki Nagapati telah menutup pintu kekerasan untuk upayanya itu,” kata Mpu Tandri kemudian, “melihat dan menyimak segala yang Ki Sanca katakan, akhirnya aku ingin bertanya padamu.” Sorot mata Mpu Tandri tiba-tiba berubah menjadi sebatang pedang yang siap menyayat wajah Ki Sanca. “Apakah aku tengah berada di salah satu sudut perang tanding?” geram Ki Sanca. Ia beranjak bangkit lalu, “Sekelompok pasukan besar tengah bersiap di pantai timur. Kalian semua telah mengetahui Ki Sentot Tohjaya sedang menyiapkan satu serangan seperti air bah, tetapi tidak seorang pun yang mengatakan itu pada raja atau patihnya. Kalian memilih diam lalu memasuki sebuah celah di antara tebing yang longsor. “Lantas sekarang kalian mengacungkan telunjuk tepat di depan wajahku kemudian berkata ‘engkau ambil bagian dalam gerakan itu, Ki Sanca.’ Pemikiran sesat! Aku tidak meninggalkan kotaraja selangkah atau sejengkal, kalian masih dapat melihatku berada di sekitar barak pasukan pemanah.” “Kami tidak menghalangi seorang pun untuk memberi laporan pada para pemimpin tinggi,” tegas Mpu Tandri dengan nada tinggi. “Kami tengah menunggumu bergerak, Ki Sanca. Semua orang tahu mengenai hubungamu dengan Ki Sentot Tohjaya. Anda tidak perlu menyangkal hal itu! Bahkan aku berpikiran buruk dengan desakanmu pada Ki Nagapati agar mengepung kotaraja. Aku bukan orang yang tidak mampu berpikir panjang tetapi aku harus katakan bahwa pikiran buruk dan pendek itu ada. Para prajuritku banyak memberiku masukan perihal persiapan yang Anda lakukan.” Mpu Tandri mendekati lawannya bicara. “Aku tahu  itu bukan latihan perang biasa,” desis Mpu Tandri di dekat telinga Ki Sanca. “Pengamatan yang jeli telah dilakukan anak buahmu meski aku dapat membuktikan bahwa semua laporan mereka adalah kesalahan besar. Aku adalah Ki Sanca, bicara tentang kesetiaan maka tidak seorang pun dapat meragukanku. Semua akan terjawab apabila pasukan Ki Sentot telah mencapai bibir kotaraja. Itu akan terjadi dalam waktu sangat dekat. Selamat tinggal!” Ki Sanca melangkah keluar dari balik seraya membanting pintu dengan keras. Tidak seucap kata yang keluar dari tenggorokan Ki Nagapati, ia hanya memandang dan menilai semua ucapan orang-orang di sekitarnya. Lalu ia berkata pada Mpu Tandri, “Aku tidak akan pernah meninggalkan kotaraja atau mengepungnya. Aku dan pasukanku akan berada di sini sampai batas kesabaran yang kami miliki.” “Anda bebas melakukannya, Tuan Panglima,” kata Mpu Tandri penuh hormat. Selang beberapa waktu kemudian tingallah Ki Nagapati yang termenung seorang diri di dalam bilik. “Jika Sri Jayanegara kembali menolak permintaanku, ke mana aku akan mencari pertolongan agar ia mau membuka diri?” gumam Ki Nagapati perlahan. Memang sebenarnya Ki Nagapati telah bertahun-tahun menggunakan waktunya untuk mengumpulkan kekuatan. Selain kedudukannya sendiri sebagai pemimpin pasukan berkuda, ia juga seorang putra dari demang di sebelah utara kotaraja. Maka pengaruh Ki Nagapati pun begitu kuat mengakar di dalam jiwa banyak orang yang hidup di sekitar kotaraja. Ia telah dikenal sebagai pengikut setia Lembu Sora dan Gajah Biru yang cakap dan penuh wibawa, maka rasa segan pun terbit di hati banyak orang, termasuk Mpu Nambi dan Patih Arya Tadah.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
Ki Nagapati, pada banyak kesempatan, selalu berusaha membersihkan nama Lembu Sora dan Gajah Biru. Bagi Ki Nagapati, sosok Lembu Sora adalah seorang guru dan seperti keluarganya sendiri. Lembu Sora banyak mengajarinya tentang ketinggian martabat seorang panglima dan sering mengajaknya berbicara tentang kecintaan pada negerinya. Sedangkan Gajah Biru bagi Ki Nagapati adalah orang yang besar jasanya bagi perkembangan bidang keprajuritan dengan menyusun latihan-latihan untuk prajurit yang disiapkan menjadi pasukan khusus. Dan secara keseluruhan kedua orang itu mempunyai peran sangat penting bagi berdirinya suatu negeri yang sangat ia banggakan. Majapahit. Oleh karena itu, pada suatu ketika, ia pernah berkata di halaman barak pasukan berkuda, ”Jika orang-orang dari timur itu akan merebut kotaraja, maka aku dan kalian akan menjadi benteng pertama yang akan membenamkan mereka ke dalam lautan api!” (bersambung)        

Sumber: